"Pegang aku, Hildan."
Apa yang membuatmu begitu kuat? Apakah keyakinanmu bahwa dunia membenarkan rantai pasangan yang diberikan Tuhan untuk dua manusia yang menautkan hati?
"Tanganku kuat memelukmu. Tapi kakiku lemah."
Dan malam itu tak kulepaskan pelukan bagimu. Bahkan sedetikpun. Belaian telapak tanganmu di pipiku yang begitu hangat menenangkan. Aku memutar kembali gambar-gambar indah ketika kau berjingkrak di atas rumput yang basah, melempar payung dan membiarkan bulir-bulir air terpantul dan jatuh. Saat aku tak banyak mendengar suara. Kehidupanku sudah terasa panjang bahkan setiap kali aku merasakan betapa singkatnya usia.
Dari jauh saat aku membuka mata untuk kesekian kalinya, aku melihat api yang menyala-nyala di sekitarmu. Menyentuh punggungmu dengan lembut kemudian membentuk sayap yang tak bisa kugambarkan dengan dua-tiga kertas. Mengangkat tanganmu tinggi-tinggi seperti mempermalukanku bahwa aku yang sebetulnya lemah. Kau adalah api, yang melawan dinginnya hujan.
"Aku akan menemukan pemegang kunci itu, Hildan."
Kau dan aku pernah bersama dan tak pernah ada yang lebih baik dari itu. Kau tak pernah tahu, sama berartinya dengan aku yang terlalu banyak rindu. Tapi aku tak pernah menyesali apapun, meski kutahu hujan akan terus kembali, dan kau akan terus menjadi api. Mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Mungkin akan datang sebuah kotak nanti, yang kuletakkan di sebuah tempat rahasia dengan kesaksian Tuhan. Kumasukkan semua perasaanku di sana, lalu kukubur dalam-dalam. Kemudian menunggu.
Biar bertahun-tahun kubiarkan api membakar habis bangunan  itu, meruntuhkan semua kekuasaannya, dan mengalahkan hujan yang mengguyurnya sepanjang hari. Hingga tinggal abu-abu dan remah-remah kayu bertumpuk kepalsuan dinding yang dulu kokoh tak tersaingi. Lalu tanah dan langit saling pandang dalam keremangan yang begitu diam. Lalu kubiarkan jiwaku yang telah lama pergi, menunjukkan kotak itu sekali lagi.
Kepada kau, sang pemegang kunci.
Amsterdam, 7 Mei.