Mohon tunggu...
AF Yanda
AF Yanda Mohon Tunggu... wiraswasta -

Suka sepak bola dari lahir,,, Tifosi Milan (Milanisti),,,

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perlukah Dana APBD Diberlakukan (Lagi) untuk Klub Sepakbola Indonesia?

18 April 2016   13:51 Diperbarui: 18 April 2016   16:22 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gambar Ilustrasi, sumber: kompas.com"][/caption]

Pasca digelarnya pertemuan antara Presiden Republik Indonesia yang didampingi oleh pihak Kemenpora dengan para pengurus PSSI daerah (Asprov PSSI) beserta klub-klub sepakbola Indonesia di Istana Merdeka, Jumat (15/4/2016) yang membahas terkait permasalahan persepakbolaan Nasional yang terjadi saat ini, rupannya menimbulkan prokontra dikalangan para pecinta sepakbola Nasional.

Prokontra tersebut ialah terkait salah satu poin dari tujuh poin yang dihasilkan dari pertemuan tersebut, dimana adanya wacana dari Pemerintah yang akan mencabut kembali aturan larangan penggunaaan dana APBD untuk (klub) sepakbola Indonesia. Bahkan reaksi netizen atas adanya wacana tersebut juga sempat menjadi trending topik di salah satu situs media sosial.

Sebelumnya pada tahun 2011 lalu, Pemerintah melalui Kemendagri memutuskan untuk menyetop pengucuran dana APBD oleh Pemerintah Daerah kepada klub sepakbola Profesional yang tertuang dalam Permendagri nomor 32 tahun 2011 dan 39 tahun 2012, yang tujuannya ialah sebagai langkah untuk me­ning­katkan alokasi anggaran lebih banyak diperuntukan bagi belanja modal. Sebab anggaran untuk klub sepakbola, bukan merupakan prioritas anggaran.

Dalam lampiran Permendagri No.22/2011 dalam Bab V No. 23 juga disebutkan bahwa: “Pendanaan untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD karena menjadi tanggungjawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional yang bersangkutan.”

Masih belum jelas sebenarnya maksud dari adanya wacana tersebut, karena dalam pertemuan itu sendiri, Presiden hanya memerintahkan Kemenpora bersama Kemendagri untuk membahas serta meninjau kembali terkait adanya aspirasi yang mengusulkan agar APBD bisa mensubsidi kegiatan persepakbolaan. Dalam kesempatan tersebut Presiden juga menekankan adanya pembatasan, agar anggaran tidak dimaksimalkan untuk sepakbola saja.

Banyak versi yang bermunculan dengan adanya wacana tersebut, ada versi yang menyebutkan bahwa dana APBD ini ialah benar (kembali) diperuntukkan untuk mensubsidi klub sepakbola Profesional di Liga Indonesia, namun ada juga versi yang menyebutkan jika dana APBD tersebut digunakan untuk pembiayaan klub-klub sepakbola amatir dan untuk keberlangsungan sekolah sepakbola di masing-masing daerah di Indonesia.

Kembali ke judul diatas, menjadi pertanyaan dan perdebatan banyak pihak terkait efektivitas serta dampak positif dan negatif yang akan timbul dari dicabutnya izin larangan penggunaan dana APBD tersebut untuk klub sepakbola di Indonesia, “terlebih lagi jika salah satu tujuanya ialah untuk mensubsidi operasional klub sepakbola professional Indonesia baik di Liga kasta tertinggi maupun kasta dibawahnya (Divisi Utama).”

Karena salah satu tujuan dikeluarkannya aturan tersebut tidak lain agar klub sepakbola professional di Indonesia bisa benar-benar mandiri dalam menjalankan kegiatan operasional nya, baik ketika mengikuti kompetisi sepakbola ditingkat Nasional maupun Internasional. Karena kemandirian klub tersebut juga merupakan esensi dari bentuk sepakbola professional itu sendiri.

Seolah seperti adanya pernyataan yang saling bertolak belakang dimana disatu sisi Pemerintah menginginkan adanya perubahan tatakelola yang signifikan dan menjadi lebih professional tentunya, salah satunya ialah dengan berupaya menarik kepercayaan investor, dimana nantinya keberadaan investor ini bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kegiatan operasional klub secara mandiri dalam mengarungi ketatnya kompetisi sepakbola Nasional.

Namun disisi lain Pemerintah juga mewacanakan mencabut larangan penggunaan dana APBD untuk sepakbola yang tujuannya untuk dapat mensubsidi/mendanai kegiatan operasional klub-klub sepakbola Indonesia ketika mengikuti kompetisi.

Jika benar seperti itu, kebijakan ini bisa dikatakan sebagai bentuk kemunduran yang seakan mencederai nawacita seluruh insan sepakbola Nasional akan lahirnya era-industri sepakbola yang benar-benar Profesional di Tanah Air.

Pemerintah mungkin dapat bersikap lebih bijak dengan mengevaluasi kembali rencana tersebut mengingat pengalokasian dana APBD untuk klub sepakbola Profesional dapat memberikan dampak yang kurang positif untuk perkembangan sepakbola nasional di masa depan.

Bagaimana kita bisa bicara mengenai sepakbola Profesional, klub sepakbola yang disegani dikawasan Asia, hingga kompetisi yang menjadi role model sepakbola Industri, jika untuk bisa berkompetisi saja klub sepakbolanya harus kembali mengandalkan subsidi Pemerintah.

Jika kita berkaca lagi pada penyebab mengapa aturan larangan penggunaan APBD tersebut akhirnya terpaksa diberlakukan beberapa tahun silam, salah satunya ialah karena banyak klub yang menggelontorkan dana APBD hingga miliaran rupiah hanya untuk mengontrak pemain, khususnya para pemain asing yang bandrol-nya cukup fantastis.

Belum lagi banyaknya monopoli atau penyelewengan yang terjadi yang dilakukan oknum-oknum tertentu dengan memanfaatkan dana tersebut. Bahkan pada saat itu aturan atau larangan penggunaan dana APBD tersebut diberlakukan setelah adanya himbauan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana berdasarkan kajiannya, dana APBD klub sepak bola dapat memunculkan potensi konflik kepentingan dari beberapa pengurus internal klub tersebut. Bahkan, perbedaan penggunaan APBD klub sepak bola cukup signifikan dengan pendapatan asli daerah. (sumber)

Memang harus diakui, beberapa waktu belakangan semenjak aturan pelarangan penggunaan dana APBD untuk sepakbola ini diberlakukan, banyak klub sepakbola professional yang tertatih-tatih ketika mengarungi kompetisi satu musim penuh, banyaknya masalah yang terjadi, ujung pangkalnya bermula karena kurangnya ketersediaan dana untuk operasional tim. Penyebabnya tidak lain karena kurangnya atau sulitnya mereka menggaet sponsor/investor.

Penyebab lainnya yang sering terjadi ialah karena sebagian besar klub sepakbola di Indonesia belum mampu memanajemen keuangan tim-nya dengan baik. Perhitungan yang kurang tepat diawal musim, termasuk dengan jor-joran menggelontorkan dana untuk mengontrak pemain berbandrol tinggi, menjadi penyebab mengapa mereka mengalami permasalahan finansial di pertengahan kompetisi.

Jadi meskipun mereka sebenarnya memiliki dana yang cukup untuk mengarungi kompetisi satu musim penuh, namun karena Tata kelola keuangan yang tidak terkonsep dengan baik mengakibatkan terjadinya ketidak stabilan antara pemasukan dan pengeluaran klub-klub ketika mengarungi kompetisi, yang akhirnya menimbilkan permasalahan-permasalahan klasik seperti yang sering kita dengar salah satunya ialah tertunggaknya gaji pemain.

Langkah yang mungkin daapt diambil oleh Pemerintah, selain dengan mencabut larangan penggunaan dana APBD Daerah yaitu dengan turut serta membantu para klub sepakbola tersebut dalam hal menggaet atau mencari sponsor atau investor untuk bisa bekerja sama dengan pihak klub dalam mengarungi kompetisi minimal dalam satu musim penuh. Salah satunya mungkin dengan turut melobi perusahaan-perusahaan BUMN atau BUMD yang ada di Tanah Air.

Selain itu Pemerintah bekerjasama dengan operator kompetisi dan juga Federasi juga dapat memperkuat sistem pengawasan kepada klub-klub peserta kompetisi. Dimana salah satu caranya ialah dengan menerapkan sistem Financial Fir Play bagi klub peserta kompetisi.

Financial Fair Play sendiri adalah salah satu sistem/langkah yang dibuat dan diterapkan oleh Federasi sepakbola Eropa (UEFA) pada tahun 2012 silam yang beberapa waktu lalu sempat diwacanakan untuk diadopsi oleh operator kompetisi Liga Indonesia.

Tujuannya ialah untuk menekan dan mengatur sistem finansial klub-klub peserta baik sebelum mengikuti kompetisi hingga setelah kompetisi berakhir. Sistem financial fair play ini nantinya dapat diimplementasikan secara pragmatis lewat budget dan player performance index.

Dimana nantinya ada aturan tegas yang akan dibuat oleh operator kompetisi untuk mengatur dan menentukan berapa besaran nilai kontrak setiap pemain ketika akan direkrut oleh klub-klub peserta kompetisi berdasarkan jumlah cap (penampilan) dan performa pemain. (Terkait Fiancial Fair Playselengkapnya bisa baca diartikel saya disini)

Lalu yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimana jika ternyata dana APBD ini diberlakukan hanya berbatas pada klub-klub sepakbola amatir dan sekolah-sekolah sepakbola (SSB) diseluruh daerah di Indonesia. Hal ini sebenarnya masih bisa dimaklumi dan masih mungkin diterima, namun juga masih bisa diperdebatkan.

Yang menjadi pertanyaan nantinya ialah, ada berapa banyak jumlah klub sepakbola amatir di Indonesia, khususnya klub-klub amatir yang terdaftar atau tergabung bersama Federasi resmi (PSSI) termasuk juga sekolah-sekolah sepakbola resmi di Indonesia. Apakah keseluruhan tim-tim dan sekolah sepakbola tersebut akan mendapatkan suntikan dana/bantuan dari APBD secara merata?

Lalu hal yang dikhawatirkan lainnya, adalah adanya celah yang cukup besar bagi pihak-pihak atau oknum-oknum tertentu yang mungkin nantinya dapat memanfaatkan atau menyalahgunakan aturan atau kebijakan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

Jika boleh jujur cukup sulit untuk mengklasifikasikan berapa jumlah besaran dana dan subjek yang layak dan tepat untuk memperoleh bantuan tersebut. Ya meski sebenarnya hal tersebut masih bisa dicarikan solusinya salah satunya dengan membuat seperangkat aturan yang ketat perihal penggunaan dana APBD ini, seperti apa yang diamanatkan Presiden Joko Widodo agar ada aturan batasan penggunaan dana APBD ini untuk sepakbola.

Hal yang mungkin dapat dilakukan oleh Pemerintah selain dengan memberikan izin penggunaan dana APBD untuk klub sepakbola amatir dan sekolah sepakbola ini salah satunya ialah dengan membangun sarana infrastruktur olahraga khususnya untuk sepakbola yang layak atau sesuai standar di setiap daerah di Indonesia.

Yang nantinya sarana infrasruktur ini dapat digunakan atau dimanfaatkan sebesar-besarnya dan sebebas-bebasnya baik untuk klub sepakbola professional, amatir maupun sekolah sepakbola yang ada diseluruh wilayah Indonesia.

Selain masih sangat kurang, infrastruktur olahraga khususunya sepakbola di sebagian besar daerah di Indonesia juga terbilang kurang layak atau tidak memenuhi standar. Ketersediaan sarana infrastruktur ini setidaknya bisa lebih menunjang dan lebih bermanfaat bagi klub professional, amatir dan juga sekolah sepakbola yang ada di Indonesia.

Ya apapun itu, semuanya kembali kepada Pemerintah, apakah akan tetap pada pendiriannya untuk mencabut aturan larangan penggunaan dana APBD tersebut untuk klub sepakbola atau justru sebaliknya.

Yang pasti seperti yang telah kita dibahas diatas, bahwa esensi dari sepakbola professional salah satunya ialah kemandirian dalam pengelolaan manajemen, baik itu klub sepakbolanya, operator kompetisinya maupun federasinya (PSSI). Jika kita berbicara mengenai sepakbola industri maupun tatakelola sepakbola yang professional, maka bagi penulis wacana akan dicabutnya larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepakbola ini “mungkin” bukanlah satu langkah yang tepat dan bijak bagi perkembangan dan kemajuan persepakbolaan Indonesia kedepannya.

Salam…

Sumber Gambar: kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun