Sebab selama teungku Amri menjadi Bupati. Kesenjangan kehidupan di daerahnya sangat jauh berbeda antara pendukung teungku Amri dengan kehidupan rakyat banyak. Sudah seperti siang dan malam.
Hampir semua tim sukses dulu mendapatkan proyek yang dibagi-bagikan teungku Amri. Kecuali mereka yang benar-benar murni mendukung teungku Amri untuk memajukan Nanggroe. Mereka tidak mau datang ke pendopo menjilat teungku Amri untuk mendapatkan proyek. Mereka murni berjuang memenangkan teungku Amri sewaktu Pilkada dua tahun lalu.
Sementara rakyat kehidupannya semakin susah. Harga-harga barang kebutuhan poko melonjak tinggi. Mata pencaharian susah di dapat. Mau buka usaha, modal tidak ada. Seharusnya dalam kondisi seperti ini kepemimpinan teungku Amri sangat dibutuhkan rakyat. Sebagaimana ia dulu melakukan perlawanan menghadapi pemerintah yang sah. Maka ia maju ke depan memimpin bawahannya mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi rakyat.
“Ah...begitu susahnya nasib, saudara-saudaraku..” teriak batin Kadirun.
Belajar dari pengalaman teungku Amri. Kadirun baru menyadari.
Ternyata, menjadi pemimpin di era globalisasi ini, bukan menjalankan roda pemerintahan itu yang berat. Bukan menghadapi berbagai watak manusia yang susah kita hadapi. Bukan pula menghadapi berbagai krisis ini yang sulit untuk diatasi. Tapi menepati janji pada rakyat itu yang paling sulit dilaksanakan.
Kadirun merasakan itu. Ia hanya bisa berdoa agar kawan dan juga sahabatnya teungku Amri tidak melupakan janji-janjinya. Amiin.
Not: Cerita ini hanya fiktif.
Tutong, 20 Juli 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI