Mohon tunggu...
Afsokhi Abdulloh
Afsokhi Abdulloh Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk bersenang-senang

www.afsokhq.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lapar di Perut Masih Bisa Makan, Lapar Kekuasaan Bisa Apa?

28 Agustus 2024   04:02 Diperbarui: 28 Agustus 2024   04:02 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat banyak yang merasa tertipu, ternyata di balik wajah polosnya itu terdapat agenda-agenda yang merugikan rakyat. Semua terbukti, dua demo terbesar di eranya adalah di tahun 2019 dan 2024. Di 2019 salah satunya adalah adanya agenda pelemahan KPK. Dan ini terbukti, hanya di eranya, ketua KPK-nya menjadi tersangka.

Salah satu agenda utama rezim adalah mempertahankan kekuasaan, yang sayangnya mengorbankan demokrasi itu sendiri. Kita bisa bilang wajah 'Jokowi periode ketiga' adalah dengan adanya Gibran sebagai cawapres terpilih. Namun agaknya itu tidak cukup untuknya, sehingga masyarakat merasa seperti dipermainkan dan tidak dianggap dibandingkan kepentingan keluarganya sendiri.

Jika Jokowi menganut nilai-nilai negarawan, harusnya di ujung pemerintahannya ia tidak membiarkan anak-anaknya untuk maju di kontestasi politik. Meskipun bisa secara UU, namun rasa-rasanya tidak etis. Sebab posisinya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, perannya sangat sakral.

Meskipun ia diam saja, para bawahannya tentu akan mencoba 'me-service' atasannya itu dengan segala cara.

10-50 tahun ke depan, entah apa yang kita ingat ketika mendengar presiden Jokowi. Apakah akan dikenang sebagai presiden dengan membangun infrastruktur terbanyak, atau presiden yang haus akan kekuasaan?

Tapi darinya setidaknya kita bisa belajar, orang yang dulunya dikenal dekat dengan rakyat, bahkan dulu slogannya 'Jokowi adalah Kita' dan kita melihat Jokowi ada representatif dari warga atau rakyat sipil biasa dan berharap ia mampu mengemban amanat rakyat-biasa. Tapi orang bisa berubah ketika mendapat kekuasaan.

Masyarakat kita sudah muak dengan gimik dan pencitraan, kita sudah mulai kritis akan track record para calon pemimpin. Ini adalah kemajuan demokrasi di ulangan tahun Indonesia ke 79 dengan kado yang dibayar mahal.

Tiap pemerintahan tidak ada yang sempurna, jika hal-hal yang sama seperti ini akan terulang lagi di masa depan, tentu gelombang protes akan lebih besar lagi. Sebab bagaimanapun kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.

Kita tahu bahwa penghambat majunya negeri ini adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika praktik ini saja terjadi di tatanan tertinggi negara, kita bisa berharap apa pada instansi turunannya yang bersinggungan denganmu setiap hari.

Tapi siapa nyana, lapar di perut masih bisa makan, lapar kekuasaan bisa apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun