Mohon tunggu...
Afzar Harianja
Afzar Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - Bhumi

Bumi Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabda Pencerahan

16 Juni 2015   20:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   05:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intinya, kesadaran tidak bisa diberikan seperti hadiah atau berkah. Pun Kesadaran tidak bisa ditipu karena kesadaran adalah diri kita sendiri. Kesadaran seperti orang dewasa yang bertanggung jawab penuh pada setiap tindakan yang dilakukannya bukan lagi anak kecil yang bisa di-iming-imingi hadiah atau ditakut-takuti agar mau melakukan apa yang kita inginkan. Ketika kesadaran kita bertemu dengan sosok Yesus Kristus, kesadaran seperti apakah yang kita bangun?

Anand Krishna berpendapat, “ Untuk mecintai Yesus, saya tidak perlu menjadi anggota resmi salah satu gereja. Apakah saya perlu suatu lembaga untuk mengekpresikan cinta saya terhadap Yesus?”. Terdengar agak ‘tidak sopan’ bagi lembaga agama. Tetapi ucapannya masuk ‘cinta’ juga. Seperti cinta Yesus yang tanpa syarat, tanpa embel-embel bagi dunia. Yesus adalah milik dunia. Kasihnya terlalu luas untuk ditampung oleh lembaga agama buatan manusia yang sempit dan sesak. Kasih itu seperti udara. Sumber kehidupan, sangat berharga tetapi gratis dan terdapat dimana-mana. Namun kita tidak dapat menyimpannya untuk diri kita sendiri. Kita tidak dapat menghirup udara lalu menahannya untuk menyimpannya dalam paru-paru kita. Udara yang kita hirup itu harus dikeluarkan kembali kalau kita tidak mau mati. Demikian juga Yesus, Dia tidak bisa dimiliki dan disimpan oleh sekelompok orang atau lembaga yang mengaku mencintaiNya. Seperti Udara, Dia ada dimana-mana dan milik semua orang, dunia.

Bukan berarti umat Kristen tidak perlu beragama formal lagi. Lembaga formal tetap dibutuhkan tetapi jangan sampai membatasi devosi kita terhadap Yesus. Ibadah bersama dalam setiap agama memang penting untuk saling menguatkan tetapi hal itu tidak lantas dapat kita gunakan untuk mengukur keimanan seseorang melalui kerajinannya beribadah. Keimanan tidak ada korelasinya dengan ibadah yang rajin nan khidmat. Kita tidak perlu memungkiri hal ini. Jadi kita tidak perlu rajin beribadah lagi?. Tidak juga, Kalau bisa ya harus rajin beribadah. Yang penting, harus muncul kesadaran bahwa semua itu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dalam diri kita. Kesadaran untuk mengekspresikan kasih dalam hidup sehari-hari. Karena kasih itu universal. Dia tidak dibatasi oleh batasan keyakinan, ras atau wilayah. Bukankah begitu kasih yang diajarkan Yesus?.

Hal ini mengingatkan saya akan kisah perumpaan Yesus tentang orang Samaria yang menolong orang yang kena rampok di tengah jalan. Sementara itu, sebelumnya, seorang Imam dan Lewi yang kebetulan lewat dan nota bene adalah hamba Tuhan terpilih dari umat pilihan Tuhan, melewati korban tersebut begitu saja. Tetapi malah orang samaria yang dikenal tidak “beragama”, yang menolong korban tersebut. Dan yang jelas, orang Samaria tersebut tidak mengenal Yesus. Apalagi beragama Kristen/Katolik !!!. Dan yang paling penting, yang membuat perumpamaan itu adalah Yesus sendiri !!!. Perumpamaan tersebut hanya untuk menjelaskan pertanyaaan jebakan para ahli kitab tentang “siapa sesamaku manusia”.

Seharusnya perumpamaan tersebut dapat membuka mata hati kita bahwa kasih yang diajarkan Yesus begitu luas. Melewati batasan kepercayaan, bangsa atau segala konsep yang membedakan dan memisahkan sesama manusia dan ciptaan. Sehingga kita tidak tergoda untuk posesif terhadap Yesus dan melarangnya untuk mengasihi dan dikasihi oleh umat diluar agama Kristen atau Katolik, kecuali harus konversi atau pindah agama terlebih dahulu. Dulu pilih-pilih kasih dan pandang-pandang bulu, tetapi sekarang aku mengasihimu, siapapun kamu, seperti aku mengasihi diriku sendiri.

“Saya mencintai Yesus bukan untuk mengharapkan keselamatan. Kalau saya mengharapkan sesuatu dari Yesus sebagai balasan cinta saya, apakah itu dapat disebut cinta?. Bukankah hubungan demikian lebih mirip hubungan dagang?”. Waduh…kalau yang tadi agak “kurang sopan” tetapi kalau yang ini sih kebablasan ya?! Atau justru pemahaman saya yang harus ambles, jatuh, dan bertumbuh lagi?.

Sepanjang yang saya tahu, saya yakini sejak saya masuk sekolah minggu, bahwa saya mencintai Yesus karena saya diselamatkan olehNya dari dosa-dosa saya lewat pengorbanan darahNya dan kematianNya di kayu salib Golgota. Pengorbanan mahal yang menyucikan hidup saya sehingga saya layak menjadi anakNya. Dan keselamatan maupun upah anak Tuhan hanya dapat saya terima jika saya menerima Yesus sebagai Juru Selamat yang ditunjukkan dengan status saya beragama Kristen. Demikian yang saya alami dan yakini selama ini.

Ungkapan penulis diatas, menarik untuk dipertimbangkan. Ketika pertama kali membaca kalimat tersebut, ego saya tersentil. Marah dan tersinggung. Bagaimana tidak? Karena selama ini saya meyakini bahwa dengan menerima dan mencintai Yesus sebagai Juru Selamat maka Gusti Yesus Kristus akan memberkahi hidup saya dengan pengampunan dosa, keselamatan, kesembuhan, mukjijat, kekayaan maupun kesuksesan dalam segala hal. Saya rasa, keyakinan demikian adalah wajar. Bahkan, kebanyakan orang yang saya kenal, mulai orang biasa-berkuasa, kaum awam-pemuka agama, orang-agama darimanapun meyakini pemikiran tersebut.
Cinta “balas budi”, cinta “take and

give”, cinta karena hadiah surga dan ancaman neraka. Cinta karena ada “maunya” atau cinta yang bersyarat. Inilah cinta yang saya berikan kepada Tuhan selama ini tanpa saya sadari. Dan penulis mengatakan bahwa hubungan cinta demikian bukanlah cinta tetapi hubungan dagang semata. Butuh waktu lama bagi saya untuk mencerna pernyataan penulis tersebut. Dan ketika memahaminya dengan kepala dingin maka saya mulai menyadari bahwa akar perselisihan yang terjadi pada inter dan antar agama disebabkan oleh cinta yang dangkal tersebut.

Jika kita harus “dipaksa” untuk mencinta- menerima Yesus, Muhammad, Buddha, Krishna, Allah maupun Tuhan dengan hadiah surga-keselamatan dan ancaman neraka-kutukan, maka cinta yang dangkal memang akan memberikan pemahaman yang dangkal juga. Persaingan akan segera terlihat. Sehingga muncullah pemahaman-doktrin bahwa ajaran Yesus yang lebih benar-besar dari ajaran Muhammad atau Nabi lainnya, atau ajaran Yesus dalam gereja sayalah yang paling benar dibanding gereja lainnya. Bukankah ini akar dari fanatisme sempit di negara kita yang beragam ini?

Oleh karena itu, cinta terhadap Sang Kristus karena motif dagang atau untung-rugi bukanlah cinta sejati. cinta yang dangkal tersebut harus berubah menjadi cinta tak bersyarat, KASIH. Teladan hidup Yesus sungguh jelas dan praktis. Seluruh hidupNya mencerminkan arti cinta sejati, arti Kasih. Yesus tidak membedakan antara orang Samaria atau Yahudi, bersunat atau tidak, makan halal atau haram, normal atau cacat, miskin atau kaya. Yesus menempatkan manusia diatas aturan.
Kristus telah memberi landasan Hukum Kasih, “Kasihi sesamamu seperti dirimu sendiri. Dan kasihilah Tuhan Allah dengan segenap akal, budimu”. Gusti Yesus tidak mengucapkan sabda ini untuk orang yang beragama Kristen saja karena waktu itu belum ada agama Kristen sehingga makna mengasihi sesama seperti diri sendiri menjadi sangat luas. Kasihilah sesamamu,siapapun dia, seperti dirimu sendiri. Sesama kita tidak melulu hanya manusia saja tetapi bisa saja tumbuhan, hewan dan alam di sekitar yang telah menjadi saluran berkat kehidupan bagi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun