*
TIGABELAS TAHUN memiliki segalanya membuat laki-laki ini merasa ia telah memenuhi tugas hidupnya. Aset bermilyar, anak-anak yang pintar dan hubungan sosial yang meninggikan derajat. Ia utuh sebagai seorang pengusaha dan penyayang keluarga. Tapi itu tak bertahan lebih lama, saat ia baru menyadari bahwa roda itu benar-benar berputar pada porosnya.
Utang datang dan berlipat tanpa begitu jelas bagaimana awalnya. Aset digadaikan kalau tidak dijual pada akhir tahun ketiga. Laki-laki itu berusaha meyakinkan istri dan anaknya bahwa keluarga itu baik-baik saja. Tapi ia sendiri hanya bertahan selama dua tahun yang panjang, hingga akhirnya pada Desember 1979 ia sudah berdiri di tepian atap gedung Wisma Nusantara. Merasakan angin begitu ingin menuntaskan keinginannya sampai ke tanah.
“Ayo turunlah. Kita masih bisa membicarakan ini.”
Seorang pembujuk yang juga seorang sahabat diutus ke atap itu. Situasi meminta kematian membuat puluhan polisi hanya bisa menyediakan bantal angin raksasa di atas aspal di bawah sana, dan puluhan orang pulang kerja menutup mulut-mulut mereka dengan telapak tangan dan sambil berharap sebuah keajaiban terjadi. Sebagian lain mungkin ingin sesuatu yang mengejutkan terjadi dan kamera mereka bisa merekamnya untuk sebuah harga yang mahal.
“Lihat, kita memakai topeng yang sama. Topeng Semar ini telah menjadikan kita kawan baik, sahabatku. Apa kau tidak ingin kita berdiskusi banyak hal lagi soal Tanjung Priok atau Tana Toraja? Kukira kau masih senang juga dengan cerita-cerita kita soal tukik di Wakatobi atau Orangutan di Kapuas. Ayo, menghadaplah kemari dan lihat aku.”
Pembujuk mengenakan topeng Semar yang sama persis dengan yang dipakai calon pelaku bunuh diri itu. Dari bawah plasa, orang di tepian gedung setinggi tigapuluh lantai nampak seperti batang lidi, dan topeng itu tak banyak memberi petunjuk tentang siapa dia sebenarnya, atau apa cerita yang membuatnya ingin menyudahi kehidupannya sendiri.
“Kau masih mencintai istrimu?” tanya pembujuk itu setelah keheningan yang membingungkan. Orang di tepian atap tetap bungkam dan tak satu kata keluar dari mulutnya. Ia merasakan tubuhnya goyah karena angin dan kakinya mulai keram. Pikirannya berputar-putar soal banyak hal yang ingin sekali ia lupakan.
Di bawah sana, di antara kerumunan, seorang perempuan berjaket wol tebal berlari dengan sisa tenaganya kemudian menghilang di garis pintu utama.
“Aku tanya apa kau masih mencintai istrimu?!” tanya pembujuk itu lagi saat suara kereta dari kejauhan terdengar begitu jelas dan kilatan cahaya mulai mengganggu. Ia mulai kesal. Bayang-bayang tentang apa yang mungkin akan terjadi kadung hinggap di benak orang-orang. Angin kembali lewat untuk keheningan sejenak.