Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Foto: Kota Kita Kehilangan Muka

16 Mei 2015   05:39 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:12 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Becak melintas di depan sebuah papan penunjuk arah jalan yang tergeletak di pinggir aspal Jl. Sultan Agung, Yogyakarta. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)

Kita hanya perlu membuka mata lebih sering, dan berjalan dengan lebih perlahan. Merasakan perubahan kota seperti pertumbuhan penduduk akan membawa kita pada kesadaran bahwa muka kota itu sendiri telah berubah. 

Ini adalah foto esai menggambarkan sejumlah wajah kota Yogyakarta yang sedang dilanda banyak kritik, dari pembangunan yang timpang dan dinilai merugikan warga, sikap abai penegak hukum terhadap aksi cora-coret dan vandalisme, muka fasilitas publik yang tercoreng, sampai gambar-gambar parodi dari fakta bahwa kota kita butuh perhatian, dan warganya harus bersuara.

Foto-foto dalam esai ini dijepret antara bulan Maret hingga Mei 2015, dan berlokasi di beberapa titik jalan protokol kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.

Barisan pohon di jalan Gejayan Yogyakarta kerap dijadikan pengganti tiang reklame beraneka produk. Foto diambil 24 Februari 2015. (Fandi Sido)
Barisan pohon di jalan Gejayan Yogyakarta kerap dijadikan pengganti tiang reklame beraneka produk. Foto diambil 24 Februari 2015. (Fandi Sido)
Sekitar bulan Februari lalu, Pemerintah Kabupaten Sleman lewat Satuan Polisi Pamong Praja dan DLLAJ menggelar razia penertiban reklame-reklame liar. 

Ada beberapa baliho besar hingga spanduk yang diturunkan paksa karena dipasang tanpa izin, dan atau menyalahi ketentuan. Gambar di atas menunjukkan barisan pohon angsana (pterocarpus indicus) yang menyejukkan sepotong jalan Affandi/Gejayan, Sleman.

Pohon-pohon ini berjumlah puluhan dan berjajar sebagai peneduh jalan sejak lama. Sayangnya, lantaran posisinya yang berpapasan dengan trotoar pinggir jalan, pohon-pohon ini kerap jadi korban paku-memaku reklame oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. 

Di dekat pepohonan ini ada sebuah halte TransJogja (tempat saya menjepret gambar di atas), dan ada hari-hari di mana saya menunggu bus dan mendapati pepohonan angsana itu bersih dari reklame, biasanya satu atau dua hari setelah mobil pikap Pol PP "menyapu" dan melakukan penertiban.

Tetapi pada hari berikutnya, selalu saja ada reklame baru yang diikat atau dipaku ke badan pohon-pohon itu. Bentuk reklame yang lebih compact dengan hanya dibingkai bambu kini bertebaran di jalan-jalan Yogyakarta dan jadi alternatif bagi banyak pihak jika ingin memasang "pengumuman" sementara tanpa harus mengurus izin reklame. Sayangnya, mereka mengorbankan pepohonan.

Komunitas yang tergabung dalam Reresik Sampah Visual (@sampahvisual) dikomandoi dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta Sumbo Tinarbuko kerap bersuara atas kotornya kota Jogja lantaran reklame luar ruang. 

Hanya saja, kritik-demi kritik hanya berakhir di media dan ruang-ruang diskusi. Pemerintah kota tidak bersungguh-sungguh merapikannya, terhadang kepentingan pendapatan asli daerah yang tak seberapa.

Barisan kendaraan berhenti bergantian di simpang lampu merah Condongcatur, Yogyakarta. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Barisan kendaraan berhenti bergantian di simpang lampu merah Condongcatur, Yogyakarta. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Yogyakarta bergelut dengan sampah visual reklame jalan sejak lama, dan makin parah lima tahun terakhir sejak "keran investasi" dibuka pemerintah Sleman dan diperlunak oleh Pemkot Yogya. 

Kini, tidak ada persimpangan jalan yang selamat dari terjangan reklame-reklame beraneka produk. Ukurannya beragam, dari seukuran kalender berikat kawat di tiang lampu merah sampai yang raksasa setinggi lebih dari 8 meter dan tumpang tindih menutupi rupa bangunan.

Pendapatan pajak reklame Kab. Sleman mencapai puncaknya pada 2009 lalu sebesar 8,1miliar, tapi terus turun di kisaran 5,6 miliar, menurut catatan Dinas Pendapatan Asli Daerah (Dispenda). Kota Jogja sendiri, pendapatan dari pajak reklamenya tidak pernah memenuhi target lima tahun terakhir. Pada laporan 2014, kota Jogja hanya memperoleh pajak sebesar 4,7 miliar, jauh meleset dari target 8 miliar (RadarJogja).

Kini, makin banyak reklame digital dengan potensi pajak lebih besar tersebar di banyak penjuru kota Jogja. Mungkin ini jalan keluar bagi pemkot menambah pendapatan, meski potensi asimetri visualnya masih dalam perdebatan.

Tiang penerangan jalan di Kawasan Nol Kilometer Yogyakarta tidak luput dari aksi pasang reklame liar dan vandalisme cat semprot. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Tiang penerangan jalan di Kawasan Nol Kilometer Yogyakarta tidak luput dari aksi pasang reklame liar dan vandalisme cat semprot. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Jalan kecil di kawasan Ambarrrukmo ini belum jelas statusnya, apakah jalan publik atau privat. Di ujung jalan terhenti di sebuah hotel dan kampus yang disponsori hotel. Foto diambil Kamis, 28 April 2015 (Fandi Sido)
Jalan kecil di kawasan Ambarrrukmo ini belum jelas statusnya, apakah jalan publik atau privat. Di ujung jalan terhenti di sebuah hotel dan kampus yang disponsori hotel. Foto diambil Kamis, 28 April 2015 (Fandi Sido)
Menjamurnya pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta meninggalkan beberapa jaln jadi pusat perhatian lantaran ditebari spanduk-spanduk "penanda wilayah kekuasaan" pembangunan. Gambar di atas diambil bulan April lalu, di sebuah jalan sempit sebelah timur Mal Ambarrukmo, Jalan Adisutjipto Yogyakarta. 

Ada banyak lahan kosong di pinggir jalan protokol sengaja dipasangi pengumuman bahwa lahan itu tidak dijual, mewanti-wanti gesitnya makelar tanah memburu peruntungan bagi para peminta, dalam  hal ini pengembang.

Sejauh ini Sleman belum merampungkan aturan baku soal manajemen proyek dan batasan tata kelola pembangunan apartemen, sementara pembangunan terus berlanjut. Banyak pihak pengembang malah berlomba-lomba menyelesaikan unit mereka sebelum regulasi resmi meluncur, tentu ada sebabnya.

Yogyakarta, selain berkutat dengan investasi, juga punya pekerjaan rumah menyusun berbagai regulasi. Di sisi lain, kalangan pengusaha dan pelaku di jalan was-was apakah jalannya bisnis dan usaha mereka dinaungi undang-undang, peraturan daerah, ataukah tidak. 

Becak bermesin motor yang sejak lama dianggap ilegal di Yogyakarta termasuk satu pihak yang terus mengupayakan nasib legalitas mereka, sementara payung hukum belum ada kabarnya.

Anehnya, ada banyak hotel di kawasan wisata kota Yogyakarta mengakomodasi becak-becak motor ilegal ini sebgai tenaga pemasaran. Jikapun nanti regulasi selesai dan katakanlah betor ilegal! Para pengayuh ini masih punya kelompok pendukung suara mereka: pemasaran hotel-hotel wisata.

Sebuah becak bermesin motor parkir melintang di trotoar Jalan Malioboro, di seberang spanduk berisi suara dukungan bertepatan dengan Hari Buruh. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Sebuah becak bermesin motor parkir melintang di trotoar Jalan Malioboro, di seberang spanduk berisi suara dukungan bertepatan dengan Hari Buruh. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Vandalisme tak terbendung

Sudah sering jajaran polisi kota dan daerah di Yogyakarta mengklaim mereka telah menangkap oknum-oknum pelajar setingkat SD hingga SMA yang terbukti melakukan aksi corat-coret bangunan dan fasilitas publik. Akan tetapi jelas vandalisme bukanlah aksi sindikasi ataupun berakar pada satu sumbu. Vandalisme corat-coret di Yogyakarta seperti jamur, benalu, perusak pemandangan kota dan perugi pemilik bangunan. 

Setiap terdengar berita polisi menangkap pelaku coret, tidak ada perubahan signifikan yang terasa jika kita berjalan kaki di pertokoan dan mendapati setiap hari ada saja coretan dan cat baru di sana. (Tribun Jogja)

Pintu beberapa toko yang tutup tidak pernah selamat dari aksi corat-coret dengan cat semprot. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Pintu beberapa toko yang tutup tidak pernah selamat dari aksi corat-coret dengan cat semprot. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Karena merasa aparat tidak berdaya, banyak warga kota bertindak sendiri mencegah bangunan mereka dirusak pelajar bersenjata cat semprot yang beraksi di malam hari. Setelah bangunan mereka dicat ulang dan bersih, beraneka papan peringatan mereka pasang, dari memohon, meminta, hingga mengancam, semata-mata agar fasad atau pintu toko mereka tidak dicoreti lagi. 

Uniknya, para pelaku corat-coret di Jogja masih menghormati bangunan-bangunan tertentu, seperti cagar budaya, tugu, pagar sekolah, gerbang sasono lelayu (pemakaman), atau pagar kantor bank. Jarang dari kelompok "eksklusif" ini yang kena coret.

Pemilik atau pengelola bangunan toko sampai memasang pengumuman memohon agar muka bangunan mereka tidak dicoreti. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Pemilik atau pengelola bangunan toko sampai memasang pengumuman memohon agar muka bangunan mereka tidak dicoreti. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Bangunan berastitekur tua terjepit tidak terawat di antara pertokoan modern dengan fasad-fasad pemasaran mereka yang warna-warni. Ada banyak bangunan bertanda Anno 19XX di Yogyakarta yang peruntukannya kini tidak jelas dan malah terlantar rusak. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Bangunan berastitekur tua terjepit tidak terawat di antara pertokoan modern dengan fasad-fasad pemasaran mereka yang warna-warni. Ada banyak bangunan bertanda Anno 19XX di Yogyakarta yang peruntukannya kini tidak jelas dan malah terlantar rusak. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Di banyak sisinya, kota kita meninggalkan wajah lamanya jauh di belakang, dan menyerahkan begitu saja raganya pada komersialisasi yang dianggap "sumber kemakmuran bersama". Ada banyak bangunan tua di kota Yogyakarta yang layak direvitalisasi atau setidak-tidaknya direnovasi, akan tetapi tetap terbengkalai dalam fisiknya yang semakin rapuh.

Di sekitaran Kilometer Nol mudah kita menemui bangunan-bangunan peninggalan Muhammadiyah, atau organisasi-organisasi dagang era 1930-1950-an yang kelihatan menyeramkan karena tidak terawat, entah karena belum ada peruntukan, di bawah perkara sengketa, tidak terjangkau modal, dan yang lainnya. 

Yang seperti ini bisa juga ditemukan di sekitar Kawasan Kota Lama Semarang, di mana banyak bangunan sekitar Gedung Bank Mandiri dan Gereja Blenduk yang teronggok lama hingga rusak diterjang banjir rob. Di Yogyakarta, peluang mereka masih lebih baik tetapi entah kenapa nasibnya sama saja.

Beberapa bangunan di sekitar Keraton dan di daerah Kotagede nasibnya sedikit lebih beruntung karena berpapasan dengan rumah pemukiman warga. Tetapi banyak yang bersisian dengan kawasan komersil, tenggelam di tengah-tengah mentereng reklame dan lampu-lampu eksotis. Gelap dan hampa tanpa suara.

Sebuah mural di pojok Jalan Kaliurang Yogyakarta mempertontonkan parodi peringati Hari Air Sedunia. Tidak jauh dari dinding bergambar ini, proyek apartemen terus berjalan dan spanduk-spanduk penolakan warga bertebaran. Foto diambil Kamis, bulan Maret 2015 (Fandi Sido)
Sebuah mural di pojok Jalan Kaliurang Yogyakarta mempertontonkan parodi peringati Hari Air Sedunia. Tidak jauh dari dinding bergambar ini, proyek apartemen terus berjalan dan spanduk-spanduk penolakan warga bertebaran. Foto diambil Kamis, bulan Maret 2015 (Fandi Sido)
BACA JUGA:

Merasakan Pertumbuhan Penduduk

Berkaca pada Banjir

Pandes: Benteng Terakhir Dolanan Anak

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun