Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemegang Kunci

7 Mei 2012   08:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:36 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAMAR dalam kemegahannya. Pandanganku tak cukup luas untuk memandangi bangunan itu di dalam kegelapan. Butir hujan yang jatuh membuatku melangkah melawan rumput yang sama menunduknya. Aku nyaris kehilangan tanganmu malam itu, tapi kau terus-terusan memanggil namaku. Seperti langit yang semakin dekat, dan pohon-pohon menggiring kita ke tempat paling gelap.

"Hildan! Di sini."

Suara yang cuma kau pemiliknya. Terkadang membuatku mematahkan ujung pensil saat menulis kata-kata tentang kepedihan hati di atas kertas. Aku merasakan sentuhanmu ketika justru air dingin mengguyur tubuhku jam dua belas malam. Suara itu kembali lagi. Suara yang sama seperti berputar-putar setiap kali aku mencoba tidur.

Kita pernah bercerita tentang si pemegang kunci. Di atas jembatan tembok yang melengkung di atas kolam ikan warna-warni. Saat hujan menjauh, saat kita tak sedikitpun merasa jenuh. Kau nyaris menciumku ketika malam gelap, tapi waktu menarik kita ke sesuatu yang lebih indah. Akhirnya pohon-pohon itulah yang menemani kita tertawa, menangis karena bahagia, dan menaungi saat aku melukis wajahmu penuh warna.

Pemegang kunci selalu tahu kotak tempatnya menyimpan semua barang berharga. Kadang kali ia menawarkan hatinya untuk menjaga kotak orang lain. Menjaga sepenuh hati, tak nyenyak tidur dibuatnya. Apa yang ada di balik pintu dan kotak-kotak itu, tak banyak yang tahu. Tak banyak yang peduli.

"Aku sedang mencari pemegang kunci itu, Hildan."

Aku menerima pernyataan yang lebih mirip pertanyaan merasuk benakku. Harus kujawab apa pertanyaan tak biasa itu? Sampai akhirnya dengan senyuman dingin dan pandangan yang mengarah ke gelombang kecil oleh batu yang kaulemparkan menembus air. Kita bisa duduk berjam-jam di situ. Tanpa ketegangan, tanpa gangguan. Bodoh, karena aku merasa kita seperti kita memegang kunci untuk kamar kita berdua. Dan tak seorangpun bisa membukanya.

"Kita pernah berbeda, Hildan."

Tentu saja, jawabku. Aku sering kali membuatmu jatuh. Sering kali melihat kakimu lemah dan tak berbuat apa-apa. Tanganku lebih sering dingin daripada hangat untuk memegangmu. Tapi kau tetap di sana tanpa satu keluhanpun.

"Kau terlalu sempurna buatku, Hildan."

Kau selalu begitu. Terlalu berani jujur pada sanubari bahwa kita terkadang terjebak bersama hujan. Dan aku tak bisa menaungimu dengan tangan kecil dan satu tangan lagi yang menyimpan dusta. Tak pernah lebih baik setelah itu. Seperti aku terkungkung di dalam kotak emas yang kau pegang kuncinya.

"Pegang aku, Hildan."

Apa yang membuatmu begitu kuat? Apakah keyakinanmu bahwa dunia membenarkan rantai pasangan yang diberikan Tuhan untuk dua manusia yang menautkan hati?

"Tanganku kuat memelukmu. Tapi kakiku lemah."

Dan malam itu tak kulepaskan pelukan bagimu. Bahkan sedetikpun. Belaian telapak tanganmu di pipiku yang begitu hangat menenangkan. Aku memutar kembali gambar-gambar indah ketika kau berjingkrak di atas rumput yang basah, melempar payung dan membiarkan bulir-bulir air terpantul dan jatuh. Saat aku tak banyak mendengar suara. Kehidupanku sudah terasa panjang bahkan setiap kali aku merasakan betapa singkatnya usia.

Dari jauh saat aku membuka mata untuk kesekian kalinya, aku melihat api yang menyala-nyala di sekitarmu. Menyentuh punggungmu dengan lembut kemudian membentuk sayap yang tak bisa kugambarkan dengan dua-tiga kertas. Mengangkat tanganmu tinggi-tinggi seperti mempermalukanku bahwa aku yang sebetulnya lemah. Kau adalah api, yang melawan dinginnya hujan.

"Aku akan menemukan pemegang kunci itu, Hildan."

Kau dan aku pernah bersama dan tak pernah ada yang lebih baik dari itu. Kau tak pernah tahu, sama berartinya dengan aku yang terlalu banyak rindu. Tapi aku tak pernah menyesali apapun, meski kutahu hujan akan terus kembali, dan kau akan terus menjadi api. Mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Mungkin akan datang sebuah kotak nanti, yang kuletakkan di sebuah tempat rahasia dengan kesaksian Tuhan. Kumasukkan semua perasaanku di sana, lalu kukubur dalam-dalam. Kemudian menunggu.

Biar bertahun-tahun kubiarkan api membakar habis bangunan  itu, meruntuhkan semua kekuasaannya, dan mengalahkan hujan yang mengguyurnya sepanjang hari. Hingga tinggal abu-abu dan remah-remah kayu bertumpuk kepalsuan dinding yang dulu kokoh tak tersaingi. Lalu tanah dan langit saling pandang dalam keremangan yang begitu diam. Lalu kubiarkan jiwaku yang telah lama pergi, menunjukkan kotak itu sekali lagi.

Kepada kau, sang pemegang kunci.

Amsterdam, 7 Mei.

Untukmu dan cinta yang tak pernah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun