Banyak pihak yang menyambut positif dibentuknya komite ini, namun tak sedikit pula yang justru meragukan komite ad-hoc ini mampu menyelesaikan permasalahan sepakbola yang terjadi di Indonesia, khususunya terkait konflik yang terjadi antara PSSI dan Kemenpora saat ini. Hal ini cukup beralasan mengingat Kemenpora sendiri pasca dikeluarkannya putusan tersebut terkesan enggan untuk turut berpartisipasi, walaupun sebenarnya FIFA telah memberikan isyarat bahwa Pemerintah juga harus turut andil dan masuk dalam susunan komite Ad-Hoc Reformasi ini.
Kemenpora pun sudah mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait komite Ad-Hoc yang dibentuk dan disahkan oleh Exco FIFA tersebut, ada lima poin yang disampaikan pihak Kemenpora yang diwakili oleh Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, diantaranya:
1. Kemenpora akan segera merespon surat FIFA tersebut tentang sikap kami soal Komite Ad-Hoc.
2. Kemenpora menyayangkan FIFA tidak memberi kesempatan Tim Kecil untuk bekerja menyelesaikan persoalan sepak bola nasional. Harusnya tidak demikian, karena Kemenpora beranggapan pembentukan Tim Kecil merupakan kesepakatan bersama Presiden RI, Joko Widodo.
3. Nama-nama figur yang sudah dimasukkan di Komite Ad-Hoc menjadi hak FIFA. Tetapi Kemenpora beranggapan pemilihan nama-nama itu tidak sesuai janji FIFA dua minggu lalu, yang rencananya minta tanggapan Pemerintah RI jika Agum Gumelar, IG Manila, Raja Pane mau dipilih menjadi personel Komite Ad-Hoc. Faktanya, permintaan tanggapan itu sampai detik ini tidak pernah dikirimkan.
4. Jika FIFA tetap ngotot dengan pilihannya, Kemenpora merasa dalam posisi terpojok. Kalau pertemuan Komite Ad-Hoc dilakukan, Kemenpora pasti akan selalu kalah voting. Siapapun dengan mudah bisa menebak lemahnya posisi Kemenpora
5. FIFA tidak bisa memaksa Kemenpora untuk masuk dalam Komite Ad-Hoc. Tidak ada pembahasan soal kewajiban dalam surat terkini FIFA.
Banyak pertanyaan yang menguak dibenak sebagian pecinta sepakbola nasional terkait pernyataan dan sikap yang disampaikan oleh perwakilan pihak Kemenpora tersebut, khususnya di poin ke-empat, dimana Kemenpora merasa berada dalam posisi terpojok dan akan selalu kalah dalam setiap voting jika turut masuk dalam komite tersebut.
Alasan yang agak sulit untuk dicerna karena dibentuknya komite ini pada hakekatnya bukanlah sebagai ajang untuk menunjukan siapa pihak yang menang dan kalah, melainkan untuk mencari solusi terbaik menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi di persepakbolaan Nasional saat ini, termasuk langkah konkret seperti apa yang bisa diambil untuk melakukan pembenahan tatakelola sepakbola tersebut melalui jalan musyawarah dan mufakat antar semua pemangku jabatan.
Menjadi kurang relevan jika mengatakan posisi Kemenpora berada dalam posisi yang lemah jika masuk dalam komite tersebut, karena meskipun pihak Kemenpora mengatakan bahwa sebagian besar unsur didalam komite tersebut merepresentasikan PSSI, tetap saja kunci utama termasuk pencabutan pembekuan PSSI berada di tangan pihak Kemenpora.
Turut ambil bagiannya pihak Kemenpora dalam komite ini sebenarnya adalah kesempatan dan tantangan bagi pihak Kemenpora sendiri untuk bisa membuktikan serta mempertahankan argumen dan prinsipnya jika memang memiliki niat tulus membenahi carut-marut sepakbola Indonesia, baik dihadapan publik sepakbola Nasional maupun dihadapan para stakeholder sepakbola lain yang tergabung di komite Ad-Hoc Reformasi ini.
Menpora Imam Nahrawi ketika di wawancarai oleh salah satu media lokal (disini) menyatakan bahwa pihaknya atas nama pemerintah mendesak FIFA untuk memberikan peluang reformasi sebesar-besarnya terhadap federasi sepak bola Indonesia supaya tidak ada lagi pengaturan skor, gaji tidak dibayar, dan diskriminasi bagi klub.
Dari pernyataan Menpora diatas dapat dilihat jika peluang untuk melakukan pembenahan tersebut sudah diberikan FIFA melalui pembentukan Komite Ad-Hoc Reformasi ini, dimana masalah-masalah seperti pengaturan skor, gaji tidak dibayar dan lain sebagainnya juga masuk dalam bagian Terms Of Reference FIFA yang tertuang dalam lima bidang tugas utama komite Ad-Hoc Reformasi PSSI.
Pembenahan atau reformasi itu pada hakekatnya “harus” memiliki dasar pijakan yang kuat dan jelas. Jika permasalahan seperti yg dikatakan Menpora diatas ialah menyangkut pengaturan skor, gaji tidak dibayar, dan diskriminasi terhadap klub, bukankah hal tersebut yang akan menjadi concern atau fokus utama komite Ad-Hoc Reformasi untuk segera dicarikan jalan penyelesaiannya.
Sama halnya jika reformasi yang dimaksudkan Kemenpora salah satunya adalah dengan merombak kepengurusn PSSI saat ini, dimana hal tersebut juga harus memiliki dasar pijakan yang kuat dan jelas (termasuk landasan hukumnya). Sudah sepatutnyalah Kemenpora membuktikan, menindaklanjuti, serta mempublikasikan dengan rinci bentuk pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pengurus PSSI yang baru terpilih tersebut disertai fakta hukum yang jelas, sebagai pintu masuk merombak kepengurusan PSSI saat ini. Jika itu semua tidak dilakukan, justru bukan hanya mempersulit posisi Kemenpora sendiri tetapi akan membuat permasalahan serta konflik yang terjadi saat ini menjadi berlarut-larut dan semakin rumit.