Setiap terdengar berita polisi menangkap pelaku coret, tidak ada perubahan signifikan yang terasa jika kita berjalan kaki di pertokoan dan mendapati setiap hari ada saja coretan dan cat baru di sana. (Tribun Jogja)
Pintu beberapa toko yang tutup tidak pernah selamat dari aksi corat-coret dengan cat semprot. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Karena merasa aparat tidak berdaya, banyak warga kota bertindak sendiri mencegah bangunan mereka dirusak pelajar bersenjata cat semprot yang beraksi di malam hari. Setelah bangunan mereka dicat ulang dan bersih, beraneka papan peringatan mereka pasang, dari memohon, meminta, hingga mengancam, semata-mata agar fasad atau pintu toko mereka tidak dicoreti lagi.Â
Uniknya, para pelaku corat-coret di Jogja masih menghormati bangunan-bangunan tertentu, seperti cagar budaya, tugu, pagar sekolah, gerbang sasono lelayu (pemakaman), atau pagar kantor bank. Jarang dari kelompok "eksklusif" ini yang kena coret.
Pemilik atau pengelola bangunan toko sampai memasang pengumuman memohon agar muka bangunan mereka tidak dicoreti. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Bangunan berastitekur tua terjepit tidak terawat di antara pertokoan modern dengan fasad-fasad pemasaran mereka yang warna-warni. Ada banyak bangunan bertanda Anno 19XX di Yogyakarta yang peruntukannya kini tidak jelas dan malah terlantar rusak. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Di banyak sisinya, kota kita meninggalkan wajah lamanya jauh di belakang, dan menyerahkan begitu saja raganya pada komersialisasi yang dianggap "sumber kemakmuran bersama". Ada banyak bangunan tua di kota Yogyakarta yang layak direvitalisasi atau setidak-tidaknya direnovasi, akan tetapi tetap terbengkalai dalam fisiknya yang semakin rapuh.
Di sekitaran Kilometer Nol mudah kita menemui bangunan-bangunan peninggalan Muhammadiyah, atau organisasi-organisasi dagang era 1930-1950-an yang kelihatan menyeramkan karena tidak terawat, entah karena belum ada peruntukan, di bawah perkara sengketa, tidak terjangkau modal, dan yang lainnya.Â
Yang seperti ini bisa juga ditemukan di sekitar Kawasan Kota Lama Semarang, di mana banyak bangunan sekitar Gedung Bank Mandiri dan Gereja Blenduk yang teronggok lama hingga rusak diterjang banjir rob. Di Yogyakarta, peluang mereka masih lebih baik tetapi entah kenapa nasibnya sama saja.
Beberapa bangunan di sekitar Keraton dan di daerah Kotagede nasibnya sedikit lebih beruntung karena berpapasan dengan rumah pemukiman warga. Tetapi banyak yang bersisian dengan kawasan komersil, tenggelam di tengah-tengah mentereng reklame dan lampu-lampu eksotis. Gelap dan hampa tanpa suara.
Sebuah mural di pojok Jalan Kaliurang Yogyakarta mempertontonkan parodi peringati Hari Air Sedunia. Tidak jauh dari dinding bergambar ini, proyek apartemen terus berjalan dan spanduk-spanduk penolakan warga bertebaran. Foto diambil Kamis, bulan Maret 2015 (Fandi Sido)
BACA JUGA: Merasakan Pertumbuhan Penduduk
Berkaca pada Banjir
Pandes: Benteng Terakhir Dolanan Anak
Lihat Hobby Selengkapnya