Sarapan Pagi dan Berita Terkini: Ketika Kalori dan Informasi Menjadi Sama Pentingnya
Siapa yang meragukan pentingnya asupan kalori sebelum memulai rutinitas sehari-hari? Setangkap roti, atau semangkuk bubur, ditemani oleh segelas susu, atau mungkin secankgir kopi. Apapun jenis makanan dan minumannya, sarapan pagi membuat kita lebih siap menghadapi berbagai beban pekerjaan. Namun tidak hanya perut yang bisa menuntut asupan tenaga. Kepala kita juga bisa menuntut kebutuhannya sendiri, yaitu asupan berita.
Sembari mulut mengunyah roti, pikiran dan kewarasan kita turut mengunyah informasi, entah itu dari koran, televisi, berita online, maupun kabar dari jejaring media sosial – berita dari dalam maupun luar negeri, mulai dari berita hiburan hingga berita politik, Twitter seorang kawan lama hingga Twitter Pak Presiden, harga cabai hingga harga saham, isu dan rumor. Berbagai macam informasi kita kumpulkan, dengan atau tanpa menyadari adanya bias dalam informasi yang disebarkan. Bagi mereka yang memiliki akses internet yang cukup baik, hampir tidak mungkin bagi mereka untuk melewatkan ritual ‘unduh informasi’ di tengah ritual sarapan pagi.
Internet: Berita Buruk, Berita Buruk, dan Berita Buruk Lainnya?
Tidak hanya internet mempermudah pencarian informasi melalui media berita online, kini lebih mudah bagi kita untuk menyuarakan opini dalam menanggapi isu-isu tertentu. Tidak sedikit kantor berita online yang memberikan kesempatan bagi pembacanya, untuk menuliskan komentar mereka pada halaman berita. Menyuarakan opini juga bisa dilakukan melalui tulisan blog, maupun melalui akun-akun media sosial kita masing-masing. Kaitannya dengan penyebaran informasi, tahun 2016 menjadi tahun dimana efektivitas penggunaan internet, termasuk media sosial, tidak lagi dipertanyakan.
Disamping opini masyarakat, serta info terbaru promo harga sepatu, tidak henti-hentinya pemberitaan mengenai kekerasan, konflik, dan perilaku destruktif lainnya singgah di layar smartphone kita. Mulai dari aksi kriminal, kekerasan rumah tangga, hingga pemberitaan mengenai intoleransi antar umat beragama, seperti penyegelan Gereja Kristen di Bogor, juga pembakaran Klenteng dan Vihara di Tanjungbalai. Belum lagi banyaknya pemberitaan mengenai konflik antar umat beragama yang terjadi di berbagai penjuru dunia. Kebanyakan berita yang kita dengarkan sehari-hari, tidak bisa dipungkiri, adalah berita buruk. Lalu kemana perginya berita-berita baik? Pernahkah sesekali kita mempertanyakannya?
Sebagian dari masyarakat boleh jadi menganggap berita yang demikian semata-mata sebagai pengusir rasa kantuk di pagi hari. Namun demikian, berapa dari kita yang benar-benar sadar, bahwa apa yang kita saksikan sehari-hari, sedikit banyak dapat mempengaruhi sikap dan pola pikir kita?
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Huesmann, Moise-Titus, Podolski, dan Eron (2003), dalam jurnal Developmental Psychology, menunjukkan adanya hubungan yang berbanding lurus, antara jumlah berita kekerasan dari televisi yang ditonton seorang anak, dengan tingkat perilaku agresif dan destruktif ketika ia dewasa. Salah satu faktor yang memungkinkan hal ini, ialah menurunnya rasa empati si anak terhadap manusia lainnya, dikarenakan ketika ia melihat manusia satu menyakiti manusia lainnya, lama-kelamaan ia akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Ya, berita dari televisi adalah salah satu ‘masalah’ bagi si anak – dan sekarang kita juga punya internet dan media sosial, tempat dimana tidak sedikit orang meneriakkan dan mengamini ‘ujaran kebencian’ antar identitas agama.
Ya, bisa jadi mereka yang menyuarakan ‘ujaran kebencian’ di media sosial adalah mereka yang terlalu banyak terpapar pada informasi yang berbau kekerasan, atau bahkan informasi yang berisi ajakan kekerasan – kita tidak tahu benar. Yang kita tahu benar ialah bahwa orang-orang seperti mereka ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat, siap untuk menyebarkan berita buruk lainnya untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, baik itu orang dewasa maupun anak-anak.
Mengapa Media Sosial Seringkali Memicu Konflik?
Pertama, media sosial dipercayai kerap menjadi sumber informasi yang sifatnya masih mentah, sehingga rentan akan kesalahan interpretasi.
Lim (2013) dalam Journal of Contemporary Asia, menyatakan bahwa aktivisme media sosial di Indonesia bersifat “many clicks but little sticks” – ia maksudkan sebagai aktivisme dengan banyak partisipan, tetapi kecil substansinya. Secara nyata, dapat kita amati bahwa seringkali pengguna media sosial menyatakan pendapat yang tidak substansial, atau justru menyinggung pengguna lainnya. Opini yang disampaikan pengguna media sosial pun kerap kali hanya disampaikan dalam narasi yang ter-simplifikasi, sehingga tidak heran hanya bisa mencakup sedikit substansi untuk menanggapi suatu isu.
Sifat media sosial yang terbuka (bisa diakses oleh siapapun), ringkas, cepat, dan quantitatif, tidak mungkin bisa sepenuhnya mengakomodasi seluruh kepentingan para penggunanya secara kualitatif. Tidak ada interaksi fisik secara langsung, membuat proses komunikasi yang terjadi di media sosial menjadi rentan akan kesalahan interpretasi.
Sesederhana menuliskan komentar, misalnya, “suara Adzan kok dikecilin,” kenyataannya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik, seperti pada kasus Tanjungbalai. Kesalahan interpretasi akan lebih mudah dihindari, tentunya apabila kita melakukan komunikasi secara langsung – lebih mudah untuk membedakan marah atau tidaknya seseorang dengan mengamati nada bicara dan sikap tubuhnya secara langsung.
Kedua, sifat media sosial di Indonesia tidak pernah terlepas dari sifat media-massa pada umumnya. (Lim, 2013)
Apa yang diberitakan kantor berita besar, otomatis menjadi turut pembahasan di ranah media sosial. Misal, televisi memberitakan soal KPK, sejenak apa yang ada di sosial media pun membahas hal yang sama. Hal ini membuat aktivisme media sosial di Indonesia kurang memiliki pengaruh, sehingga sangat mudah terseret oleh pengalihan isu. Para pengguna media sosial pun hanya tertarik pada isu-isu besar yang dibahas oleh media-media besar pula, yang mana kebanyakan isu tersebut lagi-lagi memberitakan terjadinya konflik dan kekerasan.
Ketiga, media sosial sendiri sangat rentan akan kehadiran dan pengaruh para ‘pengujar kebencian,’ juga kelompok masyarakat radikal.
Melawan Berita Buruk dengan #BeritaBaik: Mengundang para Promotor Kerukunan Antar Agama
Berangkat dari premis yang telah dijelaskan di awal, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif karena ia terpapar banyak informasi mengenai kekerasan – maka kita hendaknya memperbanyak pemberitaan mengenai kerukunan, kolaborasi, dan kompromi, terutama antar identitas agama yang berbeda. Ambil contoh dialog antar umat agama.
Pemberitaan mengenai hal tersebut masih sangat minim di Indonesia, apabila dibandingkan dengan hebohnya pemberitaan konflik antar agama. Bisa jadi karena pemberitaan yang demikian sifatnya kurang ‘greget,’ sehingga kurang menarik perhatian masyarakat. Maka untuk membuat berita yang demikian lebih menarik, dirasa perlu untuk mengangkat sedikit elemen ‘ketegangan,’ keberanian, dan pengorbanan. (Rubeiz, 2011)
Beberapa berita ini dirasa patut dijadikan contoh:
- Di Kenya, kelompok Muslim di Kenya melindungi kelompok Kristen di tengah serangan kelompok radikal Al-Shabab menyerang bus yang mereka tumpangi
- Kelompok Yahudi ortodoks, Shomrim, melakukan patroli untuk melindungi warga Stamford Hill, London, termasuk kelompok Muslim moderat, dari ancaman kelompok Muslim radikal
- Masyarakat Kristen dan Muslim di Kamerun melindungi tempat ibadah satu sama lain dari kelompok radikal Boko Haram. Ketika umat Muslim melakukan ibadah, kelompok Kristen melindungi Masjid; ketika umat Kristen beribadah, kelompok Muslim melindungi Gereja.
Berita yang demikian tentu lebih menarik perhatian para pembacanya. Semakin banyak pemberitaan mengenai wujud nyata kerukunan umat beragama, semakin banyak masyarakat yang membacanya. Sehingga, kembali ke asumsi awal, semakin banyak paparan informasi mengenai kerukunan antar umat beragama, maka seiring berjalannya waktu, terbentuklah kesadaran masyarakat untuk tidak berperilaku agresif terhadap kelompok tertentu.
Untuk memudahkan penyebarluasan berita-berita baik mengenai kerukunan umat beragama, masyarakat bisa menjadi aktor yang terlibat langsung dalam prosesnya. Bagaimana? Ketika penggunaan hashtag semacam #SavePoso, #JeSuisCharlie, #MenolakLupa dapat bekerja dengan baik, kita juga bisa menggunakan #BeritaBaik, untuk para netizen yang mempublikasikan berita-berita mengenai kerukunan umat beragama. Mekanisme hashtag ini dapat memudahkan ‘pengarsipan’ berita-berita yang membuktikan bahwa kerukunan itu mungkin. Kita butuh lebih banyak manusia pembawa pesan perdamaian dan kerukunan, di tengah kenyataan bahwa kita masih membiarkan ‘berita buruk’ menguasai pikiran kita.
Namun demikian, dengan menyadari keterbatasan media sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, publikasi berita dan opini substansial yang berkaitan dengan #BeritaBaik, hendaknya tidak berhenti sampai situ saja. Dunia maya hanya berperan sebagai pengeras suara, di saat kampanye kerukunan antar umat beragama yang sesungguhnya memang diadvokasikan secara nyata, di dunia nyata. Yang dimaksud dengan ‘advokasi nyata’ ialah ketika pemerintah dan media-media besar pun turut mempromosikan #BeritaBaik.
Para netizen yang menyatakan pendapat di halaman media sosialnya, diharapkan menuliskan hal yang substansial dan tidak provokatif, mengingat media sosial adalah media yang rentan akan timbulnya konflik. Alangkah lebih baik pula apabila para penyeru #BeritaBaik menuliskan pendapatnya secara lebih komprehensif dan elaboratif, misal di blog pribadinya, atau bahkan di kolom opini media cetak. Hal ini dimaksudkan agar para informasi yang disebarluaskan oleh netizen dapat dipertanggungjawabkan, bahkan lebih baik lagi, dapat dijadikan materi diskusi bagi netizen lainnya.
Lalu mengapa tidak kita berikan apresiasi dan insentif, bagi individu yang memang secara substansial menyerukan pesan-pesan perdamaian dan kerukunan antar identitas agama? (seperti Kompasiana dan Kementerian Agama yang mengadakan kompetisi blog, misalnya) Jika kebanyakan penulis berita perang dan konflik begitu mudah mendapatkan insentif, mengapa terkesan sangat sulit bagi para penulis berita perdamaian untuk mendapatkannya?
Disamping minimnya pemberitaan mengenai kerukunan, aktivisme lintas agama di Indonesia belum memiliki gaung pengaruh yang cukup kuat. Untuk mengatasi hal ini, peran tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dirasa sangat dibutuhkan untuk mempromosikan kerukunan antar umat beragama. Kita bisa belajar dari India misalnya. Tidak hanya film-film Bollywood sangat memukau dan membuat kita mabuk kepayang, raja Bollywood, Shah Rukh Khan, turut terlibat secara aktif dan substansial dalam mempromosikan kerukunan antar umat agama.
Sejauh ini, hampir tidak bisa ditemukan peran tokoh publik di Indonesia, yang secara eksplisit hadir di depan masyarakat luas, dan mengajak mereka menerapkan prinsip kerukunan antar umat beragama, tanpa membatasi diri pada kelompok agama tertentu saja. Para pemuka agama seperti ustadz, romo, maupun biksu, mereka adalah contoh dari mekanisme yang dimaksud. Hanya saja keterbatasan yang dihadapi ialah bahwa mereka masih terpaku pada afiliasi dengan kelompok masing-masing. Andaikata para pemuka agama mengadakan dialog antar agama, lagi-lagi kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada mereka yang tergabung di dalamnya, serta kurang mendapat sorotan dan antusiasme dari masyarakat luas.
Antibiotik dan Vitamin: Preskripsi Pengobatan Penyakit Benci
Judul bab kesimpulan ini, saya akui, memang terdengar sedikit aneh. Penggunaan istilah kesehatan dan istilah perasaan secara bersamaan, justru terdengar seperti kalimat gombalan daripada wujud solusi yang seharusnya ditawarkan. Namun demikian, analogi sederhana inilah yang saya rasa paling tepat, untuk menggambarkan bagaimana seharusnya media sosial digunakan untuk mempromosikan kerukunan antar identitas agama.
Kita gambarkan, perilaku intoleran dan kekerasan yang berbasis identitas adalah sebuah penyakit yang hendak disembuhkan.
Sebagaimana kita mengobati penyakit, ambil contoh radang tenggorokan, kita membutuhkan antibiotik untuk menghambat tumbuhnya kuman pemicu infeksi, serta vitamin untuk meningkatkan metabolisme tubuh, sehingga sel tubuh yang sakit dapat memperbaiki diri dengan lebih cepat.
Dalam kasus penyakit intoleransi umat beragama di Indonesia, yang berperan sebagai antibiotik, ialah keterlibatan pemerintah, pemuka agama, serta masyarakat sipil untuk terlibat langsung dalam kegiatan yang menunjukkan (atau paling tidak mengupayakan) bentuk nyata dari kerukunan umat beragama, terutama di saat ketegangan antar kelompok mulai terlihat. Dialog lintas agama adalah salah satu cara yang paling efektif, diikuti dengan pemberitaan oleh media massa secara signifikan.
Sementara itu, mekanisme #BeritaBaik berperan sebagai vitamin: mempercepat penyebarluasan berita baik mengenai kerukunan umat beragama, serta membuat masyarakat memperbaiki pola pikir supaya tidak terus-menerus terseret dalam berita konflik dan provokasi.
Tidakkah kita menginginkan semakin banyak berita baik yang kita dengarkan? Tidakkah kita jenuh mendengarkan berita mengenai konflik yang terjadi di berbagai tempat? Tunggu apa lagi? Mengapa tidak sebarkan #BeritaBaik mulai dari sekarang?
Penulis: Afrizal Zulkarnain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H