Mohon tunggu...
Afrizal FadhilaIlyas
Afrizal FadhilaIlyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa hki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi

2 Juni 2024   09:12 Diperbarui: 2 Juni 2024   16:58 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Skripsi "KESIAPAN MENIKAH KEMBALI PADA PEREMPUAN KORBAN KDRT"
Oleh : Fitri Elsani Naibaho
Reviewer : Afrizal Fadhila Ilyas_222121103_HKI 4 D

A. PENDAHULUAN

       Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah fenomena baru. Korban kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah istri, dan pelaku utama adalah suami. Kekerasan yang dialami meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Setelah diserang, korban membuat berbagai keputusan. Misalnya, seseorang dapat memutuskan untuk mengakhiri pernikahan, atau dapat memutuskan untuk tetap mempertahankan pernikahan secara diam-diam. Orang yang mengambil tindakan defensif bahkan ketika kepuasan perkawinan berfluktuasi adalah orang yang berkomitmen.
       Perkawinan adalah penyatuan dua orang yang berbeda jenis kelamin dengan ikatan  hukum dan agama. Pernikahan bukan sekadar kesempatan untuk menghasilkan keturunan, juga bukan sekadar kepuasan seksual. Namun pernikahan diharapkan akan mendatangkan kebahagiaan, cinta, keakraban, dan dukungan kedua keluarga sehingga tercipta rasa  kepuasan  pernikahan. Pernikahan membuat laki-laki dan perempuan merasa nyaman,  dilindungi, dicintai, diinginkan, dan diperhatikan, serta membebaskan masing-masing pasangan  dari keterasingan dan kesepian yang dirasakannya sebelum  pernikahan diperlukan. Lebih jauh lagi, pernikahan juga diharapkan dapat memuaskan kebutuhan terdalam seseorang. Faktanya, tidak semua pasangan  mampu mencapai tujuan awal  pernikahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
       Melakukan pernikahan kembali akan memberi kesempatan pada individu untuk memiliki hubungan kedekatan (intimate) dengan pasangannya, memenuhi kebutuhan seksual, menambah keuntungan ekonomi, mendapatkan bantuan dalam pengasuhan anak, karena perceraian membuat anak-anak hidup tanpa orang tua yang utuh. Sebab akibat perceraian, anak akan hidup tanpa orang tuanya, dengan kesehatan jiwa korban yang utuh. Wanita yang terkena dampak mungkin menderita depresi, kecemasan panik, mimpi buruk, kegelisahan, gangguan makan, diare psikogenik, dan gangguan sosial lainnya terhadap pasangannya dalam keluarga.
Karena kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan tentang bagaimana rumah tangga dan keluarga yang seharusnya, memiliki ketidakseimbangan yang akan mengakibatkan dampak psikis maupun fisik bagi individu yang mengalami hal-hal buruk didalam rumah tangga ataupun dilingkup keluarga berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga terutama bagi kaum perempuan, dimana perempuan lebih rentan mengalami dampak akan hal tersebut yang akan mempengaruhi cara pandang dan kesiapannya untuk menghadapi masa depan terutama seperti "Kesiapan Menikah"  dan membangun rumah tangga baru bagi individu yang menjadi korban.


B. ALASAN MEMILIH SKRIPSI INI

       Alasan memilih skripsi tentang kesiapan menikah kembali pada perempuan korban KDRT, karena di dalamnya terdapat keunikan tersendiri, dimana isi dari penelitian tersebut meneliti tentang aspek-aspek kesiapan menikah kembali, yang kebanyakan setelah mengalami KDRT  untuk tidak melanjutkan pernikahan dan rasa trauma pasti masih ada tetapi ini memutuskan untuk melakukan pernikahan kembali, alasan yang kedua yaitu, saya juga rencana ingin meneliti tentang korban KDRT, namun hanya saja saya lebih terfokus pada analisis faktor keluarga samawa setelah mengalami KDRT, dan skripsi yang saya review ini bisa saya jadikan rujukan serta tinjauan Pustaka.

C. PEMBAHASAN

   1. Definisi KDRT
       Kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada kekerasan atau agresi yang terjadi dalam konteks hubungan interpersonal yang signifikan (misalnya keluarga, pernikahan, kencan). Kekerasan dalam rumah tangga mencakup agresi psikologis, fisik, dan seksual antara pasangan intim. Hal ini dapat mencakup kekerasan antara orang tua dan anak, antara anak dewasa dengan orang tua, dan bahkan antar saudara kandung. Di sisi lain, menurut Hasbianto,  kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penanganiayaan (abuse)  secara fisik, maupun emosional/psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.
       Secara singkat dapat dikatakan kekerasan dalam rumah tangga yaitu suatu tindak kekerasan baik secara verbal maupun agresi fisik dan tindakan yang tidak menyenangkan yang dapat menimbulkan dampak negatif kepada korban baik secara fisik yaitu luka dan memar, atau geger otak, dan dampak secara psikis yaitu trauma dan ketidaknyamanan serta menurunkan harga diri korban.

    2. Faktor-Faktor
       Faktor-faktor yang penyebab kekerasan dalam rumah tangga di tingkat nasional dan internasional dan menemukan faktor utama yaitu:
1.Jenis kelamin
2.Ras
3.Kondisi sosial ekonomi yang buruk.


Faktor penundaan pernikahan

ada sembilan kategori penting untuk kesiapan seseorang untuk menikah, antara
lain:
1. Kesiapan usia untuk menikah. Usia dewasa adalah persepsi usia yang siap untukmenikah dan mempersiapkan diri untuk menikah lebih cepat. 
2. Kesiapan fisik untuk menikah. Kemampuan seksual dan kemampuan
untuk bearchildrenwere.
3. Kesiapan mental. Merencanakan kehidupan masa depan dan memiliki harapan logis dan sikap positif terhadap pernikahan.
4. Kesiapan finansial. Kesiapan menikah adalah sebagian besar tergantung
pada faktor kontekstual termasuk pendapatan serta self-efficacy perkawinan individu.
5. Kesiapan moral. Adanya komitmen, kepatuhan pada prinsip-prinsip moral, kesabaran, pengampunan dalam kategori ini menekankan pada kriteria yang membantu mereka membangun pernikahan yang stabil.
6. Kesiapan emosional. Untuk mengendalikan emosi dengan baik ntuk menghindari perilaku agresif dan kekerasan", "kedekatan hubungan.
7. Kesiapan sosial-kontekstual. Mengembangkan berbagai kapasitas untuk membentuk dan memelihara pernikahan (karir, stagnasi ekonomi, biaya tinggi, pengangguran). 
8. Kesiapan interpersonal. Mendengarkan orang lain dengan pengertian, mendiskusikan masalah pribadi dengan pasangan, bersikap hormat kepada orang lain saat menghadapi perbedaan dan konflik agar siap untuk menikah. 
9. Keterampilan hidup perkawinan. Mengembangkan kapasitas untuk memenuhi peran spesifik dalam keluarga, seperti menjalankan rumah, memasak, merawat dan memelihara anak-anak sesuai dengan asumsi budaya.
       Namun pada kasus tertentu kesiapan menikah dapat dipengaruhi oleh faktor keluarga dan pengalaman masa lalu.
   3. Bentuk KDRT
       Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa fisik, seksual dan psikologis dan emosional.
Pelecehan fisik
      Bentuk kekerasan yang paling umum dimana bagian tubuh korban dimanipulasi  atau dirusak seluruhnya atau sebagian dan dapat menyebabkan masalah fisik dan mental lebih lanjut di kemudian hari adalah menggigit, meninju, menendang, dan menampar, menusuk, menembak dengan senjata , menggunakan ikat pinggang untuk menahan bahaya, menggunakan petrokimia seperti asam pada bagian tubuh, menarik lantai, berteriak, menggiling, dan lain lain
Kekerasan seksual atau pelecehan seksual
Ini mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual seperti hubungan seksual yang kuat, mutilasi alat kelamin, seks yang menyakitkan (sadisme), seks oral paksa, mutilasi anus, penetrasi digital dan ketelanjangan paksa dll.
Pelecehan/kekerasan psikologis dan emosional
Bentuk pelecehannya sangat kompleks dan ada banyak ambiguitas dalam definisi ini. Sebagian besar penyalahgunaan fisik menyebabkan sekuele psikologis seperti fobia, rasa bersalah, ketidakamanan, kontrol impuls yang buruk, mimpi buruk, gangguan tidur, penghinaan, rasa malu, isolasi korban, kelemahan paksa dan lain-lain.

   4. Dampak KDRT

       1. Efek pada Anak-anak
Ada banyak klaim bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga saat tumbuh dewasa akan mengalami konflik perkembangan dan kesejahteraan psikologis. Masalah emosional dan perilaku yang dapat diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga meliputi peningkatan agresi, ketakutan, dan perubahan interaksi anak  dengan teman, keluarga, dan pihak berwenang. Masalah  sikap dan kognitif dapat terjadi di sekolah, begitu pula kurangnya keterampilan memecahkan masalah. Diketahui bahwa ada korelasi antara pelecehan dan penelantaran pada masa kanak-kanak dengan kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Selain itu, terdapat kasus dimana pelaku  dengan sengaja menganiaya ibu di depan anaknya dan menguntit dua korban sekaligus untuk menimbulkan efek riak.
       2. Efek Fisik
Memar, patah tulang, cedera kepala, sayatan, dan pendarahan internal adalah beberapa gejala akut  kekerasan dalam rumah tangga yang memerlukan perhatian medis dan rawat inap. Kondisi kesehatan kronis yang terkait dengan korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk radang sendi dan sindrom iritasi usus besar. Korban yang  hamil dalam hubungan kekerasan dalam rumah tangga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami keguguran, persalinan, kerusakan janin, atau kematian.
       3. Efek Psikologis
Tingkat stres, ketakutan, dan kecemasan yang tinggi sering dilaporkan terjadi pada korban yang masih tinggal bersama pelaku kekerasan. Depresi juga umum terjadi, karena korban dibuat merasa bersalah karena menyebabkan pelecehan dan sering kali menjadi sasaran kritik keras. Dilaporkan bahwa 60% korban memenuhi kriteria diagnostik depresi selama atau setelah hubungan mereka berakhir, sehingga meningkatkan risiko bunuh diri secara signifikan.
Dampak psikologis kekerasan seksual yang paling sering dilaporkan adalah Post-Traumatic Stress Disorder (PSTD). Menurut Vitanza, Vogal dan Marshall PSTD ditandai oleh kilas balik, gambar yang mengganggu, kejutan respon yang berlebihan, mimpi buruk, dan penghindaran pemicu yang terkait dengan pelecehan. Gejala ini umumnya dialami untuk rentang waktu yang lama setelah korban telah meninggalkan situasi yang berbahaya. Banyak peneliti menyatakan bahwa PTSD mungkin adalah diagnosis terbaik bagi mereka yang menderita efek psikologis kekerasan dalam rumah tangga, karena menyumbang berbagai gejala trauma pada umumnya dialami korban.
       4. Efek Finansial
 Ketika para korban meninggalkan pelaku kekerasan, mereka mungkin terkejut melihat betapa besarnya otonomi yang telah diambil dari mereka. Karena penyalahgunaan keuangan dan isolasi, para korban biasanya hanya mempunyai sedikit uang  dan hanya sedikit orang yang dapat dimintai bantuan.
 Hal ini terbukti menjadi salah satu hambatan terbesar bagi korban kekerasan dalam rumah tangga dan merupakan penghalang terkuat untuk meninggalkan pelaku kekerasan. Selain kekurangan sumber daya keuangan, korban kekerasan dalam rumah tangga sering kali tidak memiliki keterampilan, pendidikan, dan pelatihan  yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan, dan  mungkin memiliki banyak anak yang harus dinafkahi.
       5. Efek Jangka Panjang
Kekerasan dalam rumah tangga dapat memicu beragam reaksi dari para korban, yang semuanya merupakan hal yang sangat penting bagi para profesional yang menangani korban.Dampak utama kekerasan dalam rumah tangga meliputi masalah kesehatan psikologis/mental dan masalah kesehatan fisik yang kronis. Kurangnya sumber daya bagi para korban  dapat menyebabkan tunawisma dan kemiskinan.
        Berdasarkan penjelasan di atas,  dampak  kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan dampak jangka panjang (psikologis/psikologis kronis) dan juga mempengaruhi tumbuh kembang anak. Kekerasan dalam rumah tangga juga menyebabkan luka fisik (memar, sayatan, pendarahan). Secara psikologis, hal itu berujung pada stres, depresi, dan trauma.

