Mohon tunggu...
Mukhtaruddin Yakob
Mukhtaruddin Yakob Mohon Tunggu... Pekerja Media -

Saya seorang pekerja Pers untuk sebuah media televisi. Gemar menulis dan suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Jadi "AJI Mumpung"

7 Agustus 2018   20:00 Diperbarui: 7 Agustus 2018   20:44 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi lain yang harus diperhatikan adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kebebasan pers ternyata tidak semuanya dipahami sebagai sebagai kebebasan yang dilindungi. Publik termasuk pemegang kekuasan belum terbiasa dengan kerja-kerja jurnalis. Sehingga aksi kekerasan yang menimpa jurnalis terus meningkat. Kasus kekerasan beragam, mulai pelecehan, penganiyaan, pengrusakan, hingga pembunuhan.

Salah satu indikator utama untuk memotret situasi kebebasan pers di Indonesia adalah dari jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Kekerasan terhadap jurnalis dan media ini meliputi kekerasan fisik, dihalangi saat melakukan liputan, perampasan alat atau data hasil liputan dan sebagainya.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan Bidang Advokasi AJI Indonesia, di tahun 2017 ini tercatat ada 60 kasus. Dengan jumlah ini, maka kasus kekerasan tahun ini merupakan tertinggi kedua dalam kurun waktu 10 tahun ini. Dari sejumlah kasus yang terjadi, hanya sebagian kecil yang diproses hukum, selebihnya mengambang. Artinya, posisi jurnalis masih rawan.

Kasus kekerasan yang menimpa pekerja pers ternyata bukan semuanya karena massa. Ketidakprofesional jurnalis menjadi satu dari beberapa sebab kekerasan. Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo dalam acara sosialisasi jurnalisme warga di Banda Aceh akhir 2010 menyatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis sebagai dipicu jurnalis itu sendiri. Pemberitaan yang tidak profesional dan melanggar privasi menjadi pemicu kekerasan, karena objek berita menjadi korban. Penegasan Agus sebelumnya disampaikan pada sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan (SKW) Dewan Pers di Palembang (7/4/10). Maka, AJI harus hadir dalam kondisi ini.

Nah,  kini saatnya  AJI bergerak untuk mewujudkan perusahaan pers profesional dengan membayar pekerjanya yang layak. AJI secara bersama-sama harus berjuang mewujudkan pekerja media sebagai manusia yang pantas digaji bukan sekadar honorarium layaknya pekerka lepas yang dari kompetensi apalagi profesional. Jika selama ini, AJI sibuk mempersoakan peringatan Hari Pers Nasional yang dituding sebagai hari kelahiran PWI, saatnya melangkah lebih jauh pada perjuangan untuk memanusiakan pekerja pers. 

Tahan Banting

Melihat kondisi ini, sudah selayaknya pengurus AJI Indonesia mendatang tahan banting. Keberanian, kapabilitas dan akseptabilitas menjadi hal penting dalam menjalankan kepengurusan mendatang. Bagaimana pun tantangan dan perlawanan terhadap pekerja pers dan media masih akan terus terjadi.

Teror terhadap media dan pekerja pers berpeluang terulang selama objek berita tidak puas terhadap pemberitaan. Kondisi ini akan lebih parah, jika impunitas masih dominan. Tentunya sosok ketua dan sekjen AJI Indonesia mendatang berpengaruh di kalangan media dan kekuasaan. Bargaining power kadang dibutuhkan di alam demokrasi dan politik Indonesia. Sebagai pengemban kontrol sosial dan menegakkan demokrasi. maka AJI jangan sampai jadi AJI Mumpung yang berkonotasi negatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun