Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Esensi “Tongsis”

28 Januari 2015   17:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422432663770767588

[caption id="attachment_393704" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Kalau-kalau Anda belum tahu, kata 'tongsis' sudah dipadankan secara resmi ke dalam bahasa Inggris dengan pilihan kata dan makna yang sudah koheren dengan istilahnya di Indonesia.

Adalah 'narcisstick', lema baru yang menggantikan istilah sebelumnya 'selfie stick' diakui oleh Global Language Monitor setelah dipopulerkan koran The New York Times lewat beberapa laporannya Desember lalu.

Kata ini bahkan sudah digadang-gadang sebagai Word Of The Year 2015, melanjutkan popularitas 'selfie' yang memenangkan WOTY Kamus Oxford pada 2013. Tapi sebagai bahan pemikiran sederhana saja, bagaimana sebenarnya bingkai masyarakat kita memandang tongsis? Apakah Orang Indonesia termasuk yang gemar menggunakan teknologi tapi jarang menelusuri cerita di balik alat-alatnya?

Tongsis pertama kali diperkenalkan di Jepang lewat paten yang diperkenalkan dengan nama 'Telescopic extender' tahun 1985. Sepuluh tahun kemudian, pada 1995 masuk dalam daftar penemuan "yang mungkin akan berguna". Tapi cikal bakal tongsis dalam bentuk masa kini baru diciptakan seorang peneliti Kanada Wayne Fromm dengan nama Quik Pod pada 2005. Tongsis lalu melesat cepat saat kepopuleran ponsel pintar layar sentuh sedang menikmati puncak penjualannya, 2013-2014.

Perusahaan ternama yang terekam pertama kalinya memopulerkan tongkat selfie adalah GoPro, produsen perangkat fotografi yang lalu memperkenalkan merek dagang mereka GoPole, yang pada tahun yang sama merajai penjualan perangkat mobile di Amazon. Karena nampaknya tongsis tidak pernah dipatenkan, mulailah menjamur produksi oleh berbagai perusahaan hingga akhirnya menyeberang ke dataran Amerika.

Mengikuti tren pengambilan foto diri (selfie) yang mencuat seiring kepopuleran Instagram, Twitter, dan Path, permintaan akan tongkat panjang yang di ujungnya dapat direkatkan ponsel ini terus bertambah. Pada edisinya November lalu, majalah Time memasukkan selfie stick dalam daftar 25 penemuan paling berpengaruh tahun 2014.

Konsumen terbesar tongsis berada di Korea, Indonesia, dan Tiongkok. Untuk ukuran tongkat aluminium seharga US$ 3,9 hingga US$ 79,5, tongsis luar biasa hingga dapat merajai pasar asesori ponsel kurang dari 4 bulan.

Tapi, sebagai bahan pemikiran sederhana saja, apa sebenarnya esensi tongsis?

Di Indonesia, tongsis bisa jadi tak lebih dari aksesori ponsel lainnya yang dibeli saat tren kemudian dilupakan saat sudah tidak laris. Atau, dianggap sebagai instrumen fungsional yang mendukung kecenderungan narsistis atau sekadar mengabadikan momen terbaik. Apakah orang Indonesia termasuk pengguna yang mengerti riwayat serta masa depan perangkat teknologinya?

Sekilas, secara teknis tongsis membantu pemotret untuk secara implisit “mengurangi ego” karena mengakomodasi lebih banyak orang ke dalam bingkai fotonya. Sepuluh-lima belas orang dengan mudah dipotret bersama, menjadikan groupie (istilah baru lainnya) lebih besar dan ekstentrik dari versi Ellen DeGenerees saat selfie Oscar-nya.

Di sisi lain, tongsis juga membantu banyak orang menambah perspektif atas objek foto, terutama di tempat-tempat wisata yang berguna untuk keperluan promosi viral. Berfoto dari atas Marina Bay, akan bisa tersaingi oleh foto latar lebar dari puncak tebing Raja Ampat, di mana kenampakan latar teluk dan koralnya lebih jelas.

Dalam kemungkinan lain, tongsis memberikan fungsi fotografi ala monopod di saat seorang fotografer perempuan bertubuh kecil harus berdesakan di kerumunan orang-orang tinggi, dan tetap mendapatkan hasil foto overhead yang jelas. Bahkan konon di beberapa negara, tongsis mulai dipertimbangkan sebagai alat bantu penanganan kecelakaan konstruksi atau operasi penyelamatan sandera.

Nilai Negatif

Akan tetapi, sama seperti fitur perangkat tekno kebanyakan, heboh fungsi dan nilai estetika tongsis tidak bisa lepas dari penilaian serta prospek negatif. Baik itu terkait persoalan legal atau dampak eksesif, tongsis nampaknya memunculkan celah risiko yang “kurang menyenangkan”.

Secara pribadi, saya sering mengeluh dengan penggunaan tongsis yang berlebihan, khususnya di ruang publik. Dua kali saya menonton pertunjukan seni di dua tempat berbeda, para pembawa tongsis sering kali ditegur karena menghalangi pandangan penonton lainnya, dan atau berbuat “kehebohan tersendiri” di saat orang lain perlu suasana hikmat.

Nampaknya saya tidak sendirian berpikir demikian. Di Inggris, dua klub sepak bola ibukota Arsenal dan Tottenham Hotspurs telah mengeluarkan aturan “selfie stick dilarang di area mana pun di dalam stadion”, setelah banyak penonton menyatakan terganggu dengan “aksi” para pemotret tongkat ini. Aturan sama sedang diujicobakan oleh Liverpool dan Manchester City, menimbang kemungkinan tongsis dapat digunakan sebagai senjata. (ESPN, premierleague.com)

Di negeri Samsung, Korea Selatan, pemerintah setempat sedang mengeluarkan aturan ketat untuk para produsen tidak resmi tongsis. Mereka yang membuat dan menjual tongsis “di luar standar ketentuan pemerintah” akan dikenakan denda hingga US$ 46.000 atau kurungan penjara selama tujuh bulan (New York Post). Meski aturan ini diberlakukan, toh penjualan tongsis di sana tetap pada pertumbuhan positifnya di atas 150 persen.

Terlepas dari nilai pasar dan apresiasi fungsionalnya, tongsis sampai sekarang menjadi alat unik di mana logika penemuan manusia menjadi semakin sederhana: memenuhi kebutuhan teknis dan memuaskan citra diri. Siapa mengira alat sebentuk tongkat satu meter dengan penjepit dapat tiba-tiba terkenal di seluruh dunia, dan mengubah cara kita menggunakan fitur interaksi.

Dan tanpa mengabaikan ekses negatif dari keberadaannya, tongsis tetap saja menarik hati banyak orang, tidak terkecuali orang-orang Indonesia yang makin ke sini semakin mencintai dirinya sendiri, menikmati teknologi seperti cara mendandani diri.

Pemikiran menarik seputar tongsis bisa jadi melewati batas bahwa penemuan penting ini hanya sebatas material tongkat dengan pengatur-jepitnya yang unik, tetapi wujud nilai penemuan manusia dalam menjejaki lebih banyak lingkup sosial.

Sama seperti esensi selfie, tongsis menampakkan wajah manusia (dalam bingkai yang lebih lebar) dalam psikologis keinginan dilihat, diakui, diapresiasi, dan dimengerti motifnya. Atau, sama seperti earphone, penciptaan tongsis adalah instrumen menciptakan ruang pribadi di ruang publik, meski kadang melenceng dari nilai interaksi sebagaimana tujuan penciptaan tekno itu sendiri.

Tongsis meremajakan banyak orang, dengan kenampakan yang sering kali lucu. Sekarang, akankah tongsis juga dimasukkan ke KBBI edisi selanjutnya?

----

Sumber:

NYP - http://nypost.com/2014/12/17/why-the-selfie-stick-is-the-most-controversial-gift-of-2014/

ESPN - http://www.espnfc.com/barclays-premier-league/story/2232357/tottenham-and-arsenal-ban-selfie-sticks-from-stadiums

THE AUSTRALIAN - http://businessnow.theaustralian.com.au/tag/myr/?ncabn-iframe-embed=1

THE NEW YORK TIMES - http://www.nytimes.com/2015/01/18/style/at-the-super-bowl-of-linguistics-may-the-best-word-win.html

Sumber gambar: Kompas Tekno.


*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun