Mohon tunggu...
Afrizal Desta
Afrizal Desta Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Pemain bola cita cita saya bermain bola bersama ronaldo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjerit dalam Kesendirian: Analisis Film

30 Mei 2024   21:00 Diperbarui: 8 Juni 2024   18:58 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istirahatlah Kata-Kata bercerita tentang kisah Wiji Thukul, seorang penyair yang karya-karyanya kritis terhadap ketidakadilan penguasa. Saat sebuah kerusuhan pecah di Jakarta pada Juli 1996, Wiji Thukul dan beberapa aktivis pro-demokrasi akhirnya ditetapkan sebagai pemicunya. Wiji pun lalu melarikan diri ke Pontianak dan tinggal selama 8 bulan di sana. Ia kerap berpindah-pindah rumah karena statusnya sebagai seorang buronan.
Film ini memperlihatkan kondisi pelarian Wiji Thukul yang dipenuhi dengan rasa ketakutan. Namun di saat bersamaan, Wiji Thukul tetap menulis puisi dan beberapa cerpen dengan menggunakan nama pena yang lain. Kehidupan tak nyaman juga dirasakan oleh keluarga Wiji Thukul di Solo. Sipon (Marissa Anita), istri Wiji Thukul, hidup penuh tekanan dengan pengawasan ketat polisi. Koleksi-koleksi buku Wiji Thukul pun disita dan Sipon sempat beberapa kali digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Ia melarikan diri cukup jauh sampai Pontianak dan Sungai Kapuas yang berada di Kalimantan Barat agar tak diketahui pemerintah. Ia bersembunyi di rumah temannya, Thomas.
            Thukul pindah dari rumah ke rumah agar tidak ketahuan polisi. Dalam pelarian itu ia mengaku bahwa hidup menjadi buronan lebih menakutkan ketimbang menghadapi sekumpulan orang bersenjata. Koleksi-koleksi buku Wiji Thukul pun disita dan Sipon sempat beberapa kali digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Film ini mengritik kentalnya budaya militer era Orde Baru dengan cara amat satir, cenderung lucu, dan cukup berbobot.

Kelebihan Film Istirahatlah Kata-Kata:

Mengangkat kisah penting: Film ini mengangkat kisah hidup Wiji Thukul, penyair aktivis yang dibungkam rezim Orde Baru. Hal ini penting untuk menjaga ingatan kolektif bangsa dan menggugah semangat kritis Masyarakat.

Akting yang memukau: Marissa Anita dan Donny Damara memberikan penampilan yang luar biasa dalam memerankan Wiji Thukul dan Sipon, istrinya. Mereka berhasil membawakan karakter dengan penuh emosi dan kedalaman.

Sinematografi yang indah: Film ini memiliki sinematografi yang indah dan artistik, dengan penggunaan kamera statis dan pencahayaan natural yang berhasil menciptakan suasana yang mencekam dan penuh makna.

Soundtrack yang kuat: Soundtrack film ini diisi dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang dibacakan dengan penuh penghayatan, menambah kekuatan emosional film.

Memicu refleksi: Film ini memicu refleksi tentang pentingnya kebebasan berekspresi, keadilan sosial, dan perjuangan melawan penindasan.

Kekurangan Film Istirahatlah Kata-Kata:

Alur cerita yang lambat: Alur cerita film ini terkesan lambat dan datar, sehingga beberapa penonton mungkin merasa bosan.

Kurang fokus pada aktivisme: Film ini lebih fokus pada kehidupan pribadi Wiji Thukul dan Sipon, dan kurang mengeksplorasi aktivisme dan perjuangannya secara mendalam.

Sudut pandang yang subjektif: Film ini diceritakan dari sudut pandang Sipon, istri Wiji Thukul, dan mungkin tidak memberikan gambaran yang utuh tentang kehidupan dan perjuangan Wiji Thukul. 

Kurang edukatif: Film ini tidak banyak memberikan informasi tentang sejarah Orde Baru dan konteks politik saat itu, sehingga penonton yang tidak familiar dengan sejarah Indonesia mungkin kesulitan memahami film ini.

Terlalu fokus pada tragedi: Film ini terkesan terlalu fokus pada tragedi penculikan dan hilangnya Wiji Thukul, dan kurang menunjukkan sisi lain dari kehidupan Wiji Thukul dan Sipon.

Analisis Film Istirahatlah Kata-Kata

Sudut Pandang:

Film "Istirahatlah Kata-Kata" diceritakan dari sudut pandang Sipon, istri Wiji Thukul. Hal ini memberikan perspektif yang unik dan personal tentang kehidupan Wiji Thukul sebagai seorang aktivis dan buronan politik.

 

 

 

 

Tema:

Film ini mengangkat beberapa tema penting, antara lain:

Kebebasan berekspresi: Wiji Thukul dibungkam oleh rezim Orde Baru karena puisi-puisinya yang kritis terhadap pemerintah. Film ini menunjukkan bagaimana kebebasan berekspresi dapat dirampas dan pentingnya memperjuangkannya.

Keadilan sosial: Wiji Thukul berjuang untuk keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Film ini menunjukkan bagaimana ketidakadilan dapat terjadi dan pentingnya untuk melawannya.

Cinta dan pengorbanan: Sipon menunjukkan cinta dan pengorbanannya yang luar biasa untuk Wiji Thukul. Film ini menunjukkan bagaimana cinta dapat bertahan dalam situasi yang sulit.

Kehilangan dan trauma: Sipon harus hidup dengan kehilangan Wiji Thukul dan trauma penculikan suaminya. Film ini menunjukkan bagaimana kehilangan dan trauma dapat memengaruhi seseorang.

Kekuatan:

Film ini memiliki beberapa kekuatan, antara lain:

Akting yang memukau: Marissa Anita dan Donny Damara memberikan penampilan yang luar biasa dalam memerankan Wiji Thukul dan Sipon.

Sinematografi yang indah: Film ini memiliki sinematografi yang indah dan artistik, dengan penggunaan kamera statis dan pencahayaan natural yang berhasil menciptakan suasana yang mencekam dan penuh makna.

Soundtrack yang kuat: Soundtrack film ini diisi dengan puisi-puisi Wiji Thukul yang dibacakan dengan penuh penghayatan, menambah kekuatan emosional film.

Kelemahan:

Film ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

Alur cerita yang lambat: Alur cerita film ini terkesan lambat dan datar, sehingga beberapa penonton mungkin merasa bosan.

Kurang fokus pada aktivisme: Film ini lebih fokus pada kehidupan pribadi Wiji Thukul dan Sipon, dan kurang mengeksplorasi aktivisme dan perjuangannya secara mendalam.

Sudut pandang yang subjektif: Film ini diceritakan dari sudut pandang Sipon, istri Wiji Thukul, dan mungkin tidak memberikan gambaran yang utuh tentang kehidupan dan perjuangan Wiji Thukul.

Kurang edukatif: Film ini tidak banyak memberikan informasi tentang sejarah Orde Baru dan konteks politik saat itu, sehingga penonton yang tidak familiar dengan sejarah Indonesia mungkin kesulitan memahami film ini.

Terlalu fokus pada tragedi: Film ini terkesan terlalu fokus pada tragedi penculikan dan hilangnya Wiji Thukul, dan kurang menunjukkan sisi lain dari kehidupan Wiji Thukul dan Sipon.

Pendapat saya mengenai film ini adalah adanya keterkaitanya dengan unsur Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimana  sangat berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sama-sama membahas tentang HAM yang dimiliki setiap individu. Solusi yang bisa diberikan oleh saya yaitu mengenai menangani persoalan HAM yang sangat maraknya diIndonesia sebagai dalam  :

   RUU Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM):

 RUU ini bertujuan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus penculikan dan hilangnya Wiji Thukul. Hal ini penting untuk memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya, dan untuk mencegah pelanggaran HAM serupa terjadi lagi di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun