Kita hanya perlu membuka mata lebih sering, dan berjalan dengan lebih perlahan. Merasakan perubahan kota seperti pertumbuhan penduduk akan membawa kita pada kesadaran bahwa muka kota itu sendiri telah berubah.Â
Ini adalah foto esai menggambarkan sejumlah wajah kota Yogyakarta yang sedang dilanda banyak kritik, dari pembangunan yang timpang dan dinilai merugikan warga, sikap abai penegak hukum terhadap aksi cora-coret dan vandalisme, muka fasilitas publik yang tercoreng, sampai gambar-gambar parodi dari fakta bahwa kota kita butuh perhatian, dan warganya harus bersuara.
Foto-foto dalam esai ini dijepret antara bulan Maret hingga Mei 2015, dan berlokasi di beberapa titik jalan protokol kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Ada beberapa baliho besar hingga spanduk yang diturunkan paksa karena dipasang tanpa izin, dan atau menyalahi ketentuan. Gambar di atas menunjukkan barisan pohon angsana (pterocarpus indicus) yang menyejukkan sepotong jalan Affandi/Gejayan, Sleman.
Pohon-pohon ini berjumlah puluhan dan berjajar sebagai peneduh jalan sejak lama. Sayangnya, lantaran posisinya yang berpapasan dengan trotoar pinggir jalan, pohon-pohon ini kerap jadi korban paku-memaku reklame oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.Â
Di dekat pepohonan ini ada sebuah halte TransJogja (tempat saya menjepret gambar di atas), dan ada hari-hari di mana saya menunggu bus dan mendapati pepohonan angsana itu bersih dari reklame, biasanya satu atau dua hari setelah mobil pikap Pol PP "menyapu" dan melakukan penertiban.
Tetapi pada hari berikutnya, selalu saja ada reklame baru yang diikat atau dipaku ke badan pohon-pohon itu. Bentuk reklame yang lebih compact dengan hanya dibingkai bambu kini bertebaran di jalan-jalan Yogyakarta dan jadi alternatif bagi banyak pihak jika ingin memasang "pengumuman" sementara tanpa harus mengurus izin reklame. Sayangnya, mereka mengorbankan pepohonan.
Komunitas yang tergabung dalam Reresik Sampah Visual (@sampahvisual) dikomandoi dosen Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta Sumbo Tinarbuko kerap bersuara atas kotornya kota Jogja lantaran reklame luar ruang.Â
Hanya saja, kritik-demi kritik hanya berakhir di media dan ruang-ruang diskusi. Pemerintah kota tidak bersungguh-sungguh merapikannya, terhadang kepentingan pendapatan asli daerah yang tak seberapa.
Kini, tidak ada persimpangan jalan yang selamat dari terjangan reklame-reklame beraneka produk. Ukurannya beragam, dari seukuran kalender berikat kawat di tiang lampu merah sampai yang raksasa setinggi lebih dari 8 meter dan tumpang tindih menutupi rupa bangunan.
Pendapatan pajak reklame Kab. Sleman mencapai puncaknya pada 2009 lalu sebesar 8,1miliar, tapi terus turun di kisaran 5,6 miliar, menurut catatan Dinas Pendapatan Asli Daerah (Dispenda). Kota Jogja sendiri, pendapatan dari pajak reklamenya tidak pernah memenuhi target lima tahun terakhir. Pada laporan 2014, kota Jogja hanya memperoleh pajak sebesar 4,7 miliar, jauh meleset dari target 8 miliar (RadarJogja).
Kini, makin banyak reklame digital dengan potensi pajak lebih besar tersebar di banyak penjuru kota Jogja. Mungkin ini jalan keluar bagi pemkot menambah pendapatan, meski potensi asimetri visualnya masih dalam perdebatan.
Ada banyak lahan kosong di pinggir jalan protokol sengaja dipasangi pengumuman bahwa lahan itu tidak dijual, mewanti-wanti gesitnya makelar tanah memburu peruntungan bagi para peminta, dalam  hal ini pengembang.
Sejauh ini Sleman belum merampungkan aturan baku soal manajemen proyek dan batasan tata kelola pembangunan apartemen, sementara pembangunan terus berlanjut. Banyak pihak pengembang malah berlomba-lomba menyelesaikan unit mereka sebelum regulasi resmi meluncur, tentu ada sebabnya.
Yogyakarta, selain berkutat dengan investasi, juga punya pekerjaan rumah menyusun berbagai regulasi. Di sisi lain, kalangan pengusaha dan pelaku di jalan was-was apakah jalannya bisnis dan usaha mereka dinaungi undang-undang, peraturan daerah, ataukah tidak.Â
Becak bermesin motor yang sejak lama dianggap ilegal di Yogyakarta termasuk satu pihak yang terus mengupayakan nasib legalitas mereka, sementara payung hukum belum ada kabarnya.
Anehnya, ada banyak hotel di kawasan wisata kota Yogyakarta mengakomodasi becak-becak motor ilegal ini sebgai tenaga pemasaran. Jikapun nanti regulasi selesai dan katakanlah betor ilegal! Para pengayuh ini masih punya kelompok pendukung suara mereka: pemasaran hotel-hotel wisata.
Sudah sering jajaran polisi kota dan daerah di Yogyakarta mengklaim mereka telah menangkap oknum-oknum pelajar setingkat SD hingga SMA yang terbukti melakukan aksi corat-coret bangunan dan fasilitas publik. Akan tetapi jelas vandalisme bukanlah aksi sindikasi ataupun berakar pada satu sumbu. Vandalisme corat-coret di Yogyakarta seperti jamur, benalu, perusak pemandangan kota dan perugi pemilik bangunan.Â
Setiap terdengar berita polisi menangkap pelaku coret, tidak ada perubahan signifikan yang terasa jika kita berjalan kaki di pertokoan dan mendapati setiap hari ada saja coretan dan cat baru di sana. (Tribun Jogja)
Uniknya, para pelaku corat-coret di Jogja masih menghormati bangunan-bangunan tertentu, seperti cagar budaya, tugu, pagar sekolah, gerbang sasono lelayu (pemakaman), atau pagar kantor bank. Jarang dari kelompok "eksklusif" ini yang kena coret.
Di sekitaran Kilometer Nol mudah kita menemui bangunan-bangunan peninggalan Muhammadiyah, atau organisasi-organisasi dagang era 1930-1950-an yang kelihatan menyeramkan karena tidak terawat, entah karena belum ada peruntukan, di bawah perkara sengketa, tidak terjangkau modal, dan yang lainnya.Â
Yang seperti ini bisa juga ditemukan di sekitar Kawasan Kota Lama Semarang, di mana banyak bangunan sekitar Gedung Bank Mandiri dan Gereja Blenduk yang teronggok lama hingga rusak diterjang banjir rob. Di Yogyakarta, peluang mereka masih lebih baik tetapi entah kenapa nasibnya sama saja.
Beberapa bangunan di sekitar Keraton dan di daerah Kotagede nasibnya sedikit lebih beruntung karena berpapasan dengan rumah pemukiman warga. Tetapi banyak yang bersisian dengan kawasan komersil, tenggelam di tengah-tengah mentereng reklame dan lampu-lampu eksotis. Gelap dan hampa tanpa suara.
Merasakan Pertumbuhan Penduduk
Pandes: Benteng Terakhir Dolanan Anak
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H