   5. Definisi Perempuan

       Perempuan umumnya digambarkan sebagai makhluk emosional yang  mudah menyerah, pasif, subyektif, buruk dalam matematika, mudah terpengaruh, lemah secara fisik, dan memiliki hasrat seksual yang rendah. Laki-laki digambarkan dan digambarkan sebagai orang yang rasional, logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, suka berpetualang, aktif, dengan fisik dan hasrat seksual yang kuat. Menurut  para ahli modern yang  melakukan penelitian di bidang psikologi perempuan, diketahui bahwa perbedaan kepribadian perempuan dan laki-laki tidak dipengaruhi oleh faktor fisiologis, melainkan harapan dan sosialisasi orang tua.
Berdasarkan uraian diatas, perempuan adalah sosok yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, dimana mereka lebih menonjolkan perasaan dan keindahan dan lemah secara fisik dibandingkan dengan kaum laki-laki. Sehingga perempuan sangat membutuhkan sosok lelaki yang mampu melindungi dan memberi kebahagiaan serta kenyamaan dalam hidupnya.

Perempuan berbeda dengan laki-laki tidak hanya secara fisik namun jugasecara psikologis. Terdapat perbedaan bersifat internal dan substansial yang jelasantara perempuan dan laki-laki ditinjau dari segi fisik, seperti dalampertumbuhan tinggi badan, payudara, rambut, organ genitalia internal dan eksternal, serta jenis hormonal yang mempengaruhi variasiciri-ciri fisik dan
biologisnya. 

Berdasarkan uraian diatas, perempuan adalah sosok yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, dimana mereka lebih menonjolkan perasaan dan keindahan dan lemah secara fisik dibandingkan dengan kaum laki-laki. Sehingga
perempuan sangat membutuhkan sosok lelaki yang mampu melindungi dan memberi kebahagiaan serta kenyamaan dalam hidupnya.


   6. Perempuan Korban KDRT

       Perempuan menjadi sasaran kekerasan di dalam rumah tangga di tempat kerja, atau di masyarakat. Status inferior mereka dapat ditelusuri kembali ke nilai- nilai patriarki yang tertanam dalam masyarakat yang menjaga agar para
perempuan ditundukkan, menugaskan mereka peran subordinat dan ketergantungan, dan mencegah mereka mengakses kekuasaan dan sumber daya. Orang-orang memegang kekuasaan di dalam keluarga dan mengendalikan semua
harta dan pendapatan

      Gender dan patriarki mengakibatkan relasi kekuasaan yang timpang karena laki-laki  lebih dihargai dibandingkan perempuan, sehingga suami  mempunyai kewenangan dalam mengurus rumah tangga, termasuk istri dan anak. Keyakinan bahwa istri adalah milik suami dan  suami mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan anggota keluarga lainnya. Kekerasan terhadap perempuan (istri)  dalam pengertian Deklarasi PBB tentang  Penghapusan  Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berbasis gender yang mengarah atau dapat mengakibatkan kekerasan fisik, seksual atau psikologis.
Kesengsaraan atau penderitaan perempuan, termasuk ancaman tindakan, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik  dalam kehidupan publik, pribadi atau keluarga. Perempuan adalah korban kekerasan  dalam rumah tangga di tempat kerja dan di masyarakat. Status inferior mereka mungkin disebabkan oleh nilai-nilai patriarki yang tertanam dalam masyarakat yang menindas perempuan, memberikan mereka peran yang tunduk dan patuh, serta tidak memberikan mereka akses terhadap kekuasaan dan sumber daya yang bersifat gender. Orang-orang memegang kekuasaan  dalam keluarga mereka dan mengendalikan semua harta benda dan pendapatan.

   7. Definisi Pernikahan dan kesiapan menikah

       Makna Pernikahanan
        Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan
tidak tercapai dalam pernikahan yang mereka jalani. Menurut Cristensen makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal, antara lain :
a. Mewujudkan fungsi sosial keluarga. Pernikahan adalah sebuah lembaga yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat. Tanpa pernikahan, tidak ada satu pun masyarakat yang dapat terbentuk. Lembaga pernikahan perlu diorganisasikan untuk keperluan fungsi sosial yang diwujudkan untuk kebutuhan manusia. Tujuan umum pernikahan dan keluarga adalah untuk membenarkan
keberadaan keluarga-keluarga tersebut dan untuk menjelaskan universalitas dari lembaga pernikahan itu sendiri.
b. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin. Penyatuan antara pria dan perempuan dalam sebuah ikatan pernikahan memungkinkan timbulnya ketidakpastian yang sifatnya potensial. Penyatuan ini bersifat alamiah, personal, intim, bersifat emosional, dan berkesinambungan dalam waktu lama, memungkinkan adanya kesalahpahaman dan penderitaan yang sama besarnya seperti peluang mengalami keharmonisan dan kebahagiaan.
c. Kebahagiaan sebagai tolak ukur suksesnya sebuah pernikahan. Tujuan pernikahan seseorang adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Kepuasan pernikahan dihasilkan ketika kebahagiaan dapat dirasakan oleh pasangan yang mengalami pernikahan tersebut. Ketika tujuan pernikahan tercapai, maka muncullah makna yang mendasari pernikahan tersebut.

      Pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu
pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharapkan kedua individu itu dapat memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat didalamnya.

      Banyak orang menikah untuk beberapa waktu, terbebani dengan tanggung jawab untuk menumbuhkan keluarga dan melewatkan roman asmara yang membawa mereka bersama pasangan mereka, merasakan rasa iri saat teman mereka bercerai dan masuk kembali ke dunia tunggal. Baik untuk pria maupun perempuan, dan terutama bagi mereka yang menikah beberapa tahun, kembalinya ke dunia tunggal bisa menakutkan.

       Menikah adalah menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, perasaan, memenuhi kebutuhan seksual, kerja sama, kesempatan untukpertumbuhan emosional sebagai sebuah sumber baru dari identitas dan self esteem. Sebelum memasuki dunia pernikahan, seorang individu memerlukan suatu kesiapan agar dapat menuju pernikahan yang bahagia. Oleh karena itu, kesiapan menikah merupakan hal penting untuk menyelesaikan tugas perkembangand engan baik.

       Kesiapan menikah adalah keadaan siap dalam membangun hubungan atau komitmen dengan seseorang baik pria maupun perempuan, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan yang lebih intim baik secara seksual maupun perasaan dan materi, kesiapan menikah juga keadaan siap untuk mengelola keluarga dan mengasuh anak.

   8. Aspek Kesiapan Menikah
        Aspek kesiapan menikah kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi (Personal) dan kesiapan menikah situasi.
Kesiapan Menikah Pribadi (Personal)
Kematangan Emosi Konsep kematangan emosi seseorang adalah kemampuan memperhatikan diri sendiri dan menyadari emosi yang dimiliki. Kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup dengan perubahan dan masalah. Melalui pengalaman ini, seseorang belajar menyadari emosinya dan merespons peristiwa kehidupan. Orang dewasa mampu menjalin dan memelihara hubungan pribadi, memahami emosi orang lain (empati), mencintai dan dicintai, memberi dan menerima, serta membuat komitmen jangka panjang.
 Sebaliknya, orang yang tidak dewasa secara mental terlalu terbebani oleh keinginannya sendiri dan tidak mampu membuat komitmen jangka panjang. Kehidupan pernikahan memiliki kematangan emosional dan memiliki harapan realistik akan lebih mudah dipertahankan, kriteria kematangan emosi sebagai berikut :
1. Memiliki kemampuan memberi dan menerima kasih sayang
2. Kemampuan memberi dan menerima secara seimbang
3. Memiliki kemampuan menerima kenyataan
4. Kemampuan menghadapi peristiwa kehidupan secara positif
5. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman
6. Kemampuan menghadapi peristiwa yang membuat frustasi
7.Mampu mengatasi kesukaran

a. Kesiapan Menikah Situasi (Circumstancial)


1) Kesiapan Finansial Kesiapan dari segi pendapatan dan pekerjaan tergantung dari nilai masing-masing individu/pasangan. Menurut Cutright semakin tinggi pendapatan maka semakin besar kemungkinan menikah.
2) Kesiapan Waktu Persiapan masing-masing antar pasangan untuk melaksankan pernikahan. Perencanaan dan diberikan waktu untuk pasangan.
Kesiapan menikah menjadikan pasangan suami dan istri lebih percaya diri untuk menempuh kehidupan baru setelah pernikahan dengan menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam keluarga. Kesiapan menikah terdiri atas kesiapan emosi, kesiapan sosial, kesiapan peran, kesiapan usia, dan kesiapan finansial.
Bila individu dewasa telah dapat memenuhi kedua aspek tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah siap untuk menikah. Fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa yang belum juga menikah, sedangkan menikah merupakan tugas perkembangan yang berada pada masa dewasa dini. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya di masa dewasa yang seharusnya telah memiliki tugas untuk membangun sebuah komitmen dengan pasangan dan membina rumah tangga serta mendidik anak.

 b. Kesiapan usia 

Berarti melihat usia yang cukup untuk menikah, menjadi dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakan hal
berkaitan dengan kedewasaan. Usia yang diinginkan untuk menikah dapat menjadi efektif pada persepsi orang dewasa muda tentang kesiapan dan perilaku pernikahan, mereka yang ingin menikah di usia yang lebih rendah akan mempersiapkan diri untuk menikah lebih cepat.
c. Kematangan Sosial
Kematangan sosial dapat dilihat dari pengalaman berkencan (enough dating), pengalaman hidup sendiri (enough single life),
d. Kesehatan Emosional
Permasalahan emosional diantaranya yaitu kecemasan, merasa tidak nyaman, curiga, dll. Masalah emosi biasanya menjadi tanda
ketidakmatangan, yaitu bersikap posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi. Walaupun individu mampu menjadi pemberi kasih sayang yang baik namun dia tidak dapat menerima kasih sayang dari orang lain untuk menghindari keegoisan. Sebagai contoh, seseorang berbicara tentang masalah kesiapan mental terhadap kemampuan merencanakan kehidupan di masa depan. Satu lagi stres memiliki ekspektasi logis dan sikap positif terhadap pernikahan. Temuan penting dalam kategori ini adalah bahwa peserta tidak melihat pendidikan akademik sebagai faktor utama pematangan mental; Sebaliknya, kebanyakan dari mereka menekankan pada beberapa jenis perkembangan kognitif. Ini mungkin merupakan indikator untuk mengubah nilai hidup atau pernikahan nilai di antara generasi muda saat ini dengan cara yang mereka sukai hanya nilai
realistis sosial. 
e. Kesiapan Model Peran
Kehidupan pernikahan harus dijalani dengan mengetahui apa saja peran setelah menikah dan sebagai pasangan suami ataupun istri. Orang tua yang memiliki figur sebagai suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka.
   9.Kesiapan Menikah Kembali Pada Perempuan Korban KDRT

       Pernikahan adalah kebutuhan sosial ketika  tumbuh dewasa. Namun, menikah kembali adalah keputusan pribadi. Pernikahan tentu merupakan hal yang dinanti-nantikan dan ingin dialami oleh setiap orang dewasa, namun entah kenangan baik atau buruk bersama pasangan membuat  ingin menikah atau tidak, menikah kembali adalah hal yang penting jika  sudah memiliki pengalaman pernikahan sebelumnya berbeda dari Mereka perlu memenuhi kebutuhan seksualnya, dan pernikahan dapat memenuhi kebutuhan psikologis,  sosial, dan agama seseorang. 

        Sebuah pernikahan kembali yang terjadi antara dua orang dewasa yang tidak memiliki anak berbeda dari pernikahan pertama hanya dengan beberapa cara. Salah satu yang paling penting adalah fakta bahwa satu atau kedua pasangan sudah memiliki pengalaman menikah.Alasan kedua untuk menikah dan menikah lagi yaitu berbeda dari pengalaman menikah sebelumnya. Baik secara perilaku dan gaji, pernikahan pertama memberikan dasar untuk menilai pernikahan kedua. Pasangan yang menikah kembali cenderung membandingkan hubungan sebelumnya dengan situasi saat ini dan kurang puas. Alasan ketiga adalah bahwa kesempatan pertama dan kedua terjadi pada waktu yang berbeda dalam kehidupan individu. Jika ada sejumlah tahun yang dihabiskan dalam pernikahan pertama sebelum berakhir dengan perceraian atau kematian,perubahan akan terjadi dalam tingkat kematangan seseorang, pengalaman hidupnya, dan status ekonomi dan sosialnya. Karena perubahan ini, keadaan dimana pernikahan kedua terjadi sangat berbeda. Alasan terakhir adalah bahwa orang yang menikah kembali adalah anggota dari dua kelompok pernikahan yang berbeda. Jadi, untuk dua kelompok pernikahan yang berbeda, peraturan dan harapan untuk perilaku mungkin sangat berbeda.

       Meski mengalami perceraian, pengasuhan anak tunggal, dan status hidup yang panjang, kebanyakan orang akan terus hidup dalam keluarga, meski keluarga mungkin tidak sama seperti sekarang. Meski rumah tangga Amerika
terus berubah, ikatan keluarga akan tetap ada. Sebagaimana telah dipaparkan di atas tentang menikah kembali, maka
seseorang akan atau tidak melakukan pernikahan kembali karena adanya persoalan dengan anak, ketidaksiapan untuk menikah kembali, dan pengaruh dari keluarga serta orang terdekat.
       Kematangan sosial juga  dimiliki oleh wanita dewasa, Kedewasaan sosial dapat dilihat dari pengalaman berkencan dan pengalaman hidup  sendiri. Seiring berjalannya waktu,  dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berusia antara 30 dan 60 tahun memiliki segudang pengalaman dan dapat membuktikan bahwa mereka hidup mandiri secara finansial dan dalam hal pengambilan keputusan. Dari segi kesiapan situasi, kesiapan finansial dan waktu, orang dewasa berusia antara 30 dan 60 tahun dapat bekerja dan memenuhi kesiapan tersebut dengan penghasilan yang mereka terima dari pekerjaannya. Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar kemungkinan untuk menikah.
       Berdasarkan pembahasan aspek persiapan pernikahan di atas, maka wanita dewasa yang berusia antara 30 dan 60 tahun dianggap mampu dan siap bekerja  dari segi usia, kematangan emosi, kematangan sosial dan ekonomi. Sehingga disimpulakn bahwa perempuan di usia dewasa madya telah dianggap siap untuk menjalin suatu hubungan dan pernikahan.

D. Rencana Skripsi Yang Akan Ditulis

       Rencana skripsi yang akan saya tulis kedepannya berjudul "Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keluarga Tetap Menjadi Sakinnah Mawaddah Warahmah Setelah Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga Studi Kasus di Desa Kembangsari Musuk Boyolali". Saya memilih untuk menulis tersebut karena saya ingin menganalisis apa saja yang menjadi faktor penyebab awal dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lalu bagaimana sepasang suami istri tersebut menyelesaikan permasalahannya, dan memutuskan untuk lanjut untuk terus menjalankan hubungan perkawinannya meskipun didalam rumah tangga terus pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan korbannya adalah perempuan yang.
       Pasti seorang istri memutuskan untuk tetap melanjutkan hubungannya banyak pertimbangan karena kebanyakan perempuan itu mengambil jalan untik berpisah dan banyak kejadian itu disebabkan dari berbagai faktor, yaitu faktor dari internal diri sendiri bahkan eksternal. Tujuan saya menulis skripsi itu untuk menganalisi faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga tetap sakinnah mawaddah warahmah setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dan studi kasus yang saya pilih ada di desa Kembangsari Musuk Boyolali, karena kejadian tersebut bertepatan dengan satu desa rumah tinggal saya.


#hukumperdataislamindonesia
#uinsurakarta2024
#fasyauinsurakarta
#uas
#prodihki
#uinsurakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun