Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Skandal Pekerja Apple, Mana Suara Pemerintah RI?

23 Desember 2014   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_385271" align="aligncenter" width="460" caption="Anak-anak sedang bekerja di penambangan timah di Bangka, Indonesia. Apple dan beberapa perusahaan perangkat elektronik ternama sedang disorot karena temuan BBC yang mengungkap praktik ketidakberesan terkait tenaga kerja pemasok bahan peranti mereka di Tiongkok dan Indonesia. Foto oleh Ulet Ifansasti/The Guardian"][/caption]

Film investigasi terbaru BBC yang mengungkap “bobroknya” keadaan para pekerja pada perusahaan penghasil komponen untuk produk elektronik Apple, termasuk fakta banyaknya pekerja berusia anak-anak di tambang pemasok timah di pulau Bangka, Sumatra, rupanya belum mendapat respon resmi dari pemerintah Indonesia sendiri.

Video tersebut, yang diluncurkan lewat program bertajuk Panorama hasil peliputan selama dua bulan sejak Oktober menggambarkan bagaimana menyedihkannya kondisi para pekerja dalam proses manufaktur iPhone, iPod dan iPad di Pegatron dan Foxxcon, perusahaan rekanan Apple berbasis di Tiongkok. Di bagian lain yang porsinya cukup besar, video juga merekam fakta banyaknya anak-anak dipekerjakan dalam keadaan tidak layak di tambang-tambang pemasok timah di Bangka, yang ekspornya menyinggung banyak nama merek ponsel terkemuka dunia.

Eksekutif senior Apple Jeff Williams menyatakan pembelaan bahwa perusahaan dengan merek paling bernilai di dunia itu telah melakukan “langkah-langkah yang paling maju dibandingkan perusahaan mana pun” dalam menjamin hak-hak para pekerjanya.

Lewat surat elektronik kepada 5.000 stafnya di Inggris yang dibocorkan The Telegraph, Minggu (21/12/2014), Williams juga mengakui bahwa hingga saat ini masih ada pelibatan anak-anak dalam rantai pasokan produk-produk Apple. Mereka juga telah menugaskan satuan penyelidik khusus yang berangkat ke Bangka guna menjanjikan output perbaikan operasional ketenagakerjaan pada tambang-tambang penghasil timah di Indonesia.

“Apple sedang mendorong terciptanya serta diterapkannya sistem yang menjalankan fasilitas pengolahan secara lebih terbuka sehingga kami dapat ikut memperbaiki kondisi pertambangan di Indonesia,” tulis Williams.

Sebetulnya, pemberitaan skandal produksi Apple sudah terendus sejak dua-tiga tahun terakhir, terlebih sejak kasus tewasnya pekerja perakitan iPhone di Foxxcon Tiongkok sementara jajaran eksekutif Apple masih enggan mengakui secara terbuka perihal ketidakberesan proses manufakturnya kala itu.

Terkhusus isu pelibatan anak-anak dalam tambang timah yang memasok bahan solder untuk peranti inti ponsel dan tablet, Apple dianggap terbelakang. Catatan Guardian, pada April 2013 beberapa perusahaan elektronik dan gadget di Silicon Valley “dipaksa” menandatangani inisiasi gerakan perlindungan pekerja di semua rantai pasokan produk gadget dunia, termasuk merek-merek yang ponselnya sedang naik daun tahun-tahun terakhir seperti Samsung, Sony, dan Blackberry.

Friends of the Earth, judul gerakan itu, masih berlangsung hingga kini sementara Apple sendiri masih dianggap “pengecut” karena terkesan menutup diri dan terlalu menjaga citra.

Pada Agustus 2013 lalu, Apple mengklaim bahwa sumber timah untuk produksi perangkat mereka khusus mengambil dari BUMN yang terdaftar dan terbesar, PT Timah. Mereka juga menegaskan telah menerapkan standar etis dan kelayakan proses tambang sebagaimana mestinya.

Di Indonesia, gembar-gembor ketidakberesan sistem ketenagakerjaan produk-produk Apple belum mendapat respons resmi dari pemerintah atau setidaknya otoritas daerah terkait. Padahal, secara geografis seharusnya pemerintah Indonesia memberikan klarifikasi terutama soal kondisi pertambangan timah ekspor yang tidak memenuhi standar keamanan, standar usia, dan indikator kelayakan lainnya.

Hal ini juga yang disayangkan Williams, sampai-sampai ia menuliskan keresahannya karena temuan berbagai fakta praktik ilegal dalam pertambangan tidak diseriusi oleh pihak Indonesia sendiri.

“Pemerintah (Indonesia) tidak memberi pernyataan apapun soal ini, ditambah meluasnya praktik korupsi dalam rantai pasokan yang tidak beres. Tim penyelidik kami mendatangi titik yang sama didatangi oleh BBC, dan tentu saja kami sangat terkejut dengan apa yang kami lihat.”


Awal tahun ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menerbitkan laporan yang merangkum  nilai kerugian akibat penambangan timah di Bangka dan Belitung Timur mencapai Rp 397 triliun, selama rentang 2007 hingga 2012. Kerugian akibat biaya kesehatan di satu kabupaten mencapai Rp 30 miliar, biaya untuk mendapatkan air Rp 42 juta, dan biaya mengatasi penurunan sumber daya alam nontambang (pertanian dan perkebunan) mencapai Rp 500 miliar.

Sementara laporan Friends of the Earth Indonesia, setiap pekan ada satu pekerja tewas di area penambangan timah di Bangka. Rata-rata tingkat kematian pekerja sebanyak 150 jiwa per tahun. Diperkirakan, dari total 60.000 pekerja ada sedikitnya 2.000 hingga 3.000 anak-anak terlibat dalam penambangan timah di banyak titik, termasuk tambang-tambang liar yang beroperasi tanpa otoritas dan standar pengerjaan minimum.

Meski praktik pelibatan anak-anak di banyak sektor industri bukanlah rahasia di Indonesia, tetap saja banyak pihak merasa perlu untuk membahas hal ini secara khusus. Isu ini menjadi makin tajam karena Indonesia juga menjadi pasar terbesar dari beberapa merek elektronik ternama, semisal Samsung, Nokia, Phillips, dan BlackBerry.

Menengahi perdebatan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia bidang UMKM pada 2012 Nina Tursina menyatakan, anak-anak tidak dilarang bekerja, dengan syarat ketat, yakni, “… maksimal tiga jam, pekerjaannya tidak membahayakan, dan tetap bersekolah,” ujar Nina sebagaimana dilaporkan Tribunnews.com, Oktober. Tetapi pun dengan syarat seketat itu, tidak ada tanda-tanda upaya serius untuk mengatasi isu ini.

Berdasarkan data International Labor Organization (ILO), sedikitnya masih 2,4 juta anak (di bawah standar usia kerja minimum 15 tahun) bekerja di berbagai sektor di Indonesia. Padahal, Indonesia punya visi bebas praktik pekerja anak di 2020.

Pertambangan timah sendiri, yang 90%-nya menyumbang devisa ekspor, makin disorot karena tingkat risikonya yang terbilang tinggi bagi kondisi fisik, mental, serta masa depan anak-anak. Meski Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan jelas melarang pelibatan anak-anak di berbagai sektor produksi, praktik tambang ilegal di Bangka masih bertahan dengan tradisi lama yang berisiko tinggi.


*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun