*Kedua rapikan SDM-nya*. Buat pula system merit-demerit yang menarik, dan tumbuhkan persaingan sehat antar kelompok, yang itu disertai pula dengan perbaikan dalam hal remunerasinya. Itu yang dilakukan Pak Cacuk dengan mengubah struktur bawang bombai menjadi struktur piramida.Â
Kemudian juga perbaikan kualitas karyawan yang saat itu kondisinya: Dari total 46 ribu orang, S3 1 orang, S2 0 orang, S1 750 orang, D3 240 orang, sisanya SLTA ke bawah. Hal yang mirip juga ditemukan oleh Pak Jonan, yang di awal masanya mendata dari total 24,600 orang karyawan KAI, lulusan SD 35% dan SMP 20%, dan yang sarjana hanya 0,3% alias 86 orang saja.
*Ketiga, pastikan sistem berjalan*. Untuk itu perlu ada kontrol yang rutin. Pak Cacuk rutin melakukan teleconference setiap pekan dengan semua kantor cabang. Dimana mereka masing-masing melaporkan perkembangan dan apa saja yang telah dilakukan serta rencana-rencana perubahan di wilayah masing-masing.Â
Rencana dan tindakan mereka didengar secara terbuka oleh pimpinan dan staff dari kantor cabang lain, dan menariknya ini bisa menjadi ide perbaikan di cabang dan wilayah lain. Pak Jonan sebagai pimpinan KAI juga rutin mengontrol kondisi di lapangan, bahkan pernah sampai tidur di kereta api demi menjalankan misinya.
Dan yang keempat yang sangat penting dan tidak mudah adalah *harus berani dan bisa komunikasi*. Karena ketika melakukan perubahan, dipastikan akan ada perlawanan. Perlu keberanian untuk menghadapinya, dan membutuhkan kecerdasan komunikasi untuk bisa menjelaskan maksud dan tujuan serta mengubah perlawanan jadi dukungan.
Demikian beberapa pelajaran dari beberapa Tokoh Perubahan di Indonesia. Semoga akan masih banyak lagi Tokoh Perubahan di masa depan, yang akan tumbuh, memimpin dan membawa negeri ini lebih baik lagi. Aamiiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H