Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nisa dan Si Penabuh Drum

4 Juli 2012   08:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:18 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penampilan yang cukup, tapi baginya belum. Rambut mengkilap dan dasi terikat rapi.

"Sempurna," kata penata rias.

Tapi ia menggeleng. "Rasanya ada yang kurang."

Penata rias itu, berkecak pinggang sambil mencibirkan bibirnya. Kemayu yang diterima secara umum. "Oh, Arya. Sudah kubilang kau butuh sedikit senyuman. Orang-orang memujamu, mereka menunggumu di luar sana. Berilah sedikit senyuman."

Sambil pipi ditarik ke atas dan ke bawah. "Sudahlah. Jangan dipaksakan. Aku lupa caranya tersenyum."

Penata rias cemberut lagi. Bibirnya terlipat lagi.

***

"Cepaaat! Sudah jam lima!"

"Iya. Sebentar. Maaf." Gadis itu terangguk-angguk sambil berlari menyeret sepatunya. Riasan gelang flanel bahkan belum rapat terikat di pergelangan tangannya. Poninya disisir dengan jari juga pada akhirnya. Berlari. Naik bus.

Lima belas menit kemudian mereka tenggelam dalam keramaian yang menyesakkan. Lampu-lampu sorot berpijar dan laser berpendar. Bunyi dari pengeras suara mendentum berkali-kali mengejutkan dada.

"Nisa, itu!"

Gadis itu mendongak mencoba mendapatkan pandangan sempit di antara pundak orang-orang. Mukanya tersenyum meski dahinya mengernyit karena bau badan yang hangat di sekeliling. Saat lampu putih tersorot ke tengah panggung, barulah ia sadar benar-benar berada di tempat yang diinginkannya.

"Arya ..."

"Apa katamu?" tanya Lusi yang menemani.

"Ah, enggak."

Tersenyum.

Saat melodi pertama melantun, orang-orang bersorak. Sebagian berjingkrak. Saat memasuki bagian interlude sampai bridge, bahkan beberapa gadis sudah serak dan terbatuk-batuk. Seorang pingsan dan digotong. Tapi gadis satu itu sama sekali tak menghiraukannya. Diam begitu saja. Merapatkan jari-jari tangan sambil tersenyum. Hanya Arya yang ada di lorong pandangannya. Lengan yang bergerak-gerak itu. Kepala yang naik turun dan keringat yang terlempar dari ujung-ujung rambut. Semua gambaran tentang penabuh drum itu dilukiskan di memorinya.

"Nis. Nisa!"

"Eh? Iya?"

"Kamu memperhatikan Arya ya?"

Tak ada jawaban. Lusi mengangguk paham.

"Bukannya sudah pernah kau nyatakan perasaanmu ke dia?"

Mengangguk.

"Terus?"

Nisa menatap mata sahabatnya itu dengan pandangan penuh penerimaan. Matanya berkaca namun senyumnya masih di sana. Lusi paham apa yang dirasakannya. Lengannya lalu melilit ke pundak, memeluk tanda pemberian semangat.

Saat kau pergi, kunantikan satu detik lagi untuk kau berbalik.

Jangan pikir aku tak menunggu.

"Liriknya itu ..."

"Ini lagu kesukaanku."

"Oh iya? Apa judulnya?"

"Saat kembali."

"Mirip judul puisimu."

"Cuma mirip. Liriknya jauh beda."

Penonton kembali  bersorak. Si penabuh drum bangkit dari kursi sembari mengangkat tinggi dua stik pemukulnya.

"Nisa, Lihat itu!"

Sepasang stik itu bersinar seperti pasangan melodi yang tak terpisahkan. Saat penyanyi utama mengucapkan terima kasih dan penonton kembali dibuat gila, Nisa justru mengangguk paham ke arah stik drum itu.

***

Detak jantung yang tak biasa. Di depan semua sambutan riuh yang menghargai ini, Arya hanya diam dan terus mengangkat kayu drum-nya. Mengangguk sambil mengedarkan pandangan. Bulir-bulir keringat jatuh dari pelipis turun ke kerah bajunya. Lulutnya gemetar ketika ia menemukan wajah itu di tengah kerumunan.

***

Sebuah surat.

Kertasnya biasa saja. Biru muda dengan gambar kucing di sudut atas.

Arya, aku terlalu malu untuk menyatakan ini.

Tapi aku suka padamu.

Eh, lupakan saja.


"Siapa yang menulis ini?"

Tak ada jawaban dari teman-teman kelasnya. Tak seorangpun tahu, apalagi mengaku.

***

Di atas panggung itu, tiba-tiba Arya merasakan telah menemukan jawabannya seminggu lalu itu. Tentang surat, tentang tulisan tangan yang terlalu kecil hingga sulit dibaca, dan kata penutup yang membingungkan. Di tengah-tengah kerumunan penonton itu ada yang membuat pandangannya berhenti. Gelap, namun di matanya wajah mungil itu nampak jelas berbinar.

***

Dia menatap kemari.

Tersenyum. Gadis itu tersenyum. Nafasnya makin cepat.

***

Konser ditutup dengan lagu "Selalu Ada".

Arya turun panggung begitu saja. Langkahnya cepat, membingungkan rekan-rekannya.

***

"Mau kemana dia?" seru Lusi.

Tapi Nisa tak mau mengejar. Entah mengapa.

***

Bel berbunyi tanda masuk kelas.

Ada sesuatu. Yang membuat Lusi bingung bukan kepalang. Karena Nisa begitu bahagia. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Pekerjaan dan tugas-tugasnya selesai dalam hitungan menit. Ia lebih senang duduk di kursi daripada ke kantin.

"Apa yang membuatmu begitu senang, wahai sobatku?"

Nisa tersenyum saja. Biarkan dia sendiri saja yang tahu. Pada akhirnya Lusi juga jadi bahagia, meski ia tak tahu apa-apa.

***

Sebuah tongkat pemukul drum tersimpan di atas meja belajar, beralas kain lembut. Tunggal. Lalu tulisan di sisinya yang ditulis dengan tangan begitu rapih dan hurufnya kecil-kecil. Nisa membacanya dengan bahagia.

Untuk Nisa. Jangan khawatir.

Aku tak akan memilih siapapun kecuali kamu.

:) Si Penabuh drum


Tongkat drum itu disimpan di tempat  yang hanya ia yang tahu.

Saat pintu depannya diketuk, ia sudah tahu siapa yang akan berdiri di sana. Sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun