“Ya.” Kalimat balasan itu terdengar juga. Suaranya kurang jelas karena gerak bibirnya terhalang karton topeng yang bergerak-gerak.
Pembujuk itu, yang berjas biru langit rapi dan rambut tersisir klimis, akhirnya bernapas lega. Mungkin dengan balasan satu kata itu, orang di tepian atap mulai menyadari keadaannya, mulai bertanya apa yang dilakukannya, dan mungkin, mengakhiri aksinya demi semua orang dan apapun yang masih dipercayainya. Tapi tiba-tiba ia merasa bahwa dugaan itu bisa saja salah.
Orang di pinggiran atap menutup matanya. Dan hanya dalam satu kedipan itu, semuanya tergambarkan begitu sempurna.
Ia telah mendapatkan sebuah keberanian yang memuncak pada saat yang tepat. Angin membawanya pada keheningan lima detik dan berhenti pada saat semuanya seketika gelap. Bunyi geretuk menandai pendaratan keras sudah pasti setidaknya belasan ruas tulang patah. Orang-orang berteriak dan kamera berkabel bergerak ke arah lantai depan gedung saat lampu tanda merekam masih berkeli-kelip. Tubuh itu terhempas tanpa bisa ditahan bantal angin yang tak terpompa sepenuhnya. Darah pecah membuat polisi sigap menghalau orang-orang yang menyeka mulut. Lima detik kemudian, pintu darurat menuju atap terbuka dan seorang istri menjerit dalam tangisan.
Topeng Semar terlempar ke atas rumput.
**
Saidi Atmaja mendatangi seorang motivator ternama pada awal April 1978, saat baru saja menyadari bahwa vonis medis penyakit Leukimia atas dirinya bukanlah mimpi. Ia terkejut hanya beberapa hari sebelum memutuskan, atas restu keluarganya, kemudian mencari cara bagaimana, bukan hanya menyembuhkan penyakit itu, tetapi juga memanjangkan umurnya. Karena tak banyak yang tahu, ia sesungguhnya berada di batas tipis garis keputusasaan. Ia rela mengeluarkan hartanya untuk apapun, asalkan dia bisa melanjutkan hidup dan terus bermain pasir bersama cucu-cucunya.
“Untuk beberapa malam saya bermimpi bunuh diri, Pak.” Kalimat curahan hatinya melantun pelan di bilik kecil berukuran sebelas meter persegi itu.
Saidi mengetahui kiprah Firdaus Dim dari beberapa rekan bisnis yang dulu pernah menggunakan jasa dari orang yang sama Motivator berkulit putih dan sesekali berkacamata ini dikenal melayani pelanggan kelas atas, dari direktur perusahaan minyak sampai pemimpin redaksi kantor berita yang akhirnya tutup. Tutur katanya lembut dan gerak tubuhnya seakan tak pernah salah. Ia selalu menyambut pelanggannya dengan jabat tangan rapat dan tepukan halus di siku atau lengan atas. Sambutan sama yang diterima Saidi beberapa menit selepas magrib itu.
Hanya ada dua kursi dan satu meja. Terpasang di tengah ruangan dengan penerangan lampu cahaya kuning lembut kecil dan dua jendela kaca tertutup. Satu kursi ditempati Saidi sendiri, sementara kursi satunya diduduki sang motivator yang dengan senyuman simpati setia menunggu kelanjutan kalimat dari kliennya yang nampak sangat membutuhkan bantuan itu.
“Coba ceritakan.”