Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Central

10 Oktober 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Fariz Al Maulani berlari membelah kerumunan sambil berteriak. Lilitan kain yang sedari tadi membungkus di kepalanya kendur dan hampir jatuh. Tanpa jelas apa yang dikatakannya, laki-laki lima puluh satu tahun itu berusaha memberi tahu orang-orang, tapi tahu orang-orang ini tidak akan terlalu mempedulikannya. Ia memang tak pernah menarik perhatian: penampilannya seperti gelandangan dan sering terlihat berbicara sendirian. Pembeli dan penjual lebih senang menikmati transaksi menguntungkan mereka sementara menahan sengatan sinar matahari. Pasar Sentral Maros dalam beberapa saat akan riuh oleh ulah seorang laki-laki tunawisma bersorban yang ikut mengusik tidur santai dua petugas polisi yang berjaga di pos kecil di depan kompleks.

Kedua polisi itu, merasa terganggu dan tidak nyaman setelah menerima laporan, lantas berkomat-kamit sambil  bergegas memborgol Fariz yang berjenggot panjang dan bersandal jepit itu. "Jika sampai kau membohongi kami, tahu rasa," ancam polisi itu ketika mengikuti arahan Fariz yang terengah-engah. Panik, itu jelas tercermin dari wajah saksi pelapor ini. Tapi aparat --yang sering tertipu dengan alarm palsu-- memilih tidak langsung percaya kata orang-orang. Di pikiran mereka hanya ada kejahatan-kejahatan kacangan oleh kelompok pengangguran yang bikin polisi bergaji kecil sibuk menilang sana-sini, tidak esensi. Mereka bertiga tiba di lantai dua pasar yang berada di sebelah timur setelah satu menit menerobos sesak keramaian, dan mendapati apa yang dengan gemetaran ditunjukkan oleh Fariz.

Di dalam toilet yang pintunya terbuka, lampu kecil itu berkedap-kedip. Anak laki-laki kecil itu, rambutnya yang ikal sudah berantakan pertanda beberapa hari tidak mandi, yang menutupi hampir semua kepalanya, berkemeja sekolah dasar yang sobek kantongnya, tidak bergerak sama sekali. Matanya yang putih hitam berubah sembab dan mulutnya terbekap. Rangkaian bom itu mengeluarkan bunyi detak tipis yang rupanya sama sekali tidak disadari oleh mungkin ratusan pedagang di koridor itu selama mungkin tiga puluh menit terakhir. Berdiri di lantai toilet yang penuh sampah dan menjijikkan, anak laki-laki itu terlilit benda yang tak asing bagi polisi. Anak itu sesengukan, tidak berani bersuara, napasnya setengah-setengah. Seorang dari petugas berseragam dengan cepat merogoh radio panggilnya.

"Lapor 10-33, Pos 12 petugas Zulkifli dan Rauf, potensi 213. Ulangi, potensi 213. Pasar Sentral, butuh Jihandak, 200 dan 300, segera."

Kedua polisi itu dengan cepat sibuk menghalau orang-orang dan menyuruh semua pedagang menjauh seratus meter dari situ. Petugas yang namanya Rauf kemudian tegas memerintahkan saksi Fariz untuk tidak ke mana-mana. Ia melihat ke leher anak itu, tergantung serangkaian benda berlilit kabel dan lampu penanda, kotak kecil berbungkus lakban kuning, dan segantung karton bertuliskan serangkai kata:

P.S. CENTRAL.

**

Jakarta, siang yang sama.

Friedrich Hutapea baru saja meletakkan cangkir kopi di meja kerjanya ketika tiba-tiba pintunya digedor oleh sekretarisnya yang terdengar panik dan kebingungan. "Pak, Anda harus melihat televisi segera," kata Velo, begitu sekretarisnya dipanggil.

Setelah menekan tombol pengendali jauh televisi dan menyaksikan apa yang diarahkan padanya itu, Friedrich langsung berkacak pinggang. Pengalamannnya selama tiga tahun memimpin Badan Intelijen Negara harusnya sudah membuat dirinya akrab dengan situasi kritis yang datang tiba-tiba, membersitkan naluri kepemimpinan yang mengganggu pikirannya. Kemudian dengan cermat ia memerintahkan Velo untuk mengumpulkan semua deputi dan teknisi di ruang kondisi dalam lima menit ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun