Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Consolas

16 Oktober 2013   07:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:29 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Richard Consolas baru saja menghadiri acara makan malam kelas atas di Fort Knox Literals ketika mendapati seseorang menunggu di depan pintu rumahnya. Gipsi, gaya pakaian orang itu, dengan rupa nampak seorang perempuan paruh baya yang tidak terawat dan jarang makan. Kain menutupi bagian atas kepalanya dan seperti senada dengan warna marun aneka kain kecil lain yang melilit pergelangannya. Sangat kontras dengan dalaman lengan panjang putih gaya Perancis yang sudah kotor karena pasir dan sisa lumpur. Richard Consolas menyapa tamunya itu dengan menebak pikir bahwa dari penampilannya, mungkin orang ini berasal dari sebuah kota kecil di Caerphilly atau Newport.

"Caerphilly. Hai, Sir," jawab tamu yang ternyata bersuara berat dan dengan lengan agak berotot itu.

Richard tergelak. "Oh, pardon me," ujarnya sembari meminta maaf karena salah mengira bahwa tamunya itu seorang perempuan. "Pandangan saya tidak begitu bagus di jam-jam seperti ini. Apa keperluan Anda?"

Richard lalu membawa tamunya ke dalam rumah, meminta pembantnya Nancy membawakan botol anggur dan mereka memulai perbincangan di bawah cahaya lampu yang menenangkan. Tamu itu menyibak rambutnya yang meniup aroma tidak sedap. Sungguhpun tidak begitu nyaman, sang tuan rumah tetap bersikap ramah.

"Silakan ceritakan apa yang membawa Anda ke sudut jalan Strays malam-malam begini," ujar Richard setelah menuangkan sendiri anggur untuk tamunya itu.

Tamu itu memperbaiki duduknya, melihat sekeliling rumah, mengagumi tangga melingkar, lukisan-lukisan yang kebanyakan melambangkan Perancis ketimbang Inggris, jendela-jendela besar yang sudah tertutup gordin hampir setebal karpet di bawah kakinya, dan tiba-tiba membayangkan kapan ia akan memiliki rumah seperti ini. Pikiran yang cepat-cepat diralat karena ia pikir harus jadi calon wali kota terlebih dahulu sebelum bisa punya aset seperti ini. Maka ia langsung memfokuskan pikirannya pada orang yang sudah menerimanya itu. Menyampaikan maksud hatinya setelah meneguk habis anggur merah dari gelas.

"Nama saya Jake Pisthrow," ujar tamu itu. "Anda mungkin pernah mendengar nama ayah saya, James Pishtrow, dari Rumah Yatim Myrtle Eggs. Saya kemari karena memerlukan bantuan Anda tentang ayah saya, dan beberapa teman saya yang menurut saya sedang sakit."

Richard ingat nama James Pishtrow seperti yang sudah disebutkan oleh tamu itu, akan tetapi soal rumah yatim atau kelompok gipsi lain, ia tidak begitu paham. Kadang-kadang ia melihat sekelompok anak yatim dan pembantu tak bertuan berjalan di gang-gang kota kecil Old Colwyn. Berlarian sampai kesasar di pantai. Akan tetapi ia tak tahu banyak. Ia meminta penjelasan lebih detil.

"Ayah saya sedang sekarat, Tuan. Menurut pengakuan istrinya yang belakangan menghubungi saya, James menghabiskan malam dengan domba panggang, beberapa anggur dan merokok. Ia, istrinya dan belasan teman dari kelab kartu sedang berkumpul untuk merayakan satu tahun terbentuknya kelab mereka, dan dalam jamuan itu mereka banyak tertawa, saling bercanda sampai kelelahan. Semuanya tampak biasa saja, sampai Joyce, istri James, menemukan ayah saya lemas setelah muntah-muntah di tangga beberapa jam setelahnya. Ia lalu meminta pertolongan tetangga dan berapa rekan mereka yang sebelumnya terlibat dalam pesta itu. Ayah saya sulit bernapas, tapi mereka berhasil membawanya ke dalam kamar. Sampai akhirnya salah satu anak yatim memberi tahu saya bahwa ayah saya tidak akan bangun lagi, saya pulang. Anda tahu, Tuan. Kehidupan seorang gipsi seharusnya terus menerus berada di jalanan."

Richard mengangguk dan mengiyakan.

"Akan tetapi Anda tentu akan berlari pulang jika mendengar Ayah Anda sedang sekarat dan mungkin karena sesuatu. Saya kira Anda bisa tahu perasasaan saya?"

Jake mengalihkan perhatiannya kepada sebuah foto di atas meja dekat situ, foto Richard dengan Consolas senior. Dengan pakaian ala pemburu lengkap dengan topi tabir surya dan senapan laras panjang. Potret ayah dan anak yang begitu akur, berkelas dan tidak nampak sama sekali celah kehidupan yang kurang berkesan. Richard berterima kasih untuk pujian itu dan meminta tamunya kemudian melanjutkan.

"Maka saya pulang hari itu juga," lanjut Jake.

"Di rumah, saya tidak banyak bertanya kepada Joyce, selain bagaimana kronologi sebelum ayah saya terkapar. Cerita-cerita justru lebih banyak saya dapatkan dari anak-anak yatim yang tinggal di bagian lain rumah. Biasanya mereka dikunci dan oleh perawat tidak diperbolehkan keluar saat ada pesta, karena itu tidak baik buat mereka. Akan tetapi menurut pengakuan beberapa yang menyelinap, mereka sempat melihat ayah saya merokok suatu bentuk gulungan lain. Antara campuran kertas, beberapa serat tumbuhan, dan dedaunan. Itu baru pertama kali saya temukan, dan langsung mencurigai dedaunan dan tumbuhan itu sebagai penyebab ayah saya seperti keracunan. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya.

Saya pernah mendengar beberapa tumbuhan dari Sumatra, Semenanjung Persia bahkan Perancis serupa dengan dedaunan ini. Saya memerlukan bantuan Anda untuk memeriksa, sekaligus kalau bisa, menyembuhkan James. Reputasi Anda sebagai dokter sudah terdengar di mana-mana. Dan karena keramahan hati Anda pula, saya tidak punya banyak pertimbangan untuk langsung menemui Anda malam ini. Tuan."

Richard menangkap ketulusan di wajah Jake. Tamu itu mungkin hanya tiga-atau-empat tahun lebih muda dari dirinya, tetapi menunjukkan penghormatan yang cukup tinggi kepadanya. Mungkin karena ia melihat celana Richard yang mengkilap karena cahaya bulan, atau memang dia terbiasa menunduk-nunduk di depan orang. Yang jelas, Richard langsung tertarik dengan sikap laki-laki itu, juga niatannya. Ia kemudian meminta penjelasan lebih banyak, perkenalan yang lebih dekat dan terbuka, sebelum akhirnya memutuskan untuk membantu tamunya itu. Perbincangan kemudian lebih banyak berputar-putar tentang pesta, kehidupan gipsi dan sanjungan-sanjungan yang terbawa oleh kemabukan dan niat-niat tambahan.

Sekitar pukul delapan keesokan harinya, Richard Consolas menambatkan kekang kudanya di pinggir jalan Chisel tempat Rumah Yatim Myrtle Eggs berdiri. Bangunan itu masih menyisakan ciri rumahnya. Terbuat dari sebagian besar kayu dengan dua jendela besar di lantai duanya. Di lantai bawah, ada empat jendela yang disekat dengan kayu lapisan ek yang tua tapi tetap kokoh, meski tiga anak tangga di bagian depan serambi nampak sudah membengkok karena tekanan beribu-ribu kali. Halaman rumput dengan tatakan kecil tanaman anggur dan labu menambah ciri kalau tempat itu memang digunakan sebagai harapan hidup. Saat Richard baru turun dari kudanya, sebuah tasnya sudah disambut dan dibawa oleh dua orang anak kecil berbintik di wajahnya. Mereka semua menyapa dengan "Selamat datang, Tuan. Anda tiba di Myrtle's Eggs."

Di pintu Richard disambut oleh orang yang dikenalnya, tidak lain adalah Jake Pisthrow, yang kini sudah nampak lebih rapi dengan lengan panjang dan rompi, meski tetap mengenakan celana rumbai dan syal gipsi di lehernya. Satunya lagi adalah seorang perempuan paruh baya yang lebih senang menaruh dua tangan di pinggangnya, memperkenalkan diri sebagai Joyce James, sang istri. Hawa dingin merambat dari rerumputan, memaksa mereka segera masuk dan menutup pintu. Perapian dinyalakan. Sambil meminta anak-anak yang berkeliaran untuk lebih tenang dan atau mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing, Jake kemudian menemani Joyce yang nampak kikuk di depan tamu barunya.

"Saya kira lebih baik kita langsung saja melihat keadaan Tuan Pisthrow?" saran Richard, yang ternyata dengan cepat disambut oleh kedua tuan rumahnya.

Lantai rumah itu berderit di sana-sini, yang membuat Richard yakin ia harus melangkah berhati-hati jika tidak ingin sepatunya amblas dan kakinya teriris retakan kayu. Aroma daun terbakar bercampur dengan teh bening yang menyeruap ke udara. Ruangan tempat James dirawat berada di sayap kanan rumah itu, langsung menghadap dengan sisi luar rumah yang dihiasi lahan sayur. Richard langsung meminta tasnya dan membongkar peralatan. Setelah melakukan pemeriksaan awal di bagian denyut nadi leher dan pergelangan tangan, ia menggunakan alat pengukur suhu yang sedari tadi ingin sekali ditarik dan dimainkan oleh satu-dua anak yatim itu. Kondisi awal pasien relatif normal, katanya kepada Joyce dan Jake, meminta mereka untuk selalu menyiapkan air dingin sebagai kompresan jika sewaktu-waktu pasien demam tinggi atau mengigau. Sosok yang terbaring itu nampak sangat tersiksa tubuhnya. Getaran terlihat di tangannya --entah secara sadar ataupun tidak. Matanya nampak lebih cekung dan hidungnya bergerak-gerak mencoba meraih celah udara yang serasa sempit. Jake menjelaskan bahwa ayahnya tidak punya kebiasaan lebih buruk selain minum alkohol. Hanya sesekali merokok, dan pernah ditegur untuk lebih banyak beristirahat di usianya yang memasuki senja.

"Meski begitu ia tidak mau diatur terlalu banyak soal kesehatannya," Jake menghela napas.

"Saya kira itu cukup beralasan untuk seorang laki-laki yang berkontribusi."

Kedua tuan rumah itu membenarkan perkataan Richard. Selama belasan tahun sejak mendirikan Rumah Yatim Myrtle's Eggs, James Pisthrow hampir tidak pernah beristirahat. Kegiatannya banyak ia habiskan dengan merawat anak-anak, merekrut tenaga-tenaga perawat dan pengajar, menghubungi banyak pastur yang keluar-masuk memberikan penyuluhan kejiwaan, dan coba melakukan investasi sedikit demi sedikit agar rumah itu berkembang dan bisa menampung lebih banyak anak yatim piatu. Sepeninggal istrinya Myrtle, rumah tangganya tidak begitu baik, itu juga karena masa lalunya yang berusaha ia lupakan dengan kegiatan sosial ternyata masih membekas di benak anak-anaknya. Dari tiga anak laki-laki James, hanya Jake-lah yang masih setia menghubungi sang ayah dan coba membangun relasi kembali. Dua kakak Jake memilih pindah ke Afrika dan Amerika Selatan demi janji masa depan yang lebih cerah sebagai penambang emas dan pekerja batu bara. Dalam keadaan sendirian dan menyimpan banyak sisa impian, James akhirnya menikahi Joyce, seorang pelayan bar. Perempuan yang kini berdiri di sampingnya, yang juga coba membangun perhatian pada Jake yang merasakan dilema kepercayaan yang sama. Meski si anak bungsu dan si ibu tiri bisa saling mengerti satu sama lain, mereka memilih tidak berhubungan dekat --tidak seperti ibu-anak kebanyakan. Jake lebih memilih memerhatikan ayahnya, sementara Joyce menyimpan banyak rencana lain yang mungkin akan lebih berguna bagi kehidupannya.  Di kamar tempat tuan rumah itu terkapar sakit, kedua manusia ini memutuskan melonggarkan sedikit ketegangan di kepala mereka.

"Bolehkah saya lihat dedaunan yang Anda ceritakan kepada saya semalam?" pinta Richard kepada tuan rumah. Joyce mengangguk dan lalu membuat Jake tanpa berkata langsung berjalan ke arah lain rumah itu, kemudian kembali dengan membawa sebuah bungkusan.

Bungkusan itu perak dari kertas, seperti alat membungkus makanan modern. Ukurannya seperti memuat tiga batang rokok dan sisa-sisa tembakau masih menyerbuk di dalamnya.

"Ini sudah semua?" tanya Richard.

"Sudah. Itu yang didapatkan oleh Joyce malam James terkapar. Benar begitu kan?" Jake melihat ke arah ibu tirinya.

"Ya, memang benar. Sumpah demi Tuhan, barang-barang terkutuk itulah yang membuat James seperti ini. Oh, James yang malang. Seharusnya dia mati dengan cara yang lebih baik."

Jake dan Richard terkejut dengan pernyataan itu. Menyadari ada yang salah dengan ucapannya, Joyce meminta maaf, kemudian berkata, "Dia pria terhormat, dia harus sembuh." Kemudian perempuan itu berlalu keluar, berkata masih memiliki pekerjaan di asrama, berharap suaminya dapat segera disembuhkan.

Richard membuka gulungan kertas itu, membawanya ke dekat jendela kemudian melakukan pengamatan sepintas. Akan tetapi waktu sepintas itulah yang cukup ia butuhkan untuk menyimpulkan sesuatu yang tiba-tiba hinggap di kepalanya.

"Jika ini benar.... Permisi, Jake. Bisakah kau mengantarkan saya memeriksa tempat James meminum-minum malam itu?"

"Bisa, tapi maaf, Tuan. Saya sudah memeriksa semua, dan tidak ada hal yang mencurigakan di sana. Banyak bungkus makanan dan selebihnya barang-barang rumah. Kami terbiasa langsung membereskan ruangan begitu sebuah acara selesai, dan tidak ada kami temukan benda-benda yang mencurigakan."

"Begitu ya...." Richard menggosok-gosok dagunya. Beberapa saat, kemudian bertanya lagi. "Kalau begitu, bisakah Anda tunjukkan di mana James biasa membeli rokok? Pasti suatu tempat di sekitar sini kan?"

"Kalau itu, mungkin...." Jake mengambil jeda. Baru saja ingin menebak, akan tetapi jawaban sudah diluncurkan oleh Joyce. Perempuan itu tiba-tiba ada di dekat ranjang rawat dengan seember air dingin dan handuk.

"Toko kelontong Morris, persis di bawah tikungan ketiga," ujarnya memberi jawaban.

"Tidak jauh dari sini," kata Jake menambahkan.

"Kalau begitu ayolah. Saya butuh bertemu dengan seseorang."

Kuda coklat tua berambut panjang itu berlari pelan menuruni jalanan yang berlumpur di beberapa bagiannya. Di belakangnya, kuda yang ukurannya lebih kecil ditunggangi oleh Jake, membawa seorang anak laki-laki yang nampak bersemangat karena pertama kali dibawa untuk "kerja lapangan". Pemandangan danau Eldrich membentang seluas pangangan jalan menurun itu, melewati beberapa kebun anggur dan rumah-rumah berpondasi batu tempat orang-orang bercanda dan menertawakan kegagalan Kerajaan Inggris menangani demokrasi jalanan yang melahirkan banyak gelandangan. Mereka melewati dua bar sebelum akhirnya tiba di depan toko kecil.

"Toko ini sudah buka turun temurun oleh keluarga Perancis yang menjadi migran pasca Perang Perebutan Afrika." Jake coba menjelaskan kepada Richard saat mereka menuju pintu toko itu. "Pemiliknya sekarang, Alexander Morris adalah generasi ketiga yang menjalankan toko ini. Orangnya sedikit temperamental, jadi ada baiknya kita berhati-hati."

Richard menghentikan langkahnya sejenak, memerhatikan bangunan toko yang nampak lebih besar dari kapasitasnya itu. Seperti dipadu dengan sebuah rumah tinggal yang lebih besar dan mewah --mungkin saja buah kesuksesan wirausaha yang terbukti berhasil beberapa generasi. Ia meraba sesuatu di balik jaketnya sebelum akhirnya masuk. Di dalam, ia sempat melihat ada banyak koleksi anggur tua, aneka kacang dari mete Afrika sampai zaitun Timur Tengah. Jendela-jendela kecil tidak meloloskan banyak cahaya matahari masuk ke toko itu, jadi ada satu-dua lampu minyak yang menyala, menggantung di dua sisi dinding paling belakang. Alex, pemilik toko itu, menyambut dengan tangan terbuka dan senyuman yang ramah. Akan tetapi Richard melihat juga perut yang tambun dan jenggot yang luas terawat sampai ke rambut. Mungkin ini yang menyebabkan orang-orang kerap memiliki persepsi kejam terhadap pengusaha ini.

"Saya mencari Consolas," ujar Richard.

"Apa?" kata Jake heran.

"Tolong jelaskan kalimat Anda, Tuan," ujar penjaga toko itu. "Dengan siapa saya berbicara?" tanyanya dengan pandangan yang semakin tajam. Terpancar kecurigaan langsung dari caranya menatap dan bersikap. Tangannya mulai disembunyikan.

"Saya mencari dedaunan ini." Richard kemudian menyodorkan tangannya yang berisi selinting daun kering dengan kemasan perak yang khas. "Tampaknya Anda masih punya kemasan yang lebih baru. Mereknya, Consolas, bukan? Sama dengan nama saya. Sekarang, bisakah saya mendapatkan satu?"

Pemilik toko itu bergeming. Richard melanjutkan todongan kata-katanya.

"Dedaunan ini dikenal dengan cannabis. Di dunia Latin orang menyebutnya sebagai Marijuana. Ini memang banyak ditemukan di Sumatra, Persia sampai Afrika, Jake. Diperkiraan berasal dari 2.900 tahun sebelum Masehi di Cina, tumbuhan ini kemudian menyebar lewat perdagangan karena kepercayaan orang akan khasiatnya untuk penyembuhan dan pemulihan sifat tubuh. Sampai akhirnya pada 1799 tentara Napoleon membawanya dari Mesir ke Perancis. Bahkan George Washington pernah menanamnya sebagai hemp, tanaman obat di Mount Vernon Amerika. Dan kukira, ada banyak generasi sebelum kita yang akhirnya membawa benda-benda dari tumbuhan ini sampai ke tanah Inggris Raya. Kalangan dokter masih memperdebatkan apakah tanaman ini berkhasiat untuk tubuh atau tidak, meskipun dampak negatifnya lebih banyak membawa petaka. Nah, Tuan Morris, boleh saya tahu siapa penyuplai Anda untuk barang-barang ini?"

Richard mulai waspada, melihat pergerakan pemilik toko yang bergetar ketakutan. Jake sendiri yang mulai merasakan ada sesuatu yang berbahaya akan terjadi, ikut bersiap-siap, meminta anak kecil yang dibawanya untuk keluar dan menunggu di kuda. Richard melangkah tiga ke depan, dan dengan sekali gerakan berhasil menyergap Alex yang hendak berlari ke arah dinding dengan gantungan senapan laras sedang di belakang sana.

"Jake, tali!" Richard menyeru. Morris diikat dan diamankan, setelah berkomat-kamit dan dibuat diam dengan sekali hantaman tinju di depannya.

"Anda telah menyalurkan barang terlarang di tanah ini tanpa sepengetahuan pemerintah. Dan Anda memanfaatkan nama seseorang untuk melambungkan popularitas toko Anda. Dari mana Anda mendapatkan ide untuk menyematkan Consolas sebagai merek dagangan terlarang seperti itu? Anda telah membuat seseorang terbaring sakit, dan mungkin yang lainnya telah mati. Siapa sponsor Anda?" Richard memukul membabi buta, kemudian dilerai oleh Jake. Pedagang itu tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Hening menyeruak setelah terdengar bunyi gelas pecah ke lantai. Richard baru saja ingin merapikan pakaiannya kembali ketika tiba-tiba mendengar pintu dibuka, dan seseorang memanggil namanya.

"Son," kata laki-laki tua di pintu toko itu. Jaketnya lusuh namun sikapnya masih memancarkan kebengisan. Di tangan kirinya tergenggam senapan angin panjang yang sangat terkenal. Sementara tangan kanannya membekap mulut seorang anak laki-laki yang meronta dan ketakutan. Anak yatim itu membuat Jake marah meski langkahnya tertahan.

Richard tertegun melihat sosok itu. "Ayah?"

----------------------------------------

Ilustrasi: gravelroots.net.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun