Lintai namanya.
Ia biasa bermain di bawah pohon beringin.
Ayunan kayu yang dibuatkan mendiang pamannya masih selalu ia rawat.
Beberapa kali tali serabut kelapanya ia ganti dan ia sambung.
Pernah suatu ketika ia mengikatnya dengan renda roknya.
Ia pernah diceritakan untuk menulis namanya di balok kayu ayunannya itu,
agar ia bisa kembali melihatnya jika sudah dewasa.
Lintai tak pandai bersolek.Ia hanya mudah tersenyum.
Itulah juga yang menjadikannya bidadari dari balik lensa kacamata pemuda tampan itu.
Lintai tak pandai menari.
Ia hanya anggun berjalan.
Itulah yang menjadikannya pramusaji primadona di Rumah Hijau.
Lintai suka menyimpan bunga.Edelweiss dari mendiang pamannya masih aman terbungkus kantung merah dalam peti gadingnya.
Ia membawanya kemana-mana.
Ia berjanji kelak akan menyampaikan pesan pamannya kepada suami yang memilihnya.
Lintai bukan anak satu-satunya.
Ia pernah memiliki adik, yang meninggal tertembak di depan matanya.
Adiknya cantik, namun tak seanggun dirinya.
Ia sesekali merasakan dirinya menjadi tomboy jika mengenang adiknya itu.
Lintai bukan yatim piatu.Ia pernah melihat ibunya, sesaat sebelum berpisah di pinggir Sungai Kapuas.
Ia pernah bertemu bapaknya, ketika nyaris diperkosa rentenir di bar tempatnya bekerja.
Ia tak pernah sendirian.
Lintai harus hidup.
Ia sudah melewati setengah abad dunianya.
Entah ibu bapaknya di mana,
atau mendiang adiknya tersenyum atau tidak di alam sana.
Ia selalu percaya pada kata-kata pamannya.
"Orang-orang yang mencintaimu akan menjagamu seperti ia menjaga kehidupannya di dunia seisinya."
Lintai akan menemukan pasangan hidupnya sebentar lagi.
Orang yang akan ia berikan bunga Edelweiss, dan yang akan ia ajak menuliskan satu nama lagi,
berdampingan dengan namanya di balik kayu ayunan pohon beringin.
LINTAI dan .....
[Yogyakarta, 12 Januari 2011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H