Mohon tunggu...
Afsal Muhammad
Afsal Muhammad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Web Developer

Tukang baca, tukang nulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Pendidikan Indonesia Perlu Operasi Jantung

15 Desember 2024   11:11 Diperbarui: 15 Desember 2024   11:11 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah era yang serba cepat dan serba mendunia sekarang ini, Indonesia masih dihadapkan dengan problema kurikulum pendidikan yang masih belum maksimal. Pasalnya, setiap pergantian menteri pendidikan, selalu ada perubahan kurikulum, dan setiap pergantian kurikulum pasti memunculkan masalah baru. Hal ini bisa menghambat pendidikan Indonesia, membuat kita tertinggal dari negara yang sudah selangkah lebih maju.

Pergantian kurikulum pada dasarnya membuat pendidikan lebih dinamis dan sesuai dengan zaman. Tetapi, hal ini justru menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional dan merugikan siswa. Guru dan siswa belum siap beradaptasi, sementara pergantian kurikulum dilakukan 5 tahun sekali. Guru bingung cara mengajar, siswa bingung cara belajar.

Dampak Negatif Seringnya Pergantian Kurikulum

Perubahan kilat akan membuat guru dan siswa kesulitan beradaptasi, ditambah teknologi yang semakin sulit dikejar membuat proses belajar menjadi lebih rumit. Pola belajar guru yang jadul, gaji guru yang kecil, serta perubahan mental dan kebiasaan siswa menjadi tantangan tersendiri. Kurikulum harus bertahan dan dibiasakan setidaknya 10 tahun untuk melihat hasilnya, jika nihil, maka perlu perbantian.

Pergantian kurikulum hanya akan mengeluarkan biaya besar untuk mencetak buku baru, pelatihan guru, sampai infrastruktur baru. Ini tentu menjadi beban tersendiri, terutama bagi sekolah yang berada di pinggiran. Indonesia yang memiliki kebiasaan korupsi di bidang pendidikan harus menanggulangi hal ini demi kenyamanan bersama, jangan hanya proyek politik sehingga menjadikan pendidikan sebagai wadah untuk menyelesaikan periode kepemimpinan.

Penciptaan kurikulum yang belum matang dan dipaksakan untuk mengejar deadline janji politik tentu akan menghasilkan output yang tidak optimal. Indonesia yang saat ini dihadapkan dengan krisis mental anak zaman sekarang, ditambah kemudahan teknologi yang membuat kebiasaan anak berubah, harusnya menjadi fokus utama untuk meningkatkan kualitas. Alih-alih mempertahankan upaya membuat siswa hafal banyak hal, lebih baik membuat siswa mengerti banyak hal. Terutama aspek penting dalam kehidupan sosial di dunia nyata.

Perbandingan Dengan Negara Maju

Finlandia dan Singapura merupakan dua dari banyaknya negara maju yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal, Singapura berada dekat dengan kita, memiliki luas wilayah yang kecil dan sumber daya yang lebih sedikit. Tapi bagaimana bisa negara-negara itu bisa memberikan hasil maksimal dalam proses pendidikan?

Kedua negara maju tersebut memiliki frekuensi pergantian kurikulum yang relatif stabil. Perubahan selalu dilakukan secara bertahap dan didasarkan pada evaluasi yang komprehensif. Berbeda dengan Indonesia yang bisa sering mengganti kurikulum setiap pergantian kepemimpinan. Hal ini bisa ditiru oleh Indonesia dengan mematangkan kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman saat ini dengan mengedepankan pendidikan karakter yang kuat dan menumbuhkan integritas tinggi di kalangan para siswa.

Fokus kurikulum yang dicanangkan negara maju seperti Finlandia dan Singapura adalah keterampilan abad 21, berpikir kritis, kreativias, dan kolaborasi. Indonesia masih betah dengan pengetahuan faktual dan persiapan ujian, seolah siswa diciptakan menjadi robot seperti AI atau menjadi pekerja pabrik. Sedikit ada siswa yang dikenalkan dengan buku-buku berkualitas, perkembangan sains saat ini, dan kreasi seni tingkat tinggi. Infrastruktur untuk seni musik di sekolah, terutama di daerah pun, masih sangat minim. Masyarakat juga masih menganggap siswa yang pintar adalah mereka yang jago matematika.

Di negara-negara maju, sekolah punya fleksibilitas dalam mengembangkan program pembelajaran. Mereka bisa membuat program yang relevan dan sesuai dengan siswa yang berada di daerahnya masing-masing. Indonesia masih terbatas, sekolah harus nurut pada apa yang sudah dicanangkan pemerintah pusat. Guru disibukan dengan administrasi yang rumit padahal dunia sudah sangat canggih dan efisien, sehingga tidak fokus pada peningkatkan kualitas mengajar. Siswa, akhirnya menjadi korban dari semua ini.

Guru di Indonesia hanya berperan sebagai penyampai informasi, seperti robot AI. Ditambah, kesejahteraan guru di Indonesia yang jauh dari kata "sejahtera" membawa petaka yang lebih buruk lagi untuk masa depan pendidikan kita. Di negara maju, guru adalah fasilitator belajar dan mentor. Mereka tidak hanya menyampaikan informasi, mereka memberikan pendampingan dalam proses belajar dan memberikan nilai-nilai lebih dari sekadar mengetahui empat kali empat sama dengan empat. Gaji guru di negara maju pun tinggi yang bisa meningkatkan dedikasi terhadap pendidikan.

Negara maju memang fokus pada penilaian siswa yang beragam, seperti proyek, presentasi, dan penilaian berbasis kinerja. Indonesia juga sudah seperti itu, tetapi hanya sebatas formalitas. Jika kita lihat lebih dalam, Indonesia masih fokus pada ujian tertulis sebagai sumber evaluasi utama untuk siswa. Dan, evaluasi yang lain hanya sebatas bumbu agar pembelajaran lebih menarik. Hal ini terbukti dari tidak meningkatnya kreatifitas siswa dan kemampuan public speaking yang minim. Siswa juga lebih sering dibantu orang tua agar tidak ribet dalam mendapatkan nilai dan lulus sekolah, dengan kata lain, dilatih untuk manja.

Teori Pendidikan yang Relevan

Dunia ini luas dan ilmunya sudah banyak, tinggal kita yang mengembangkannya. Indonesia perlu 'operasi jantung' untuk kurikulum pendidikan demi terciptanya Indonesia Emas 2045 yang diidam-idamkan. Teori-teori pendidikan seperti, Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk), Connectivism (konektivisme), Konstruktivisme, dan Teori Belajar Sosial bisa diterapkan dengan maksimal untuk menciptakan pendidiakn yang lebih unggul di Indonesia.

Kita mulai dengan Teori Konstruktivisme. Teori yang dikembangkan Jean Piaget ini menilai bahwa pengetahuan bukan hal yang diterima siswa secara pasif, tetapi hal yang dibangun secara aktif oleh siswa lewat interaksi dan lingkungan mereka. Ini sebenarnya sudah terjadi di lingkungan siswa, mereka yang suka olahraga sepakbola, menerima banyak informasi dari sosial media, lalu membahasnya bersama. Tapi, bagaimana dengan pengetahuan umum? Jawabannya, siswa harus dibuat tertarik terlebih dahulu.

Oleh karena itu, untuk menerapkan teori ini, guru harus berperan sebagai fasilitator. Siswa bisa belajar dalam kelompok untuk berbagi ide dan membangun pemahaman bersama. Penilaiannya, bukan berdasarkan kemampuan siswa menjawab pertanyaan, tetapi mengukur kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan dalam situasi nyata.

Lanjut ke Teori Belajar Sosial. Albert Bandura sebagai pengembang teori ini, menekankan pentingya pengamatan dan imitasi dalam proses pembelajaran. Siswa belajar dengan mengamai perilaku orang lain, terutama model yang dianggap relevan dan berwibawa.

Di sini, guru harus berperan sebagai teman selain sebagai mentor. Menjadi sosok yang disenangi semua kalangan, mudah berbaru, tapi jangan sampai toxic dan membawa pesan-pesan tidak relevan dalam dunia pendidikan. Dengan begitu, siswa bisa meniru perangai guru yang baik. Karena, banyak juga misalnya, siswa yang merokok dan beranggapan bahwa guru juga ada yang merokok di sekolah.

Sementara, Teori Kecerdasan Majemuk yang diperkenalkan Howard Gardner mengusulkan bahwa setiap individu punya berbagai macam kecerdasan yang berbeda-beda, selain kecerdasan intelektual lewat tes IQ. Ini sudah dibahas di mana-mana, tidak semua siswa cerdas di matematika, ada juga yang bagus di musik, dan pandai di olahraga.

Implikasinya, guru bisa merancang pembelajaran yang mengakomodasi berbagai jenis kecerdasan siswa. Penilaiannya pun tidak hanya berfokus pada tes tertulis, tetapi berbagai bentuk penilaian yang sesuai dengan kecerdasan masing-masing siswa. Selain itu, guru bisa membantu siswa mengidentifikasi dan mengembangkan potensi kecerdasan yang mereka punya.

Terakhir, Teori Konektivisme. George Siemens menjadi orang yang memperkenalkan teori yang muncul di era teknologi informasi ini. Teori ini menekankan pentingnya koneksi, jaringan, dan kolaborasi dalam proses pembelajaran. Namun, teori ini malah baru disadari oleh manusia Indonesia rata-rata setelah lulus SMA, saya pun begitu. Rata-rata untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan membangun bisnis.

Maka dari itu, untuk menerapkan teori ini, pembelajaran dilakukan tidak hanya dalam kelas, tetapi melibatkan penggunaan teknologu ntuk berkolaborasi dengan orang lain. Siswa beratnggung jawab untuk mencari dan mengelola informasi sendiri. Teori ini menekankan pentingnya keterampilan seperti berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi.

Penutup

Pemerintah Indonesia harus melakukan 'operasi jantung', evaluasi besar-besaran dan mendalam terhadap kurikulum yang sebelumnya melakukan perubahan. Libatkan guru, siswa, orang tua, dan pakar pendidikan dalam pengembangan kurikulum. Tekankan juga pada pentingnya kualitas pembelajaran daripada sekadar mengejar target-target kuantitatif.

Kesejahteraan guru di Indonesia perlu ditingkatkan, naikan gajinya, dan penuhi segala kebutuhannya. Jika memang pendidikan adalah cara untuk mencapai Indonesia Emas 2045, maka guru adalah agen terbaik yang harus dirawat dan dijaga demi meningkatkan pendidikan di Indonesia. Supaya, Indonesia tidak berada di belakang negara lain, dan siswa betah belajar di Indonesia.

Pendidikan adalah Investasi jangka panjang. Bangun sistem pendidikan yang kokoh dan berkelanjutan, dan bukan sekadar mengikuti tren. Pemerintah, pendidik, orang tua, dan siswa harus punya integritas, karena kemajuan negara ini ada di tangan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun