Mohon tunggu...
Agam Rafsanjani
Agam Rafsanjani Mohon Tunggu... -

saya tampan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kepada Para Pengendara di Bekasi

13 April 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Bekasi suka dan punya cita-cita memiliki motor lebih dari satu. Termasuk saya. Sebab jaman sekarang motor bisa dibeli dengan mudah meski harganya semakin naik. Dengan duit lima ratus ribu kita bisa beli satu sepeda motor matic yang sekali gas bisa langsung ngeeeeng tanpa perlu ganti gigi. Ini membuat volume kendaraan terus bertambah sementara jalan yang ada itu-itu doang. Akhirnya membuat macet. Semakin macet semakin banyak asap knalpot yang terhirup. Asal kamu tahu, penelitian di Belanda mengatakan bahwa menghirup asap kendaraan selama 30 menit meningkatkan aktivitas elektris dalam otak yang bertanggung jawab atas perilaku, kepribadian dan pengambilan keputusan, perubahan yang mengacu pada sugesti stres. Stres bisa memicu orang untuk grusa-grusu.

Terjebak macet memang menyebalkan. Semenyebalkan berharap, tapi malah di-PHP, udah gitu si pelaku PHP nggak peka dan terus nggantungin korban! Namun ternyata stres akibat macet merugikan kita karena kata pakar psikologi gangguan di jalanan setiap hari akhirnya menumpuk dan mengakibatkan masalah mental seiring bertambahnya usia. Jadi, saran nih, kalem aja kalau macet jika kalian nggak mau kena gangguan mental. Kalau bisa praktikkan sedikit yoga di atas kendaraan.

Bekerja di Jakarta atau Pendatang di Bekasi

Bekerja di Jakarta atau menjadi Pendatang yang ingin bekerja di Bekasi sama saja, intinya membuat Bekasi semakin padat. Untuk kasus pekerja komuter di Bekasi ke Jakarta, coba bayangkan sehari dua membutuhkan minimal empat jam perjalanan pulang-pergi. Dengan 4 jam sehari di jalan, berarti ada 20 jam yang dihabiskan pekerja komuter selama seminggu. Jika angka tersebut dikalikan dengan 4 minggu, maka dalam sebulan ada 80 jam waktu yang dihabiskan di jalan. Hitungan ini belumlah seberapa. Coba kalikan saja angka 80 jam tadi dengan 12 bulan. Hasilnya ada 960 jam. Jika angka 960 ini dibagi 24 jam, maka hasilnya ada 40 hari. Ini berarti, dalam setahun para pekerja komuter menghabiskan waktunya di jalan selama 40 hari. 40 hari! Membayangkan angka ini saja membuat saya stres!

Sementara untuk kasus pendatang di Bekasi, ini sudah tidak umum juga. Orang memilih Bekasi karena beranggapan bahwa ada banyak lowongan sebab tersedia 7 kawasan Industri di kota ini. Saya terheran-heran ketika mengetahui bahwa pada tahun 2013 penduduk Bekasi 3,3 juta orang tapi 60 persennya merupakan pendatang. Sependek analisis saya, pendatang ini masih banyak yang mengambil resiko, wani perih, untuk mencari kerja di Bekasi tanpa tahu peluang apa saja yang ada. Ini bisa jadi membuat mereka mencari pekerjaan serabutan atau dadakan. Menjadi tukang ojek, berdagang di pinggir jalan, atau yang paling sedih ya jadi penjahat. Bukan menjelek-jelekkan orang kecil, tapi supaya melihat bahwa ini membuat jalan semakin padat.

Banyak Debu dan Panas

Saya berani berkata, sebagai seorang saintis kelas ecek-ecek, faktor utama yang membuat Bekasi berdebu adalah buruknya sistem drainase. Kenapa? Sederhananya, kalau saluran air macet, lalu banjir atau minimal terbentuk genangan, pasti deh ada sedimen yang kering dan nggak terbawa air. Sedimen padat itu menjadi sangat ringan seiring dengan keringnya permukaan. Ini didukung dengan suhu bekasi yang cenderung tinggi. Beda dengan Bandung misalnya yang elevasinya lumayan tinggi sehingga suhunya cenderung lembab. Atau Jogja yang drainasenya bagus banget karena didukung elevasi cucok di sebelah utara yang berbatasan dengan Gunung Merapi yang membawa kesejukan. Ini membuat jalan atau permukaan tanah di bekasi dengan beberapa kali hembusan pasti sudah mengganggu pemandangan, pernapasan, dan kecantikan. Apalagi kalau kasusnya menimpa cewek-cewek pekerja PT naik motor yang lupa pakai masker. Kalau nggak ngebut, bisa-bisa dempulnya bercampur lempung kering. Freak banget nggak sih, ke kantor muka coreng-moreng kayak mau gerilya.

Jalan Rusak dan Nggak Banyak Jalur Alternatif

Kalau di Jogja, udah drainase bagus, jalan pun banyak. Misalnya kalau saya dari Jakal km 6 mau ke Parangtritis bisa saja saya memilih lewat ringroad, atau lewat kota. Dari kota saya juga bebas milih mau lewat jalan bantul lalu tembus ringroad lalu akhirnya ke jalan parangtritis. Dan itu nggak buang-buang waktu sebab jalan lengang. Paling macet sedikit di lampu merah tapi kan di lampu merah bisa mampir es BangJoe.

Itulah yang membedakannya dengan Bekasi. Untuk ke stasiun Bekasi dari Tambun, misalnya, kalau mau lancar saya harus lewat Jalan Sultan Hasanudin dan Juanda. Bisa sih, lewat jalan alternatif. Tapi kondisinya rusak. Dan kalau hujan banjir terutama di Kali Papanmas dan Perumnas 3. Kalaupun saya lagi niat buat lewat jalur alternatif, tetap saja jalannya padat sebab jalan alternatif, ya, itu-itu doang.

Begitulah analisis saya sebagai seorang sarjana sains kontemporer. Analisis ini berdasarkan data dan fakta yang ada meski sulit mempercayainya. Saya tidak mau memberi solusi karena saya bukan pemerintah. Lagipula percuma, tidak bakal digubris. Ini cuma buat introspeksi diri saja, buat kalian pengendara dimanapun kalian berada. Dan juga tentu untuk pengendara Bekasi, meski kalian ha bebas!, camkanlah satu kata kunci dalam diri kalian: kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun