Lim (2013) dalam Journal of Contemporary Asia, menyatakan bahwa aktivisme media sosial di Indonesia bersifat “many clicks but little sticks” – ia maksudkan sebagai aktivisme dengan banyak partisipan, tetapi kecil substansinya. Secara nyata, dapat kita amati bahwa seringkali pengguna media sosial menyatakan pendapat yang tidak substansial, atau justru menyinggung pengguna lainnya. Opini yang disampaikan pengguna media sosial pun kerap kali hanya disampaikan dalam narasi yang ter-simplifikasi, sehingga tidak heran hanya bisa mencakup sedikit substansi untuk menanggapi suatu isu.
Sifat media sosial yang terbuka (bisa diakses oleh siapapun), ringkas, cepat, dan quantitatif, tidak mungkin bisa sepenuhnya mengakomodasi seluruh kepentingan para penggunanya secara kualitatif. Tidak ada interaksi fisik secara langsung, membuat proses komunikasi yang terjadi di media sosial menjadi rentan akan kesalahan interpretasi.
Sesederhana menuliskan komentar, misalnya, “suara Adzan kok dikecilin,” kenyataannya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik, seperti pada kasus Tanjungbalai. Kesalahan interpretasi akan lebih mudah dihindari, tentunya apabila kita melakukan komunikasi secara langsung – lebih mudah untuk membedakan marah atau tidaknya seseorang dengan mengamati nada bicara dan sikap tubuhnya secara langsung.
Kedua, sifat media sosial di Indonesia tidak pernah terlepas dari sifat media-massa pada umumnya. (Lim, 2013)
Apa yang diberitakan kantor berita besar, otomatis menjadi turut pembahasan di ranah media sosial. Misal, televisi memberitakan soal KPK, sejenak apa yang ada di sosial media pun membahas hal yang sama. Hal ini membuat aktivisme media sosial di Indonesia kurang memiliki pengaruh, sehingga sangat mudah terseret oleh pengalihan isu. Para pengguna media sosial pun hanya tertarik pada isu-isu besar yang dibahas oleh media-media besar pula, yang mana kebanyakan isu tersebut lagi-lagi memberitakan terjadinya konflik dan kekerasan.
Ketiga, media sosial sendiri sangat rentan akan kehadiran dan pengaruh para ‘pengujar kebencian,’ juga kelompok masyarakat radikal.
Melawan Berita Buruk dengan #BeritaBaik: Mengundang para Promotor Kerukunan Antar Agama
Berangkat dari premis yang telah dijelaskan di awal, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif karena ia terpapar banyak informasi mengenai kekerasan – maka kita hendaknya memperbanyak pemberitaan mengenai kerukunan, kolaborasi, dan kompromi, terutama antar identitas agama yang berbeda. Ambil contoh dialog antar umat agama.
Pemberitaan mengenai hal tersebut masih sangat minim di Indonesia, apabila dibandingkan dengan hebohnya pemberitaan konflik antar agama. Bisa jadi karena pemberitaan yang demikian sifatnya kurang ‘greget,’ sehingga kurang menarik perhatian masyarakat. Maka untuk membuat berita yang demikian lebih menarik, dirasa perlu untuk mengangkat sedikit elemen ‘ketegangan,’ keberanian, dan pengorbanan. (Rubeiz, 2011)
Beberapa berita ini dirasa patut dijadikan contoh:
- Di Kenya, kelompok Muslim di Kenya melindungi kelompok Kristen di tengah serangan kelompok radikal Al-Shabab menyerang bus yang mereka tumpangi
- Kelompok Yahudi ortodoks, Shomrim, melakukan patroli untuk melindungi warga Stamford Hill, London, termasuk kelompok Muslim moderat, dari ancaman kelompok Muslim radikal
- Masyarakat Kristen dan Muslim di Kamerun melindungi tempat ibadah satu sama lain dari kelompok radikal Boko Haram. Ketika umat Muslim melakukan ibadah, kelompok Kristen melindungi Masjid; ketika umat Kristen beribadah, kelompok Muslim melindungi Gereja.
Berita yang demikian tentu lebih menarik perhatian para pembacanya. Semakin banyak pemberitaan mengenai wujud nyata kerukunan umat beragama, semakin banyak masyarakat yang membacanya. Sehingga, kembali ke asumsi awal, semakin banyak paparan informasi mengenai kerukunan antar umat beragama, maka seiring berjalannya waktu, terbentuklah kesadaran masyarakat untuk tidak berperilaku agresif terhadap kelompok tertentu.