Kami pun membiarkan si taksi putih pergi dan takkan kembali lagi. Diskusi pun terjadi antara saya dengan Alan. Dia bilang kalau apa yang saya lakukan sebenarnya sudah benar dan terkadang dia ingin memiliki keberanian yang sama seperti yang saya lakukan. Saya jadi malu sendiri ketika disebut seperti ini, hehehe. Tapi kondisi yang saya alami ini menunjukkan bahwa sepertinya masih ada jurang pembatas antara sesuatu yang “benar” dan yang “baik”. Saya merasa bahwa saat itu saya melakukan sesuatu yang benar, karena saya punya dasar kuat atas hal itu. Jelas bahwa tidak boleh mendahului dari sebelah kiri, artinya posisi saya benar dan si sopir taksi salah. Namun ternyata yang saya lakukan tidak berdampak baik karena berpotensi mengancam nyawa saya dan malah mengganggu pengendara lain. Akhirnya muncullah opsi yang lebih “baik” yaitu membiarkan saja si sopir taksi melakukan perbuatan yang salah.
Paradigma seperti ini rasanya sudah tidak asing lagi di kehidupan kita sehari-hari, apalagi di Indonesia. Kita terlanjur lebih memilih melakukan sesuatu yang “baik tapi belum tentu benar” dibanding sesuatu yang “benar tapi belum tentu baik”. Pelanggaran terhadap peraturan yang sudah jelas merupakan sesuatu yang tidak “benar” kini sudah banyak dibiarkan saja karena terlanjur menjadi sesuatu yang “baik”. Saya pun sering mengalami hal-hal seperti ini, tentu di luar pengalaman yang saya alami diatas. Mungkin hal ini sudah mengakar di kultur bangsa kita sehingga bangsa ini tidak maju-maju.
Lantas, bagaimana seharusnya? Pilih yang benar atau yang baik? Sulit memang memilih salah satu diantara kedua hal ini. Namun mengapa tidak kita coba untuk melakukan keduanya? Mengapa kita tidak mencoba melakukan sesuatu yang benar dengan baik? Sudah terlalu lama kita terpaku dalamcomfort zone dan tidak peduli dengan keadaan sekitar yang jelas-jelas salah. Mungkin ada juga yang berusaha melakukan sesuatu yang benar seperti yang saya coba lakukan, tapi karena pendekatannya tidak baik maka hal ini pun menjadi sia-sia. Sama seperti yang saya alami. Karena itu yuk mari kita mulai sedikit-sedikit membongkar kebiasaan lama, seperti kata iklan kopi yang lagi ngetop itu. Contoh simpelnya seperti menegur dengan halus orang-orang yang merokok dan membuang sampah di sembarang tempat. Mulailah dicoba dari hal-hal yang kecil, maka kita akan bisa memperbaiki sesuatu yang besar. Think globally, act locally.
Mungkin ada yang menganggap tulisan ini sok ide. Tapi tak apalah, setidaknya kita berusaha menyebarkan semangat positif. Lebih baik dibanding diam sama sekali kan? Saya sadar, saya pun belum bisa melakukan hal ini, karena itulah saya terus berusaha. Semoga kita semua bisa bisa bangkit lagi setelah terjatuh cukup lama seperti ini, tidak seperti lirik salah satu lagu yang sedang hits itu.
Selamat Idul Fitri 1433 H.
Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga suatu saat kita tak perlu lagi memilih antara yang benar dan yang baik.