Mohon tunggu...
Mukhtaruddin Yakob
Mukhtaruddin Yakob Mohon Tunggu... Pekerja Media -

Saya seorang pekerja Pers untuk sebuah media televisi. Gemar menulis dan suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengubah Cincin Api Menjadi Cincin Emas

24 September 2011   01:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengubah Cincin Api Menjadi Cincin Emas

Oleh Mukhtaruddin Yakob

Dalam bulan ini, pemberitaan media diwarnai letusan beberapa gunung berapi. Letusan gunung berapi Tambora, di Nusa Tenggara Barat adalah kabar terbaru soal letusan gunung berapi. Sebelumnya, Gunung Soputan di Sulawesi Selatan, Lokon, di Sulawesi Utara sudah memberikan aba-aba. Bahkan Gunung Papandayan di Jawa Barat yang nyaris luput dari pengamatan, juga sudah memberikan sinyal menggeliat. Setelah Papandayan, Gunung Duokono di Halmahera turut meramaikan bencana vulkanik di nusantara.

Sayangnya, dari sejumlah tanda alam seperti letusan gunung berapi, pemerintah dan masyarakat terkesan tidak siaga. Bahkan, warga masih melakukan aktivitas kendati status sejumlah gunung api itu memasuki tahap bahaya.

Bangsa Indonesia selalu kaget ketika bencana datang. Reaksi sesaat seakan menjadi seremoni yang selalu berulang saban tahu. Sebelum pemerintah hadir, masyarakat telah bergerak cepat dan simultan membantu para korban. Media pun terpancing memberitakan bencana demi bencana dengan segala perkembangannya hingga soal penanganan dari masyarakat dan pemerintah. Sayangnya, ketika bencana lain muncul, maka bencana yang sebelumnya tak lagi seksi.

Indonesia yang terkenal sebagai negeri bencana nyaris tak pernah siaga dalam menghadapi bencana. Bahkan berbagai perangkat hukum tentang bencana nyaris tak berjalan. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jalan di tempat. Demikian juga dengan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Pengurangan Risiko Bencana juga tak efektif. Bahkan dalam waktu dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menerbitkan Inpres soal penanggulangan kebencanaan di daerah. Kita tidak bisa menakar sejauh mana efektifitas perangkat hukum jika mind seat para stake holder dan warga soal kebencanaan masih cuek?

Bencana Tanggap

Reaktif memang telah menjadi sifat Indonesia. Semua sibuk jika telah terjadi, tapi jarang sekali bergerak dan siaga sebelum bencana itu datang. Peringatan terhadap peluang bencana kerap disampaikan, tapi kita masih tetap santai pada keadaaan. Ada kecenderungan dengan kultur kita, baru percaya jika telah mengalami sendiri atau sudah di depan mata. Apalagi ada anggapan bahwa musibah itu adalah suratan takdir dari Yang Mahakuasa.

Mitigasi dan manajemen bencana yang dirancang dan di-support berbagai lembaga nyaris tak direspon. Hanya kalangan dan komunitas tertentu yang peduli. Mitigasi bencana seakan milik PMI, Basarnas, BNPB dan BPBD. Sementara yang lainnya mengabaikan begitu saja.

Pencegahan risiko bencana bagi masyarakat dianggap angin lalu. Lihat saja kasus gunung berapi. Gunung Seulawah Agam, satu dari 19 gunung berapi yang berstatus waspada. Dari 120 gunung berapi yang ada di Indonesia, Seulawah Agam sudah dua kali berstatus waspada. Tapi apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sendiri?

Masyarakat sekitar dan pemerintah sendiri belum mengambil langkah apa pun, selain komentar di media massa. Ada puluhan perkampungan berada di sekitar Gunung Seulawah. Ada puluhan ribu warga dan makhluk hidup mendiami kawasan ini. Bahkan kemukiman Lamteuba persis berada beberapa kilometer dari kawah gunung Seulawah. Bahkan bekas letusan gunung Seulawah Agam yang terjadi 500 tahun silam masih ada, seperti batu alam.

Seulawah Agam adalah gunung berapi tipe A pernah meletus dahsyat pada tahun Januairi1839 silam. Gunung berapi setinggi 1726 meter ini merupakan satu dari tiga gunung berapi tipe teraktif di Aceh. Selain Seulawah Agam, Gunung Peut Sagoe di Pidie dan Burni Telong di Bener Meriah juga gunung api berbahaya jika meletus. Masa istirahat terpendek Seulawah Agam adalah 136 tahun. Sayangnya, antisipasi seperti persiapan jalur evakuasi masih mengkhawatirkan karena jalan utama rusak parah.

Kondisi masyarakat di sekitar Gunung Seulawah juga acuh saja. Mereka menikmati tanah bekas erupsi Seulawah untuk bertani dan mengembala. Warga yang tinggal sekitar gunung tidak terlalu khawatir dengan ancaman letusan gunung api karena memang terjadi sekali dalam hitungan ratusan tahun.

Sejatinya, gunung api membawa bencana sekaligus berkah. Maka dengan tetap siaga mengurangi risiko bencana akan mengubah Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik di Indonesia menjadi Ring of Diamond atau berkah bagi mata penarian penduduk sekitar gunung api.

Penulis adalah penggiat Pengurangan Risiko Bencana Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun