Mohon tunggu...
Afrizal FadhilaIlyas
Afrizal FadhilaIlyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa hki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan dan Perceraian

12 Maret 2024   16:00 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:05 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Perkawinan dan Perceraian
( Dr.H. Khoirul Abror,M.H. )
Afrizal Fadhila Ilyas ( 222121103)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract:
Buku berjudul Hukum Perkawinan dan Perceraian ini ditulis ole Dr.H. khoirul Abror,M.H. membahas tentang urgensi-urgensi tentang perkawianan dan perceraian yang di dalamnya terdapat pengertian, rukun-rukun,macam-macam, penyebab serta dasar hukum terjadinya perkawinan dan perceraian. Penjelasanya tidak hanya secara hukum islam saja tetapi juga mengunakan hukum positif dalam mempermudah landasan yang digunakan adalah UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ). Tujuanan dari penulisna ini supaya mempermudah dalam memahami tentang hukum perkawian karena hukum perkawainan akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada bisa menjadi wajib, Sunnah, mubah, makruh, dan bisa jadi menjadi haram. Tetapi di dalam perkawian tidak semuanya berjalan dengan harmonis kadang kala bahkan sering kali terjadi perbedaan dan perdebatan al tersebut yang menyebabkan terjadinya perceraian. Dengan adanya penulisan ini diharapkan bisa memabantu mempermudah memaami tentang hukum perkawian dan hukum perceraian secara jelas dan ringkas. Selain itu terdapat pembahasan mengenai macam-macam nikah, salah satunya adalah nikah mut'ah, perkawinan dan juga tetang poligami.  
Keywords: Perkawinan ; Perceraian ; Mut'ah ; Poligami

Introduction
Salah satu bentuk ketaatan manusia kepada Allah Swt adalah, bahwa dalam rangka penyaluran hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah didasarkan pada ikatan yang telah ditentukan-Nya, yaitu melalui lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, sakral bagi umat Islam. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga yang (sakinah, mawaddah warahmah).
Dibalik perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak. Apabila perselisihan, pertengkaran dan kekerasan tidak dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai puncaknya yang mengarah kepada perceraian dan atau bubarnya perkawinan.

Perkawinan
Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Namun itu adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Menurut bahasa, nikah  berarti penggabungan dan percampuran bisa juga berarti menghimpun dan mengumpulkan.  Sedangkan menurut istilah syara', nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miisaqan ghalian untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Jadi, perkawinan dapat diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Perkawinan dalam arti sempit yaitu akad yang menghalalkan hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan. Sedangkan perkawinan dalam arti luas yaitu akad atau ikatan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dasar Hukum Perkawinan
Menurut al-Qur'an, "Dan orang-orang yang kesepian di antara kamu (masih lajang) dan orang-orang yang berhak dinikahkan oleh hamba laki-lakimu dan hamba laki-lakimu Menikahlah. Jika mereka miskin, Tuhan akan  memberi mereka kemampuan itu karena anugerah .Dan Tuhan itu maha besar dan maha tahu"(QS.An-Nur (24): 32).
Menurut Hadits:Abdillah bin Masud berkata: Pada masa Rasulullah, "Wahai pemuda, hendaklah mereka yang mampu menika,Lakukanlah!Pernikahan melindungi pandangan mata dan menjaga kehormatan," kata Rasulullah kepada kita pada tahun .Tetapi siapa yang tidak dapat menikah, maka ia harus berpuasa.Karena puasa merupakan tameng bagi orang tersebut.(H.R.Bukhari)
Keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa perkawinan dalam hukum Islam diatur secara rinci dalam Al-Quran dan Hadits.Perkawinan yang Sunnatullah pada umumnya diakui berdasarkan besarnya kemaslahatan.Pernikahan pada awalnya diperbolehkan tetapi dapat diubah tergantung pada kondisi dan keadaan, yaitu

Wajib
Artinya ia mempunyai kemampuan untuk menikah, sudah mempunyai kebutuhan biologis ( hasrat ) dan khawatir akan melakukan hal-hal yang dilarang agama yaitu perzinaan jika tidak menikah.

Sunnah (Dianjurkan/As-Zawaj Al-Mustahab)
Maksudnya, perkawinan diberikan kepada mereka yang mempunyai kesanggupan dan keinginan biologis untuk menikah, namun merasa dapat melindungi diri dari kemungkinan zina. Apabila seseorang sehat secara jasmani dalam arti mempunyai ketrampilan di bidang ekonomi dan berkeinginan (tetapi tidak impotensi), maka perkawinan dianjurkan, meskipun orang tersebut merasa dapat menjaga kehormatannya.

Mubah  
Yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa dorongan (paksaan) atau halangan. Perkawinan Ibha ini merupakan hal yang lumrah di kalangan masyarakat luas dan disebut oleh sebagian besar ulama sebagai Hukum Pokok atau Hukum Asal Usul Perkawinan.

Makruh
Ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan biologis atau bahkan tidak memiliki nafsu biologis (keinginan lemah) namun tidak mempunyai nafkah untuk menafkahi istrinya, yaitu kemampuan ekonomi (kekayaan) tidak membahayakan (merusak) keuangan salah satu pihak, terutama istri, meskipun tidak mampu secara biologis.

Haram
Dengan kata lain, perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai keinginan, kemampuan atau tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban berumah tangga seperti menafkahi kehidupan, sandang, papan, dan mencampuri urusan perempuan dan keinginannya juga tidak mendesak, dan undang-undang melangsungkan perkawinan tidak memperbolehkan perkawinan itu ditinggalkan oleh laki-laki dan isterinya, Haram bagi orang tersebut.

Rukun-Rukun Perkawinan
Rukun, merupakan sesuatu yang mesti ada dan menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu sendiri,Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1.Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2.Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3.Adanya dua orang saksi
4.Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan

Prinsip-Prinsip Perkawinan
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari al qur'an dan hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis garis hukum melalui undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai berikut:
1.Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal;
2.Asas keabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang;
3.Asas monogami terbuka;
4.Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian;
5.Asas mempersulit terjadinya perceraian;
6.Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyrakat;
7.Asas pencatatan perkawinan.

Tujuan Perkawinan
1.Bertujuan untuk membangun keluarga sakinah
2.Bertujuan untuk regenerasi dan pengembangbiakan manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi agama Islam
3.Bertujuan untuk pemenuhan biologis (seksual)
4.Bertujuan nuntuk menjaga kehormatan
5.Bertujuan ibadah.
Dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis. Secara eksplisit, ada sisi perbedaan tujuan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.

Hikmah Perkawinan
1.Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka peroses pemakmuran bumi yang dikerjakan bersama-sama akan berjalan dengan mudah;
2.Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya tertib dan teratur;
3.Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan;
4.Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan duka, penolong dalam mengatur kehidupan. Sebagaimana yang dikehendaki dalam firman Allah (QS. Al-A'rf (7): 189);
5.Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah(kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya;
6.Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan;
7.Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik yang sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak;
8.Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendo'akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.

Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan; yakni perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan wanita, karena
a.Larangan Perkawinan Karena Pertalian Nasab
Larangan perkawinan ini, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah (QS. An-Nis (4): 23):"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuanmu sesusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
b.Larangan Perkawinan karena hubungan Pertalian
Kerabat (Semenda) Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan perkawinan (semenda) adalah sebagai berikut:
1) Ibu isterimu (mertua perempuan); termasuk juga nenek perempuan isteri, baik dari garis ibu atau ayah
2) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri)
3) Isteri-isteri anak kandungmu (menantu); termasuk juga isteri cucu
4) Perempuan yang telah dinikahi oleh ayah (ibu tiri) tanpa disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ayah dan ibu.
c.Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Hubungan sesusuan menjadikan orang mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, sehingga disebut saudara sesusuan tetapi pendekatan ke-dalam saudara sesusuan, tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewarisi.
d.Larangan pernikahan untuk sementara waktu (MahramGhairu Muabbad)
Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan perkawinan yang berlaku hanya untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin untuk sementara itu berlaku dalam hal-hal seperti berikut:
1) Mengawini (menghimpun) dua orang bersaudara dalam satu masa Keharaman mengumpulkan dua orang wanita bersaudara dalam satu masa perkawinan itu,
2) Poligami di luar batas (lebih dari 4 orang)Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak menikahi empat orang, dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya, danhabis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dinikahinya dalam masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikan.
3) Larangan karena Ikatan Perkawinan Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan, haram dikawini oleh siapapun. Keharaman itu berlakuselama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami matiatau ia diceraikan oleh suaminya dan selesai masa iddahnya, barulah ia boleh dikawini oleh siapa saja, sepanjang tidak ada larangan lain yang menentukannya.
4) Larangan karena Talak Tiga (b'in kubro)Perempuan yang ditalak tiga, haram menikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau wanita itu sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin, juga telah dicerai oleh suami terakhir itu, serta telah habis masa 'iddahnya
5) Larangan karena Ihram Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dinikahi.
6) Larangan Karena Musyrik (Beda Agama)
Yang dimaksud dengan beda agama disini adalah, perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dengan laki-laki musyrik terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 221
7) Larangan karena waktu Iddah Perempuan yang sedang dalam waktu iddah, baik 'iddah cerai maupun. 'iddah ditinggal mati, berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 228 dan 234.
8) Istri yang putus perkawinan karena li'an. Menurut bahasa li'an diambil dari kata la'ana artinya laknat (kutukan). Maksudnya adalah laknat atau kutukan Allah kepada suami-istri yang saling bermula'anah atau saling kutuk yang lima kali mengucapkan kesediaan dilaknat oleh Allah.Bisa juga berarti menjauhkan atau al-ardu min al-khair yang berarti pengusiran dari kebaikan atau dikeluarkan dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la'nah, maka jama'nya adalah li'an, li'anat.

Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Di dalam Islam, tidak terdapat aturan yang jelas pada usia berapa seseorang dapat menikah. Jadi, meskipun masih di usia anak-anak bahkan balita sekalipun, akad perkawinan tetap sah. Para ahli fiqih sepakat bahwa seorang bapak berhak menikahkan anaknya, baik laki-laki maupun perempuan yang masih kecil91. Pendapat ini juga sejalan dengan Imam Abu Hanifah. Menurutnya, pernikahan anak yang masih kecil atas izin walinya adalah sah. Di sini Islam menunjukkan bahwa kedewasaan itu sangat diperhatikan. Dalam Islam, ukuran kedewasaan itu adalah baligh. Baligh adalah kondisi seseorang yang sudah cakap untuk dipikulkan kewajiban hukum kepadanya karena sudah mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.
Terkait perkawinan, Islam memberikan hak penuh kepada anak yang sudah baligh untuk melanjutkan atau memutuskan perkawinannya. Dalam Islam, seseorang yang belum dewasa tidak dianggap cakap untuk berbuat hukum. Sebaliknya, anak yang sudah dewasa sudah mampu mengerti kebaikan dan keburukan sehingga cakap untuk berbuat hukum. Jadi, kedewasaan berkaitan pula dengan kemampuan, yaitu kemampuan untuk memposisikan diri berdasarkan perannya dengan melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan.
Yang dikatakan mampu menurut islam itu adalah mampu secara biologisdan mampu secara psikis atau mampu jiwa dan raga. Sehingga umur tidak lagi menjadi bahan yang diperdebatkan sebagai patokannya, melainkan kemampuan jiwa dan raganya. Islam menjadikan patokan itu menjadi lebih luas dan dapat diterima dengan mudah.
Perspektif hukum positif, UU No 1 Tahun 1974 Tentang PerkawinanSumber pertama dalam hukum positif adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa seseorang hanya boleh menikah pada usia 21 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang ini, yaitu untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harusmendapat izin kedua orang tua.
Kemudian pada Pasal 6 ayat (2) UU ini mengindikasikan adanya peluang bagi calon mempelai yang hendak menikah di bawah umur 21 tahun, tetapi harus dengan izin orang tua. Selain syarat perizinan dari orang tua, Undang-undang Perkawinan membatasi usia minimal perkawinan, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 berikut Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Ada perubahan lagi batas usia pernikahan,Tetapi dalam buku ini tidak dijelaskan lagi revisi terbarunya yaitu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa "Perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun".

Perceraian

Pengertian Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti pisah dari kata dasar cerai. Menurut istilah (syara') perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafa yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara'. Dalam istilah fiqh perceraian dikenal dengan istilah talaq atau furqah. Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul.
Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.

Rukun talaq
1.Orang yang menjatuhkan talak.
Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya kepada tiga macam, yaitu:
Lafal yang diucapkan secara arih dan kinayah. Diantara yang termasuk lafal sarih adalah al-sarrah, al-firaq, al-talaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-talaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada isterinya: izhabi(pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya. Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara sarih maupun kinayah, boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh orang bisu. Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut menyerahkan (al-fawi) kepada isterinya untuk menjatuhkan talaknya.
3.Dilakukan secara sengaja.
Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya kesengajaan. Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan talak itu kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada fadalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah.
4.Menguasai isteri tersebut
Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita yang bukan isterinya Anti talliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa 'iddah talak raj'i, maka talaknya baru dianggap sah.

Sebab Sebab Putusnya Perkawinan
1.Talaq
Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan talaq kepada isterinya. Atau dapat diartikan talaq adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang ditetapkan.Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian (cerai gugat). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sehingga KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan dihadapan sidang Pengadilan. Tampaknya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1). Macam macam talak
a.Talak raj'i
Talak raj'i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri sebagai talak satu atau dua, yang di ikrarkan di depan sidang Pengadilan, dan suami diperbolehkan meruju'nya bila masih dalam masa iddah, tanpa diharuskan nikah baru.

b.Talak Ba'in
Secara etimologi, ba'in adalah nyata, jelas, pisah atau jatuh, yaitu talak yang terjadi karena isteri belum digauli oleh suami, atau karena adanya bilangan talak tertentu (tiga kali), dan atau karena adanya penerimaan talak tebus (khulu'),Talak ba'in dibagi menjadi dua macam, yaitu ba'in ugra dan ba'in kubra. Ba'in ugra adalah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru (tajdid an-nikah) kepada bekas isterinya. Dan juga Ba'in kubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain dan telah berkumpul sebagaimana suami isteri secara nyata dan sah, dan juga isteri tersebut telah menjalani masa iddahnya serta iddahnya telah habis pula.
Talak dilihat dari waktu mengucapkannya, dibagi kepada
a)Talak sunni
Adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuai dengan yang telah digariskan oleh syara') . "Talak Sunni adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah) disetubuhi dan dijatuhkan pada waktu suci serta belum disetubuhinya pada waktu suci tersebut, bukan (dijatuhkan) pada waktu haid, wanita itu tidak dalam keadaan hamil, anak kecil dan tidak pula wanita monopouse, sementara ber'iddah dengan quru'.
b)Talak bid'i
Adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuatau yang dilarang syara'). Artinya talak bid'i tersebut dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan syara'. Akan tetapi, dalam menjelaskan talak yang termasuk dilarang dalam kategori syara' itu, para ulama berbeda pendapat.
2.Gugatan Perceraian
Putusnya perkawinan karena Khulu.Khulu berasal dari kata khulu' al-saub yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya. Khulu' adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang 'iwad atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu'. Bila terjadi cerai dengan cara khulu' maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu' mengandung pengertian "penggantungan" dan ganti rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.
3.Putusnya perkawinan karena meninggal dunia (kematian)
Putusnya perkawinan karena kematian, terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia, apakah itu suami atau istri, yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.Putusnya perkawinan karena kematian, merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Allah. Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.

Alasan Perceraian

Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Alasan Perceraian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 209 KUH Perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah
1. Zina, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinaan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinaan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinaan.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 KUH Perdata gugatan itu baru dapat diajukan setelah lampau lima tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalamrumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
4. Melukai berat atau menganiaya atau diseburt juga KDRT, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Nikah Mut'ah
Mu'ah berarti bersenang-senang atau menikmati. Istilah mu'ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
Eksistensi hukum nikah mu'ah ada dua pandangan. Pertama; memandang boleh sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa, artinya bukan halal secara mutlak. Kedua, nikah mu'ah pernah dibolehkan sebelum perang Khaibar dan ketika Fathu Makkah; setelah itu Rasulullah Saw melarang untuk seterusnya hingga kiamat. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Makkah.
Nikah mu'ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah mu'ah menurut Syi'ah. Nikah mu'ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua bela pihak tergantug kesanggupan membayarnya.
Nikah mu'ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah mu'ah menurut Syi'ah. Nikah mu'ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.Dampak Negative Nikah Mu'ah Ala Syi'ahDiantara dampak negative nikah mu'ah ala syi'ah dapat diketahui sebagai berikut:
1. Banyak didapati kasusnya adalah, beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu'ah itu memang zina;
2. Merusak garis nasab manusia. Dalam nikah mut'ah, suami tidak bisa menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu mut'ahnya kepada laki-laki lain tanpa persetujuan istri
3. Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka
4. Merendahkan harkat perempuan, karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.

Perkawinan Tidak Dicatat
Histrois pencatatan akad nikah, Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan "Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, meskipun ada diantara mereka yang mengakhirkan, tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktu lama dan terkadang lupa, maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar, dan wanita itu adalah istrinya".
Kelahiran UUP telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukumkemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya UUP. Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, sehingga dapat difahami bahwa UU No 74 sangat kental nuansa politisnya yang pada akhirnya UU yang lahir terkesan membela salah satu kepentingan, dalam hal ini kepentingan wanita.
Pada dasarnya pernikahan tidak tercatat dilakukan karena ada hal-hal yang dirasa tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara formal. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tidak tercatat, yang semua alasan tersebut mengarah kepada posisi perkawinan sirri dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami isteri.
Problem yang menyertai pernikahan tidak tercatat yang paling nyata adalah problem hukum, khususnya bagi perempuan, tapi juga problem intern dalam keluarga, problem sosial dan phiskologis yang menyangkut opini publik yang menimbulkan tekanan batin bagi pihak perempuan. Problem agama yang perlu dipertanyakan lagi keabsahan nikah sirri yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia
Dampak pernikahan tidak tercatat bagi perempuan adalah secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai isteri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harta gono-gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada benturan-benturan dengan pandangan negatif masyarakat tentang status pernikahan sirri, yang bisa menimbulkan tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan.

Poligami
Poligami berasal dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan dalam bahasa arab poligami sering diistilahkan dengan ta'addud az-zaujat. Poligami menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan, yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. poligami berarti ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat "salah satu pihak", akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami disini adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa isteri dalam waktu bersamaan.
Dasar Hukum Poligami ayat al-qur'an yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami adalah QS.an-Nis (4): 3 yaitu "Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan atau hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, suami dapat beristeri lebih dari seorang (poligami). Sedangkan yang menjadi dasar pelaksanaan poligami di Indoneesia yang berdasarkan kepada UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 3 yang berbunyi:
a. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami;
b. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Para ulama juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristeri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama Ahli Sunnah juga telah sepakat,bahwa apabila seorang suami mempunyai isteri lebih dari empat, maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang isteri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi isteri empat orang saja, Imam Syafi'i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan dari firman Allah SWT, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan.

Kesimpulan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia serta menimbulkan akibat terhadap kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta memperoleh keturunan. Rukun nikah terdiri dari adanay calon mempelai wanita dan laki laki, wali, dua orang saksi, da ijab qabul. Itu merupakan ruun yang secara agama dan jika terpenuhi maka perkawinan itu dianggap sah secara acama akan tetapi kita berada di dalam suatu negara yang diamana ada ketentuan yang berlaku mengenai perkawinan.
Oleh karena itu, maka suatu pernikahan hendaknya di laksanakan secara sah agama dan juga sah secara negara karena jika hanya sah secara agama saja akan menimbulkan berbagai masalah maka dari itu pentingnya pencatatan perkawinan supaya mempunyai kekuatan hukum atau legalitas hukum. Jika suatu saat nanti ada permasalahan maka legalitas tersebut bisa digunakan, salah satunya yaitu perceraian. Perceraian adalah jalan terakhir bagi suami dan istri jika kerukunan dalam rumah tangga benar-benar tidak dapat lagi dipertahankan. Perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 walaupun orangtua sudah bercerai orang tua masih terikat pada kewajiban untuk memelihara anak yang lahir dari perkwainan mereka. Perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.

Bibliography
Abror, Khoirul. Hukum Perkawinan Dan Perceraian. Yogyakarta: Bening Pustaka, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun