Mohon tunggu...
Afrizal Zulkarnain
Afrizal Zulkarnain Mohon Tunggu... -

imparsial, rasional, nakal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Media Sosial Membutuhkan Para Penyeru #BeritaBaik

14 September 2016   23:56 Diperbarui: 15 September 2016   01:12 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk memudahkan penyebarluasan berita-berita baik mengenai kerukunan umat beragama, masyarakat bisa menjadi aktor yang terlibat langsung dalam prosesnya. Bagaimana? Ketika penggunaan hashtag semacam #SavePoso, #JeSuisCharlie, #MenolakLupa dapat bekerja dengan baik, kita juga bisa menggunakan #BeritaBaik, untuk para netizen yang mempublikasikan berita-berita mengenai kerukunan umat beragama. Mekanisme hashtag ini dapat memudahkan ‘pengarsipan’ berita-berita yang membuktikan bahwa kerukunan itu mungkin. Kita butuh lebih banyak manusia pembawa pesan perdamaian dan kerukunan, di tengah kenyataan bahwa kita masih membiarkan ‘berita buruk’ menguasai pikiran kita.

Namun demikian, dengan menyadari keterbatasan media sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, publikasi berita dan opini substansial yang berkaitan dengan #BeritaBaik, hendaknya tidak berhenti sampai situ saja. Dunia maya hanya berperan sebagai pengeras suara, di saat kampanye kerukunan antar umat beragama yang sesungguhnya memang diadvokasikan secara nyata, di dunia nyata. Yang dimaksud dengan ‘advokasi nyata’ ialah ketika pemerintah dan media-media besar pun turut mempromosikan #BeritaBaik. 

Para netizen yang menyatakan pendapat di halaman media sosialnya, diharapkan menuliskan hal yang substansial dan tidak provokatif, mengingat media sosial adalah media yang rentan akan timbulnya konflik. Alangkah lebih baik pula apabila para penyeru #BeritaBaik menuliskan pendapatnya secara lebih komprehensif dan elaboratif, misal di blog pribadinya, atau bahkan di kolom opini media cetak. Hal ini dimaksudkan agar para informasi yang disebarluaskan oleh netizen dapat dipertanggungjawabkan, bahkan lebih baik lagi, dapat dijadikan materi diskusi bagi netizen lainnya.

Lalu mengapa tidak kita berikan apresiasi dan insentif, bagi individu yang memang secara substansial menyerukan pesan-pesan perdamaian dan kerukunan antar identitas agama? (seperti Kompasiana dan Kementerian Agama yang mengadakan kompetisi blog, misalnya) Jika kebanyakan penulis berita perang dan konflik begitu mudah mendapatkan insentif, mengapa terkesan sangat sulit bagi para penulis berita perdamaian untuk mendapatkannya?

Disamping minimnya pemberitaan mengenai kerukunan, aktivisme lintas agama di Indonesia belum memiliki gaung pengaruh yang cukup kuat. Untuk mengatasi hal ini, peran tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dirasa sangat dibutuhkan untuk mempromosikan kerukunan antar umat beragama. Kita bisa belajar dari India misalnya. Tidak hanya film-film Bollywood sangat memukau dan membuat kita mabuk kepayang, raja Bollywood, Shah Rukh Khan, turut terlibat secara aktif dan substansial dalam mempromosikan kerukunan antar umat agama.

Sejauh ini, hampir tidak bisa ditemukan peran tokoh publik di Indonesia, yang secara eksplisit hadir di depan masyarakat luas, dan mengajak mereka menerapkan prinsip kerukunan antar umat beragama, tanpa membatasi diri pada kelompok agama tertentu saja. Para pemuka agama seperti ustadz, romo, maupun biksu, mereka adalah contoh dari mekanisme yang dimaksud. Hanya saja keterbatasan yang dihadapi ialah bahwa mereka masih terpaku pada afiliasi dengan kelompok masing-masing. Andaikata para pemuka agama mengadakan dialog antar agama, lagi-lagi kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada mereka yang tergabung di dalamnya, serta kurang mendapat sorotan dan antusiasme dari masyarakat luas.

Antibiotik dan Vitamin: Preskripsi Pengobatan Penyakit Benci

Judul bab kesimpulan ini, saya akui, memang terdengar sedikit aneh. Penggunaan istilah kesehatan dan istilah perasaan secara bersamaan, justru terdengar seperti kalimat gombalan daripada wujud solusi yang seharusnya ditawarkan. Namun demikian, analogi sederhana inilah yang saya rasa paling tepat, untuk menggambarkan bagaimana seharusnya media sosial digunakan untuk mempromosikan kerukunan antar identitas agama.

Kita gambarkan, perilaku intoleran dan kekerasan yang berbasis identitas adalah sebuah penyakit yang hendak disembuhkan.

Sebagaimana kita mengobati penyakit, ambil contoh radang tenggorokan, kita membutuhkan antibiotik untuk menghambat tumbuhnya kuman pemicu infeksi, serta vitamin untuk meningkatkan metabolisme tubuh, sehingga sel tubuh yang sakit dapat memperbaiki diri dengan lebih cepat.

Dalam kasus penyakit intoleransi umat beragama di Indonesia, yang berperan sebagai antibiotik, ialah keterlibatan pemerintah, pemuka agama, serta masyarakat sipil untuk terlibat langsung dalam kegiatan yang menunjukkan (atau paling tidak mengupayakan) bentuk nyata dari kerukunan umat beragama, terutama di saat ketegangan antar kelompok mulai terlihat. Dialog lintas agama adalah salah satu cara yang paling efektif, diikuti dengan pemberitaan oleh media massa secara signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun