Sumber gambar: http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1395119104.jpg
Saya baru beberapa minggu pulang dan menetap kembali ke Bekasi. Kalau nggak karena panggilan bos besar di rumah, saya nggak mau merelakan masa muda saya yang penuh hahahihi berubah menjadi auahgelap. Bekasi, O, Bekasi, kenapa kamu begitu auahgelap?
Sekarang gini, setelah kamu alhamdulillah berhasil menggaet gelar sarjana, terus kamu kembali ke kampung halaman. Bawa backpack gede, kardus berisi kerupuk kismin, keranjang berisi ayam jago, lalu turun dari bus dengan gaya Nicholas Saputra mau nyebrang ke Kwitang. Tapi bukannya sukses menyebarkan aura akademis, malah disemprot sama klakson motor. Udah gitu karena nggak sabaran, si pengendara nyalip ke sebelah kiri bus dan kalau saja saya nggak lihai pasti keserempet. Ini kan tergolong kampret? Untungnya saya berhasil melenggok-lenggok menepi dengan masih mempertahankan gaya Nicholas Saputra nunduk karena kepanasan. Poni ikal saya kibaskan ke belakang.
Demikianlah, saya menepi dan mencoba memaklumi pengendara dengan berasumsi si bapak kebelet pipis tapi toiletnya ketinggalan di Jakarta.
Ternyata kejadian pengendara liar ngehek nyerempet Nicholas Saputra tadi nggak cuma sekali. Kasus ngehek serupa juga saya lihat di sepanjang naik angkot ke rumah. Pengendara motor tanpa helm di jalan raya utama jangan ditanya, agaknya mereka punya ilmu nujum yang bisa membaca keberadaan polisi. Kalau nggak ada polisi, aman. Terobos lampu merah bukan hal yang umum. Ini sepertinya bukti otentik bahwa mereka sangat anti-rasis. Pro-equality. Bahkan untuk lampu lalu lintas, mereka menganggap semua warna sama; artinya jalan terus.
Awalnya saya kira kembalinya saya ke kota ini membuat saya terhindar saya dari Emak-Emak Rule The World seperti waktu saya tinggal di Jogja. Ini adalah peraturan yang dibuat langsung oleh Genk Emak-Emak Naik Motor Part Jogja yang mana semua pengendara harus memaklumi segala isinya dalam kondisi apapun. Satu aturan yang krusial yaitu lampu sein menyala ke kanan tapi beloknya ke ke kiri, kalau keserempet disalahin nggak mau malah balik marah-marah. Itulah satu dari sekian banyak aturan yang ditandatangani dalam Konvensi Emak-Emak Touring Kenapa Enggak?
Hari silih berganti, diisi dengan segala kegiatan normal pengangguran kebanyakan. Bersih-bersih rumah, baca buku, apply kerja, dan masak-memasak. Salah satu yang mau nggak mau saya lakukan adalah mengunjungi sanak saudara demi tersambungnya silaturahmi. Naik sepeda motor. Saya orangnya prepare for the worst, jadi saya dari awal menyiapkan diri di jalanan kalau-kalau ada pengendara yang buru-buru lalu menyenggol footstep saya sehingga saya terkapar tak berdaya dan belum ada yang sempat menolong. Jika demikian, maka nantinya saya harus langsung berdiri tegak dan memandang ke jalan lurus sambil bernyanyi Masa lalu... Biarlah masa lalu....
Setiap kali di jalan raya dan menemukan sisi menyebalkan pengendara di Bekasi, saya berpikir kenapa mereka gitu-gitu amat, padahal di Jogja nggak gitu-gitu amat? Sangat sulit untuk tidak membandingkan, tapi saya berpikir positif jangan-jangan inilah alasan-alasannya. Bisa saja ini terjadi di kota lain. Tapi karena saya tinggal di Bekasi, jadi saya tulis berdasarkan pengalaman saya saat ini saja.
Tentunya ini semua menurut pandangan saya, menurut ilmu sains kontemporer (kalaulah ada). Semoga pengendara di Bekasi, baik yang merasa sebagai pelaku maupun korban, bisa mengerti.
Volume Kendaraan Terus Meningkat
Orang Bekasi suka dan punya cita-cita memiliki motor lebih dari satu. Termasuk saya. Sebab jaman sekarang motor bisa dibeli dengan mudah meski harganya semakin naik. Dengan duit lima ratus ribu kita bisa beli satu sepeda motor matic yang sekali gas bisa langsung ngeeeeng tanpa perlu ganti gigi. Ini membuat volume kendaraan terus bertambah sementara jalan yang ada itu-itu doang. Akhirnya membuat macet. Semakin macet semakin banyak asap knalpot yang terhirup. Asal kamu tahu, penelitian di Belanda mengatakan bahwa menghirup asap kendaraan selama 30 menit meningkatkan aktivitas elektris dalam otak yang bertanggung jawab atas perilaku, kepribadian dan pengambilan keputusan, perubahan yang mengacu pada sugesti stres. Stres bisa memicu orang untuk grusa-grusu.
Terjebak macet memang menyebalkan. Semenyebalkan berharap, tapi malah di-PHP, udah gitu si pelaku PHP nggak peka dan terus nggantungin korban! Namun ternyata stres akibat macet merugikan kita karena kata pakar psikologi gangguan di jalanan setiap hari akhirnya menumpuk dan mengakibatkan masalah mental seiring bertambahnya usia. Jadi, saran nih, kalem aja kalau macet jika kalian nggak mau kena gangguan mental. Kalau bisa praktikkan sedikit yoga di atas kendaraan.
Bekerja di Jakarta atau Pendatang di Bekasi
Bekerja di Jakarta atau menjadi Pendatang yang ingin bekerja di Bekasi sama saja, intinya membuat Bekasi semakin padat. Untuk kasus pekerja komuter di Bekasi ke Jakarta, coba bayangkan sehari dua membutuhkan minimal empat jam perjalanan pulang-pergi. Dengan 4 jam sehari di jalan, berarti ada 20 jam yang dihabiskan pekerja komuter selama seminggu. Jika angka tersebut dikalikan dengan 4 minggu, maka dalam sebulan ada 80 jam waktu yang dihabiskan di jalan. Hitungan ini belumlah seberapa. Coba kalikan saja angka 80 jam tadi dengan 12 bulan. Hasilnya ada 960 jam. Jika angka 960 ini dibagi 24 jam, maka hasilnya ada 40 hari. Ini berarti, dalam setahun para pekerja komuter menghabiskan waktunya di jalan selama 40 hari. 40 hari! Membayangkan angka ini saja membuat saya stres!
Sementara untuk kasus pendatang di Bekasi, ini sudah tidak umum juga. Orang memilih Bekasi karena beranggapan bahwa ada banyak lowongan sebab tersedia 7 kawasan Industri di kota ini. Saya terheran-heran ketika mengetahui bahwa pada tahun 2013 penduduk Bekasi 3,3 juta orang tapi 60 persennya merupakan pendatang. Sependek analisis saya, pendatang ini masih banyak yang mengambil resiko, wani perih, untuk mencari kerja di Bekasi tanpa tahu peluang apa saja yang ada. Ini bisa jadi membuat mereka mencari pekerjaan serabutan atau dadakan. Menjadi tukang ojek, berdagang di pinggir jalan, atau yang paling sedih ya jadi penjahat. Bukan menjelek-jelekkan orang kecil, tapi supaya melihat bahwa ini membuat jalan semakin padat.
Banyak Debu dan Panas
Saya berani berkata, sebagai seorang saintis kelas ecek-ecek, faktor utama yang membuat Bekasi berdebu adalah buruknya sistem drainase. Kenapa? Sederhananya, kalau saluran air macet, lalu banjir atau minimal terbentuk genangan, pasti deh ada sedimen yang kering dan nggak terbawa air. Sedimen padat itu menjadi sangat ringan seiring dengan keringnya permukaan. Ini didukung dengan suhu bekasi yang cenderung tinggi. Beda dengan Bandung misalnya yang elevasinya lumayan tinggi sehingga suhunya cenderung lembab. Atau Jogja yang drainasenya bagus banget karena didukung elevasi cucok di sebelah utara yang berbatasan dengan Gunung Merapi yang membawa kesejukan. Ini membuat jalan atau permukaan tanah di bekasi dengan beberapa kali hembusan pasti sudah mengganggu pemandangan, pernapasan, dan kecantikan. Apalagi kalau kasusnya menimpa cewek-cewek pekerja PT naik motor yang lupa pakai masker. Kalau nggak ngebut, bisa-bisa dempulnya bercampur lempung kering. Freak banget nggak sih, ke kantor muka coreng-moreng kayak mau gerilya.
Jalan Rusak dan Nggak Banyak Jalur Alternatif
Kalau di Jogja, udah drainase bagus, jalan pun banyak. Misalnya kalau saya dari Jakal km 6 mau ke Parangtritis bisa saja saya memilih lewat ringroad, atau lewat kota. Dari kota saya juga bebas milih mau lewat jalan bantul lalu tembus ringroad lalu akhirnya ke jalan parangtritis. Dan itu nggak buang-buang waktu sebab jalan lengang. Paling macet sedikit di lampu merah tapi kan di lampu merah bisa mampir es BangJoe.
Itulah yang membedakannya dengan Bekasi. Untuk ke stasiun Bekasi dari Tambun, misalnya, kalau mau lancar saya harus lewat Jalan Sultan Hasanudin dan Juanda. Bisa sih, lewat jalan alternatif. Tapi kondisinya rusak. Dan kalau hujan banjir terutama di Kali Papanmas dan Perumnas 3. Kalaupun saya lagi niat buat lewat jalur alternatif, tetap saja jalannya padat sebab jalan alternatif, ya, itu-itu doang.
Begitulah analisis saya sebagai seorang sarjana sains kontemporer. Analisis ini berdasarkan data dan fakta yang ada meski sulit mempercayainya. Saya tidak mau memberi solusi karena saya bukan pemerintah. Lagipula percuma, tidak bakal digubris. Ini cuma buat introspeksi diri saja, buat kalian pengendara dimanapun kalian berada. Dan juga tentu untuk pengendara Bekasi, meski kalian ha bebas!, camkanlah satu kata kunci dalam diri kalian: kesadaran.
Sebenarnya masih ada satu permasalahan lagi yang saya belum tahu jawabannya di Bekasi. Kenapa mereka suka sekali nggak pakai helm?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H