Saidi mengangguk kepada sang motivator yang ia percayai. Merapatkan jari-jari tangannya seiring dengan lututnya yang mulai rileks. Darah mengalir turun dari kepala dan memenuhi hampir semua rongga dadanya dengan desiran yang menghangat. Ia merasakan dirinya mulai terobati.
“Pada intinya, saya bangkrut.” Klien itu memulai kisahnya.
“Dulu saya pengusaha industri garmen yang sukses. Tapi tahun-tahun belakangan bisnis di bidang ini mulai lesu. Penjualan menyusut dan tahun kemarin saya harus memberhentikan seribu lima puluh karyawan. Semuanya saya kasih pesangon dan sebetulnya waktu itu tidak ada masalah. Masalah baru muncul ketika orang-orang India dari Sumatra dan Sabah datang dan membuka bisnis. Mereka menguasai pasar garmen di Tanah Abang, Merak bahkan mengunci penyuplaian melalui Tanjung Pinang. Kemudian saya berpikir Toraja, tanah indah yang terkenal dengan tenunnya, tapi tak jadi. Kalah bersaing di produksi dan beban biaya bahan baku yang tidak lebih murah membuat saya mengambil keputusan pahit. Perusahaan garmen kami tutup dan saya kehilangan sumber pendapatan. Tabungan dipakai untuk melunasi cicilan aset dan sebagian untuk pesangon sisa dan pajak bulan terakhir. Praktis uang saya cukup hanya untuk membiayai rumah baru yang kami kontrak, yang ukurannya tiga kali lebih kecil. Anak-anak saya tertunda masuk kuliah hingga kami memutuskan dengan sisa modal sepuluh juta, membuka toko kelontong kecil di Mojokerto, kampung istri saya.”
“Saya bisa pahami perjalanan itu tidak mudah,” komentar Firdaus bersimpati. Melepaskan kaitan jemarinya dan memasang telapak tangannya lebih banyak menghadap keluar kalau tidak ke atas. “Silakan lanjutkan.”
“Nah begitulah, Pak Firdaus. Saya tidak tahu bagaimana mengembalikan kepercayaan diri saya, terlebih lagi … kepercayaan istri dan anak-anak saya. Karena jatuh bangkrut, beberapa kali kami harus menutup diri dari pergaulan sosial, dari teman-teman bisnis pun kami memutus kontak. Istri saya kalau keluar menggunakan ojek atau angkot, suka merasa risih karena dicemooh orang. Tidak tahan, dan saya pahami itu. Tapi belakangan rupanya ia sudah tidak tahan, dan meminta cerai.”
Saidi menghela napasnya sejenak setelah mengucapkan kalimat terakhir itu. Di bangku sebelah, Firdaus menegakkan badannya dan coba memahami lebih baik. Bangkrut sudah buruk, dan digugat cerai tentu akan lebih pahit. Belum lagi ia kadung mengetahui bahwa kliennya ini mengidap Leukimia yang bukanlah penyakit main-main.
“Ketakutan-ketakutan berpisah dari istri, ditagih janji oleh anak-anak dan dikejar-kejar sisa utang, membuat saya bingung harus mengadu ke mana, Pak Firdaus. Ya, mungkin Anda akan bilang mengadulah ke Tuhan. Tapi maaf, saya sedang tidak merasakan kehadiran Tuhan di ruangan ini atau di manapun. Saya justru yakin, ini semua adalah rencana Tuhan untuk saya, dan Dia akan duduk saja melihat bagaimana saya jatuh perlahan-lahan.”
Firdaus tersenyum mendengar keluhan kliennya yang mulai gemetar.
“Dulu memang saya beberapa kali mencurangi orang, merekayasa keuangan sampai membohongi keluarga. Tapi itu dulu, apakah saya harus membayar itu semua saat ini? Kalau ini karma untuk saya, saya ingin tahu paling tidak, ke mana tujuan yang ditunjukkan Tuhan itu untuk saya? Saya ingin cepat-cepat sampai di sana, mengakhiri kepahitan-kepahitan ini. Saya ingin cepat tahu apa takdir untuk saya, Pak.”
Firdaus masih tersenyum. Kali ini badannya kembali dicondongkan ke arah meja.
“Pak Saidi, saya minta maaf. Tapi kiranya saya tidak bisa membantu Anda, untuk masalah Anda ini.” Motivator itu lantas berkata tegas meski nada bicaranya tak sampai meninggi.