Mohon tunggu...
Wirawan Agahari
Wirawan Agahari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sarjana Teknik Telekomunikasi ITB yang gemar menulis untuk menyampaikan ide, inspirasi, ataupun hanya sekedar berbagi cerita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benar Itu Belum Tentu Baik

23 Agustus 2012   02:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Izinkan saya bercerita tentang pengalaman yang terkait dengan judul diatas. Kejadian ini saya alami kira-kira dua minggu yang lalu. Saat itu saya dan teman saya bernama Alan sedang dalam perjalanan pulang dari acara reuni SMA. Jalanan sendiri masih macet walaupun sudah dekat dengan hari raya. Kami pun memilih melewati jalan tol Cikampek agar lebih cepat sampai di rumah. Kami keluar di pintu tol Pondok Gede Timur yang ternyata masih padat merayap. Faktor malam minggu mungkin.


Tak ingin membuat kondisi makin macet, saya memilih jalur kiri dan mengantri dengan sabar. Namun tiba-tiba ada mobil taksi putih yang mencoba menyalip dari jalur kiri yang notabenenya adalah bahu jalan. Well, saya tidak senang dengan kondisi ini. Setau saya, menyalip yang diperbolehkan itu adalah menyalip lewat jalur kanan, bukan jalur kiri. Hal ini karena menyalip lewat kiri dapat menimbulkan bahaya dan kecelakaan fatal, terutama di jalan tol. Meskipun ini bukan jalan tol, saya rasa hal ini juga tidak dapat ditoleransi.

Atas alasan diatas maka secara refleks saya menutup jalur untuk taksi tersebut dan tidak memberi ruang sama sekali untuk bergerak. Namun ternyata si sopir taksi punya naluri membalap yang gila karena dia masih saja ngotot untuk masuk. Dengan sedikit emosi saya kembali menutup jalur dengan harapan dia mengalah. Tapi mungkin karena jarak antar kedua mobil terlalu dekat sehingga berakibat mobil saya terkena kaca spion taksi tersebut. Mobil saya pun akhirnya sedikit rusak walaupun tidak parah.
Seketika itu juga si taksi putih ini menghampiri mobil saya, masih dari jalur sebelah kiri. Kali ini si sopir memunculkan kepalanya dari balik jendela dan berkata dengan nada sedikit menantang :


“Mau diadu mas mobilnya? Kalo mau diadu bisa aja nih kita adu sekarang!”


Wah, perasaan saya agak campur aduk saat itu. Tapi lebih dominan perasaan panik dan takut. Haha, dasar pengecut. Tapi faktor keselamatan pribadi menjadi pertimbangan saya dalam mengambil keputusan. Kasihan juga orang tua saya karena masih menanti kehadiran saya di rumah. Saya pun hanya menjawab “Enggak pak” agar nasib saya dan Alan tidak terancam. Si sopir pun memberi statement penutup sebagai pembelaan atas tindakan ngasal yang dia lakukan ini.


“saya nyalip dari kiri soalnya saya mau belok kiri di depan mas!”


Kami pun membiarkan si taksi putih pergi dan takkan kembali lagi. Diskusi pun terjadi antara saya dengan Alan. Dia bilang kalau apa yang saya lakukan sebenarnya sudah benar dan terkadang dia ingin memiliki keberanian yang sama seperti yang saya lakukan. Saya jadi malu sendiri ketika disebut seperti ini, hehehe. Tapi kondisi yang saya alami ini menunjukkan bahwa sepertinya masih ada jurang pembatas antara sesuatu yang “benar” dan yang “baik”. Saya merasa bahwa saat itu saya melakukan sesuatu yang benar, karena saya punya dasar kuat atas hal itu. Jelas bahwa tidak boleh mendahului dari sebelah kiri, artinya posisi saya benar dan si sopir taksi salah. Namun ternyata yang saya lakukan tidak berdampak baik karena berpotensi mengancam nyawa saya dan malah mengganggu pengendara lain. Akhirnya muncullah opsi yang lebih “baik” yaitu membiarkan saja si sopir taksi melakukan perbuatan yang salah.


Paradigma seperti ini rasanya sudah tidak asing lagi di kehidupan kita sehari-hari, apalagi di Indonesia. Kita terlanjur lebih memilih melakukan sesuatu yang “baik tapi belum tentu benar” dibanding sesuatu yang “benar tapi belum tentu baik”. Pelanggaran terhadap peraturan yang sudah jelas merupakan sesuatu yang tidak “benar” kini sudah banyak dibiarkan saja karena terlanjur menjadi sesuatu yang “baik”. Saya pun sering mengalami hal-hal seperti ini, tentu di luar pengalaman yang saya alami diatas. Mungkin hal ini sudah mengakar di kultur bangsa kita sehingga bangsa ini tidak maju-maju.


Lantas, bagaimana seharusnya? Pilih yang benar atau yang baik? Sulit memang memilih salah satu diantara kedua hal ini. Namun mengapa tidak kita coba untuk melakukan keduanya? Mengapa kita tidak mencoba melakukan sesuatu yang benar dengan baik? Sudah terlalu lama kita terpaku dalamcomfort zone dan tidak peduli dengan keadaan sekitar yang jelas-jelas salah. Mungkin ada juga yang berusaha melakukan sesuatu yang benar seperti yang saya coba lakukan, tapi karena pendekatannya tidak baik maka hal ini pun menjadi sia-sia. Sama seperti yang saya alami. Karena itu yuk mari kita mulai sedikit-sedikit membongkar kebiasaan lama, seperti kata iklan kopi yang lagi ngetop itu. Contoh simpelnya seperti menegur dengan halus orang-orang yang merokok dan membuang sampah di sembarang tempat. Mulailah dicoba dari hal-hal yang kecil, maka kita akan bisa memperbaiki sesuatu yang besar. Think globally, act locally.


Mungkin ada yang menganggap tulisan ini sok ide. Tapi tak apalah, setidaknya kita berusaha menyebarkan semangat positif. Lebih baik dibanding diam sama sekali kan? Saya sadar, saya pun belum bisa melakukan hal ini, karena itulah saya terus berusaha. Semoga kita semua bisa bisa bangkit lagi setelah terjatuh cukup lama seperti ini, tidak seperti lirik salah satu lagu yang sedang hits itu.


Selamat Idul Fitri 1433 H.

Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga suatu saat kita tak perlu lagi memilih antara yang benar dan yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun