"Apa salahnya si Bayu sampai kamu benci dia?"
"Banyak, buku catatanku tebal menuliskannya."
"Tapi kamu tidak pernah konfirmasi langsung ke dia. Tentang apa yang tidak kamu senangi, apa yang iya. Tentang apa yang mungkin kamu inginkan dari dia."
"Apa yang harus aku inginkan dari orang seperti dia?" Erlina mulai tidak nyaman dengan sergapan pertanyaan-pertanyaan itu.
"Tidak harus ada, Erlin. Maksudku, homo socius. Setiap orang berhak mengenali apa yang dihadapinya."
"Iya, memang. Astaga, Sheron. Tidak kusangka kamu sampai pakai istilah-istilah latin untuk mendebatku. Sayang, Aku hanya sedang tidak ingin menyebut namanya." Erlina menembuskan pandangannya melewati celah-celah baris tiang lampu yang menghiasi taman jalan itu.
"Aku hanya menyebut namanya saat marah."
**
Erlina memejamkan matanya. Kekuatan hatinya tidak pernah setebal ini, rasa kagum telah lesap dan berganti kejengkelan yang menebal. Seorang Bayu pernah jadi seorang yang dikagumi. Mereka merencanakan sebuah acara dan sebuah kecerobohan membuat Erlina merasa dirinya dijebak. Tapi ia pun tak tahu betul, ia sempat mengira-ngira juga. Bagaimana bisa Bayu mengaku tanda tangannya dipalsukan oleh sekretarisnya sendiri dan ia enggan menunjuk terduga lain. Erlina bungkam selama tiga hari, hingga pada akhirnya ia menyudahi konflik dengan ganti rugi jutaan. Bayu sempat meminta maaf tapi semuanya kadung terjadi. Perseteruan dua pengurus harian kampus menyeruak sampai Erlina merasa dirinyalah yang terpojok. Begitu saja, sampai Erlina memutuskan untuk melihat seorang Bayu dari kacamata merah penuh kebencian.
"Tidak seharusnya aku menuduhmu demikian," Bayu berkata suatu hari.
Mendengar itu, mengetahui dirinya dipanggil secara sengaja sampai akhirnya mereka mereka duduk berdua di sudut kafe kecil yang disengat sinar matahari, perempuan itu gelisah.