Yang terjadi pada 22 Agustus sampai hari ini adalah akumulasi kemarahan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi. Kemarin adalah momentum yang pas menggerakkan masyarakat dari berbagai kalangan dengan cepat, menyuarakan hal yang sama: ketidakpuasan terhadap pemerintahan Jokowi bahkan di ujung jabatannya sebagai presiden Indonesia.
Biasanya orang akan mengenang di awal dan akhir pertemuan, tapi pemerintahan Jokowi terutama di periode keduanya, diawali dengan demo besar di 2019 dan diakhiri aksi massa yang tidak kalah besar di 2024. Sungguh miris sebab Jokowi adalah sosok yang  dinilai paling dekat dengan rakyat karena ia jauh dari elite saat itu, meskipun itu hasil dari gimik atau pencitraan saja.
Aku yang awam mencoba mencerna di mana titik fatal kesalahan presiden Jokowi. Mungkin orang akan mengira bahwa Jokowi tidak melakukan apa-apa, dan di depan media lebih sering terlihat tidak terjadi hal-hal serius yang dialami negeri.
Dan dalam tiap ada demo besar pun, ia tidak pernah mengomentari tuntutan yang dialamatkan kepadanya, hanya mengomentari tentang bagaimana demo itu seharusnya tertib. Padahal dengan ia membahas tuntutan rakyat, rakyat jadi tahu bahwa ia mendengar aspirasi rakyat, bukan hanya imbauan bagaimana cara aspirasi itu dilakukan.
Bahkan saat panas-panasnya aksi di berbagai daerah, ia malah bicara tentang jatah menteri dan curhat banyak yang meninggalkannya di situasi ini.
Aku menyadari, bahwa sebagai presiden, pemegang tertinggi kekuasaan negara, ia kurang bersikap 'negarawan'. Bahwa ia sadar mempunyai power yang besar untuk menggerakkan negeri ini ke arah yang harusnya lebih baik, tapi malah mengalami kemunduran.
Orang-orang turun ke jalan memprotes sikapnya sebagai presiden yang terlihat abai atau seolah membiarkan politik dinasti itu terjadi. Semua orang bisa melihat bahwa ia seperti ketakutan kehilangan perannya di pemerintahan.
Aksi kemarin bukan hanya memprotes tentang UU pilkada, lebih dari itu, masyarakat mulai mencium adanya hal tidak jujur selama pemerintahannya. Seperti adanya gratifikasi di lingkaran keluarga dan orang terdekatnya, dan mungkin lobi-lobi lain yang menguntungkan segolongan orang/kelompok tertentu.
Bahkan media Singapura menulis tentang dugaan adanya gratifikasi di lingkaran keluarga Jokowi yang berkaitan dengan perusahaan yang berkantor di Singapura SEA Group. Semua ini berawal dari 'investigasi' warga X yang menyoroti gaya hidup mewah anak presiden. Belum ada konfirmasi resmi dari SEA Group tapi ini jadi bukti bahwa masyarakat sudah muak dengan presiden Jokowi dan segala yang berkaitan dengannya.
Politik memang seperti bermain catur, satu langkah saja sudah mewakili banyak strategi ke depan. Barangkali Jokowi sudah membuat peta tersendiri dan membuat dirinya menjadi satu-satunya yang berkuasa di atas papan catur. Ia yang membuat, mengatur, dan memainkan game tersebut dan tak terkalahkan.
Kita hanya bisa berandai-andai bahwa Jokowi adalah orang baik, tapi manuver politiknya ketara seperti mementingkan kelompok tertentu. Sehingga masyarakat bertanya, Jokowi lebih membela rakyat atau elite?
Masyarakat banyak yang merasa tertipu, ternyata di balik wajah polosnya itu terdapat agenda-agenda yang merugikan rakyat. Semua terbukti, dua demo terbesar di eranya adalah di tahun 2019 dan 2024. Di 2019 salah satunya adalah adanya agenda pelemahan KPK. Dan ini terbukti, hanya di eranya, ketua KPK-nya menjadi tersangka.
Salah satu agenda utama rezim adalah mempertahankan kekuasaan, yang sayangnya mengorbankan demokrasi itu sendiri. Kita bisa bilang wajah 'Jokowi periode ketiga' adalah dengan adanya Gibran sebagai cawapres terpilih. Namun agaknya itu tidak cukup untuknya, sehingga masyarakat merasa seperti dipermainkan dan tidak dianggap dibandingkan kepentingan keluarganya sendiri.
Jika Jokowi menganut nilai-nilai negarawan, harusnya di ujung pemerintahannya ia tidak membiarkan anak-anaknya untuk maju di kontestasi politik. Meskipun bisa secara UU, namun rasa-rasanya tidak etis. Sebab posisinya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, perannya sangat sakral.
Meskipun ia diam saja, para bawahannya tentu akan mencoba 'me-service' atasannya itu dengan segala cara.
10-50 tahun ke depan, entah apa yang kita ingat ketika mendengar presiden Jokowi. Apakah akan dikenang sebagai presiden dengan membangun infrastruktur terbanyak, atau presiden yang haus akan kekuasaan?
Tapi darinya setidaknya kita bisa belajar, orang yang dulunya dikenal dekat dengan rakyat, bahkan dulu slogannya 'Jokowi adalah Kita' dan kita melihat Jokowi ada representatif dari warga atau rakyat sipil biasa dan berharap ia mampu mengemban amanat rakyat-biasa. Tapi orang bisa berubah ketika mendapat kekuasaan.
Masyarakat kita sudah muak dengan gimik dan pencitraan, kita sudah mulai kritis akan track record para calon pemimpin. Ini adalah kemajuan demokrasi di ulangan tahun Indonesia ke 79 dengan kado yang dibayar mahal.
Tiap pemerintahan tidak ada yang sempurna, jika hal-hal yang sama seperti ini akan terulang lagi di masa depan, tentu gelombang protes akan lebih besar lagi. Sebab bagaimanapun kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Kita tahu bahwa penghambat majunya negeri ini adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika praktik ini saja terjadi di tatanan tertinggi negara, kita bisa berharap apa pada instansi turunannya yang bersinggungan denganmu setiap hari.
Tapi siapa nyana, lapar di perut masih bisa makan, lapar kekuasaan bisa apa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H