Mohon tunggu...
Afsal Muhammad
Afsal Muhammad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Web Developer

Tukang baca, tukang nulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Pendidikan Indonesia Perlu Operasi Jantung

15 Desember 2024   11:11 Diperbarui: 15 Desember 2024   11:11 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru di Indonesia hanya berperan sebagai penyampai informasi, seperti robot AI. Ditambah, kesejahteraan guru di Indonesia yang jauh dari kata "sejahtera" membawa petaka yang lebih buruk lagi untuk masa depan pendidikan kita. Di negara maju, guru adalah fasilitator belajar dan mentor. Mereka tidak hanya menyampaikan informasi, mereka memberikan pendampingan dalam proses belajar dan memberikan nilai-nilai lebih dari sekadar mengetahui empat kali empat sama dengan empat. Gaji guru di negara maju pun tinggi yang bisa meningkatkan dedikasi terhadap pendidikan.

Negara maju memang fokus pada penilaian siswa yang beragam, seperti proyek, presentasi, dan penilaian berbasis kinerja. Indonesia juga sudah seperti itu, tetapi hanya sebatas formalitas. Jika kita lihat lebih dalam, Indonesia masih fokus pada ujian tertulis sebagai sumber evaluasi utama untuk siswa. Dan, evaluasi yang lain hanya sebatas bumbu agar pembelajaran lebih menarik. Hal ini terbukti dari tidak meningkatnya kreatifitas siswa dan kemampuan public speaking yang minim. Siswa juga lebih sering dibantu orang tua agar tidak ribet dalam mendapatkan nilai dan lulus sekolah, dengan kata lain, dilatih untuk manja.

Teori Pendidikan yang Relevan

Dunia ini luas dan ilmunya sudah banyak, tinggal kita yang mengembangkannya. Indonesia perlu 'operasi jantung' untuk kurikulum pendidikan demi terciptanya Indonesia Emas 2045 yang diidam-idamkan. Teori-teori pendidikan seperti, Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk), Connectivism (konektivisme), Konstruktivisme, dan Teori Belajar Sosial bisa diterapkan dengan maksimal untuk menciptakan pendidiakn yang lebih unggul di Indonesia.

Kita mulai dengan Teori Konstruktivisme. Teori yang dikembangkan Jean Piaget ini menilai bahwa pengetahuan bukan hal yang diterima siswa secara pasif, tetapi hal yang dibangun secara aktif oleh siswa lewat interaksi dan lingkungan mereka. Ini sebenarnya sudah terjadi di lingkungan siswa, mereka yang suka olahraga sepakbola, menerima banyak informasi dari sosial media, lalu membahasnya bersama. Tapi, bagaimana dengan pengetahuan umum? Jawabannya, siswa harus dibuat tertarik terlebih dahulu.

Oleh karena itu, untuk menerapkan teori ini, guru harus berperan sebagai fasilitator. Siswa bisa belajar dalam kelompok untuk berbagi ide dan membangun pemahaman bersama. Penilaiannya, bukan berdasarkan kemampuan siswa menjawab pertanyaan, tetapi mengukur kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan dalam situasi nyata.

Lanjut ke Teori Belajar Sosial. Albert Bandura sebagai pengembang teori ini, menekankan pentingya pengamatan dan imitasi dalam proses pembelajaran. Siswa belajar dengan mengamai perilaku orang lain, terutama model yang dianggap relevan dan berwibawa.

Di sini, guru harus berperan sebagai teman selain sebagai mentor. Menjadi sosok yang disenangi semua kalangan, mudah berbaru, tapi jangan sampai toxic dan membawa pesan-pesan tidak relevan dalam dunia pendidikan. Dengan begitu, siswa bisa meniru perangai guru yang baik. Karena, banyak juga misalnya, siswa yang merokok dan beranggapan bahwa guru juga ada yang merokok di sekolah.

Sementara, Teori Kecerdasan Majemuk yang diperkenalkan Howard Gardner mengusulkan bahwa setiap individu punya berbagai macam kecerdasan yang berbeda-beda, selain kecerdasan intelektual lewat tes IQ. Ini sudah dibahas di mana-mana, tidak semua siswa cerdas di matematika, ada juga yang bagus di musik, dan pandai di olahraga.

Implikasinya, guru bisa merancang pembelajaran yang mengakomodasi berbagai jenis kecerdasan siswa. Penilaiannya pun tidak hanya berfokus pada tes tertulis, tetapi berbagai bentuk penilaian yang sesuai dengan kecerdasan masing-masing siswa. Selain itu, guru bisa membantu siswa mengidentifikasi dan mengembangkan potensi kecerdasan yang mereka punya.

Terakhir, Teori Konektivisme. George Siemens menjadi orang yang memperkenalkan teori yang muncul di era teknologi informasi ini. Teori ini menekankan pentingnya koneksi, jaringan, dan kolaborasi dalam proses pembelajaran. Namun, teori ini malah baru disadari oleh manusia Indonesia rata-rata setelah lulus SMA, saya pun begitu. Rata-rata untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan membangun bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun