“Rasanya sudah nggak enak lagi duduk kursi empuk ini. Rasanya sudah seperti duduk di atas bara api di neraka.“ bisik hati Kadirun, sambil beranjak.
“Kalau begitu yang teungku katakan. Apa boleh buat. Aku sudah mengingatkan teungku. Jadi selaku kawan dan juga tim kampanye teungku, aku sudah mengingatkan teungku.Jadi...sudah cukuplah pembicaraan kita. permisi.” Kata Kadirun melangkah meninggalkan teungku Amri yang tersenyum penuh misteri. .
Lalu Kadirun pergi, tanpa bersalaman lagi dengan teungku Amri, sebagaimana biasa yang dia lakukan.
Sejak itu, sudah lebih dua bulan Kadirun tidak lagi pernah diundang teungku Amri ke pendopo. Teungku Amri pun tidak pernah meneleponnya lagi.
Kadirun pun tidak lagi mau datang ke pendopo, sebagaimana dulu, di awal-awal teungku Amri memenangkan Pilkada menghadapi saingan beratnya. Pendopo itu rasanya sudah seperti rumah pertamanya. Rumah keduanya di lorong Pangka Butun. Rumah yang dibangunnya dengan susah payah bersama Saodah, perempuan yang dinikahinya semasa dalam konflik di tengah hutan.
Padahal hubungan antara ia dan teungku Amri sudah seperti abang-adik. Bila ia tidak ada datang ke pendopo, maka ajudan teungku Amri datang padanya, meminta ia datang ke pendopo. Ia pun datang menjumpai teungku Amri. Tapi sekarang teungku Amri sudah jauh berubah, sejak berenang dalam kolam kekuasaan.
Walaupun ia tidak pernah lagi datang ke pendopo. Akan tetapi beberapa proyek tetap ditawarkan teungku Amri, untuk ditanganinya. Melalui ajudannya yang lansung menjumpai Kadirun. Tapi Kadirun tidak mau menerima proyek tersebut.
Bukan ia tidak mau proyek. Bukan ia tidak mau uang. Tapi ia malu pada dirinya sendiri. Ia malu pada rakyat yang hidupnya semakin susah. Sebab ia tidak pantas menerima proyek tersebut.
Tapi rakyat lah yang pantas menerima proyek-proyek tersebut. Sebab mereka sedang mengalami kesusahan hidup menghadapi resesi ekonomi dan wabah ta’un ini.
Sementara ia dan banyak kawan-kawannya satu tim pemenangan dulu, sudah bersenang-senang, menikmati hasil kemenangan teungku Amri. Rata-rata kawan-kawannya sudah punya mobil dan rumah mewah.
Apalagi telinganya sering mendengar berbagai gunjingan dan cacian yang ditujukan pada teungku Amri dan menyebut kejelekan teungku Amri, sebagai Bupati. makanya ia menolak pemberian proyek dari teungku Amri.