Syukurnya di Jogja, di titik-titik keramaian wisata polisi selalu bersiaga, terutama mengawal lalu lintas. Belum lagi aktifnya polisi pariwisata dibantu satuan Pamong Praja mengawasi setiap aktivitas yang dianggap perlu diawasi. Memang jarang ditemukan ada kasus-kasus pencopetan, perkelaihan, ataupun pencurian selama liburan di sekitar Km. 0 ini. Hanya saja ya itu, parkir liar dan pelanggaran lalu lintas lainnya tetap saja dibiarkan. Mungkin belum ketemu solusi tepat mempertemukan kepentingan hukum dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Nah, di mana ada keramaian di situ ada pedagang asongan.
Ada satu potret yang menurut saya cukup mewakili rasa haus kita mencari sisi humanis dari kemacetan puncak musim liburan. Pedagang asongan salah satunya. Gambar berikut saya jepret tanpa disadari si empunya "produk". Lucunya, begitu ia sadar telah terpotret beberapa kali, ia malah bersedia jadi model alias minta difoto beberapa kali. Badannya terlalu bungkuk ataupun kurang senyum, dan kutipan pun saya ulang sampai dia puas.
Ini dia Mas Mo, panggil saja dia begitu. Karena waktu saya tanyakan namanya dia bilang, "moh!" Ha ha ha.
Yang terakhir dari Km. 0 kali ini, satu foto potret jalanan yang sekiranya bisa terlihat komponen-komponen kecilnya. "Becak dalam Ban", begitu saya menyebut foto yang satu ini. Butuh berdiri di pagar Monumen Serangan Umum 1 Maret selama hampir setengah jam untuk mendapatkan posisi yang pas tanpa noise sama sekali. Ini pun hasilnya belum begitu baik. Mohon masukan dari om-om dan tante-tante yang mengerti.
Dengan demikian, itulah kisah kecil malam liburan di Km. 0 Jogja. Wah, sudah ratusan bahkan ribuan tulisan yang mengulas titik wisata ini sebelumnya. Tapi saya yakin orang tidak akan bosan dan terus merindukan Jogjakarta. Koda budaya di mana semua kedamaian bersatu dan menemani kita menemukan jati diri lebih baik. Selepas puluhan jepretan malam itu, barulah saya duduk manis di pelataran monumen menyaksikan Enam Pedagang Lesehan raih penghargaan.
Salam hangat selalu.