Mohon tunggu...
Afrizal FadhilaIlyas
Afrizal FadhilaIlyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa hki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan dan Perceraian

12 Maret 2024   16:00 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:05 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Alasan Perceraian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 209 KUH Perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah
1. Zina, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinaan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinaan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinaan.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 KUH Perdata gugatan itu baru dapat diajukan setelah lampau lima tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalamrumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
4. Melukai berat atau menganiaya atau diseburt juga KDRT, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Nikah Mut'ah
Mu'ah berarti bersenang-senang atau menikmati. Istilah mu'ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
Eksistensi hukum nikah mu'ah ada dua pandangan. Pertama; memandang boleh sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa, artinya bukan halal secara mutlak. Kedua, nikah mu'ah pernah dibolehkan sebelum perang Khaibar dan ketika Fathu Makkah; setelah itu Rasulullah Saw melarang untuk seterusnya hingga kiamat. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Makkah.
Nikah mu'ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah mu'ah menurut Syi'ah. Nikah mu'ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua bela pihak tergantug kesanggupan membayarnya.
Nikah mu'ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah mu'ah menurut Syi'ah. Nikah mu'ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.Dampak Negative Nikah Mu'ah Ala Syi'ahDiantara dampak negative nikah mu'ah ala syi'ah dapat diketahui sebagai berikut:
1. Banyak didapati kasusnya adalah, beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu'ah itu memang zina;
2. Merusak garis nasab manusia. Dalam nikah mut'ah, suami tidak bisa menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu mut'ahnya kepada laki-laki lain tanpa persetujuan istri
3. Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka
4. Merendahkan harkat perempuan, karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.

Perkawinan Tidak Dicatat
Histrois pencatatan akad nikah, Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan "Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, meskipun ada diantara mereka yang mengakhirkan, tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktu lama dan terkadang lupa, maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar, dan wanita itu adalah istrinya".
Kelahiran UUP telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukumkemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya UUP. Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, sehingga dapat difahami bahwa UU No 74 sangat kental nuansa politisnya yang pada akhirnya UU yang lahir terkesan membela salah satu kepentingan, dalam hal ini kepentingan wanita.
Pada dasarnya pernikahan tidak tercatat dilakukan karena ada hal-hal yang dirasa tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara formal. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tidak tercatat, yang semua alasan tersebut mengarah kepada posisi perkawinan sirri dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami isteri.
Problem yang menyertai pernikahan tidak tercatat yang paling nyata adalah problem hukum, khususnya bagi perempuan, tapi juga problem intern dalam keluarga, problem sosial dan phiskologis yang menyangkut opini publik yang menimbulkan tekanan batin bagi pihak perempuan. Problem agama yang perlu dipertanyakan lagi keabsahan nikah sirri yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia
Dampak pernikahan tidak tercatat bagi perempuan adalah secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai isteri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harta gono-gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada benturan-benturan dengan pandangan negatif masyarakat tentang status pernikahan sirri, yang bisa menimbulkan tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan.

Poligami
Poligami berasal dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan dalam bahasa arab poligami sering diistilahkan dengan ta'addud az-zaujat. Poligami menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan, yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. poligami berarti ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat "salah satu pihak", akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami disini adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa isteri dalam waktu bersamaan.
Dasar Hukum Poligami ayat al-qur'an yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami adalah QS.an-Nis (4): 3 yaitu "Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan atau hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, suami dapat beristeri lebih dari seorang (poligami). Sedangkan yang menjadi dasar pelaksanaan poligami di Indoneesia yang berdasarkan kepada UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 3 yang berbunyi:
a. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami;
b. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Para ulama juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristeri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama Ahli Sunnah juga telah sepakat,bahwa apabila seorang suami mempunyai isteri lebih dari empat, maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang isteri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi isteri empat orang saja, Imam Syafi'i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan dari firman Allah SWT, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan.

Kesimpulan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia serta menimbulkan akibat terhadap kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta memperoleh keturunan. Rukun nikah terdiri dari adanay calon mempelai wanita dan laki laki, wali, dua orang saksi, da ijab qabul. Itu merupakan ruun yang secara agama dan jika terpenuhi maka perkawinan itu dianggap sah secara acama akan tetapi kita berada di dalam suatu negara yang diamana ada ketentuan yang berlaku mengenai perkawinan.
Oleh karena itu, maka suatu pernikahan hendaknya di laksanakan secara sah agama dan juga sah secara negara karena jika hanya sah secara agama saja akan menimbulkan berbagai masalah maka dari itu pentingnya pencatatan perkawinan supaya mempunyai kekuatan hukum atau legalitas hukum. Jika suatu saat nanti ada permasalahan maka legalitas tersebut bisa digunakan, salah satunya yaitu perceraian. Perceraian adalah jalan terakhir bagi suami dan istri jika kerukunan dalam rumah tangga benar-benar tidak dapat lagi dipertahankan. Perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 walaupun orangtua sudah bercerai orang tua masih terikat pada kewajiban untuk memelihara anak yang lahir dari perkwainan mereka. Perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.

Bibliography
Abror, Khoirul. Hukum Perkawinan Dan Perceraian. Yogyakarta: Bening Pustaka, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun