Tanggal 7 Agustus, organisasi pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berusia 24 tahun. Tanggal tersebut tentu hari yang sangat bersejarah bagi organisasi yang dibangun atas dasar gerakan menyahuti gerakan reformasi Mei 1998 silam. Namun, di usia 24 tahun, tentu masih sangat banyak tugas yang belum tuntas.
Konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik adalah ancaman terhadap indepedensi media di tengah makin berkembangnya industri media. AJI harus tegas meminta pemilik media atau pemilik modal tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.
AJI pernah merekomendasikan perusahaan pers meningkatkan kapasitas pekerjanya dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi. Demikian juga uji kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara mewujudkan perusaaan media yang sehat.
AJI memiliki tantangan berat dalam mewarnai perkembangan pers dan media di Indonesia. Paling tidak, dua permasalahan tadi menjadi beban berat kepengurusan AJI Indonesia mendatang. Masyarakat termasuk pekerja pers menaruh harapan besar pada AJI. Sebagai organisasi yang berbasis gerakan, AJI perlu digenjot untuk merangsek lebih dalam ke jantung media, mempengaruhi petinggi, bahkan pemilik media untuk berpihak kepada pekerjanya.
Tiga misi AJI: Kebebasan Pers, Profesionalisme, dan Kesejahteraan Jurnalis, sepertinya belum tercapai dan tergapai dengan baik. Dua misi: Kebebasan Pers, Profesionalisme memang secara bertahap berjalan, tapi kesejahteraan jurnalis masih jalan di tempat. Padahal, sejumlah petinggi AJI ada dalam jajaran elite media. Artinya, kita tak berdaya menghadapi pemodal, akibatnya perjuangan memperbaiki kesejahteraan jurnalis mati kutu.
Praktek kerja jurnalistik yang tidak profesional seperti maraknya kontributor bagian lain persoalan di media. Sayangnya, praktek seperti ini juga berlangsung di kantor media tempat anggota AJI bekerja. Modus yang berlangsung sejak persaingan televisi di Indonesia menghangat tidak pernah diluruskan.
Tantangan Berat
Tantangan berat lainnya adalah komitmen terhadap kepentingan publik dan peningkatan kapasitas yang belum memuaskan. Pengembangan kapasitas anggota AJI adalah satu keharusan. Pemahaman jurnalistik dan etika butuh peningkatan. Target memperbanyak anggota satu hal yang progresif dan optimis, tapi kualitas anggota juga harus diperhatikan.
Perluasan jaringan AJI mungkin penting sebagai strategi kampanye. Paling tidak, publik mulai mengenal dan memahami AJI sebagai organisasi yang concern pada tiga misi. Sekali lagi, profesional dan kualitas menjadi syarat mutlak bagi penjaringan anggota AJI.
Ekspansi penting bagi sebuah organisasi. Cuma seleksi ketat juga perlu dilakukan agar AJI berbeda dalam kualitas dan bobot anggota. Anggota AJI saat ini telah mencapai lebih dari 2000 orang sebagai suatu prestasi lain.