Ketiganya saling pandang, lalu berlari menuju pintu darurat. Namun saat mereka membuka pintu darurat, suasana di luar tidak seperti yang mereka harapkan. Lorong yang sebelumnya kosong kini penuh dengan bayangan samar yang bergerak perlahan di sekitar mereka. Mereka tidak bisa melihat wajahnya, hanya siluet-siluet gelap yang bergerak seolah-olah mengelilingi mereka.
"Kenapa... kenapa semua ini terjadi?" Meli berteriak, hampir menangis.
Lara menggenggam tangan mereka berdua dengan erat. "Kita harus keluar dari rumah sakit ini, sekarang!"
Namun, saat mereka berbalik untuk berlari, lorong yang semula tampak terbuka tiba-tiba menjadi gelap gulita. Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, dan suara mereka bergema lebih keras, semakin menakutkan. Suara itu tidak lagi berbicara dalam kata-kata, melainkan dalam desisan yang serak, dan ada sesuatu yang lebih gelap di belakang mereka, bergerak cepat, mendekat dengan sangat cepat.
Lara, Meli, dan Nia merasa dunia di sekitar mereka mulai berputar. Mereka tak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya bayangan. Mereka hanya berlari, berharap bisa keluar dari tempat itu, dari tempat yang sepertinya tak pernah benar-benar sepi.
Namun, semakin jauh mereka lari, semakin mereka merasa rumah sakit itu semakin mengepung mereka, seolah-olah ruang dan waktu berputar dengan cara yang tak bisa mereka pahami.Dan suara langkah kaki itu semakin dekat.
Mereka berusaha lari menobros bayang tersebut dan melewati anak tangga Lara yang berlari sangat cepat membuat dia kehilangan keseimbangan dan terpeleset di tangga yang membentur kan kepala nya hingga bocor"kreekkk"bunyi tulang -tulang  yang patah.Meli dan Nia berteriak melihat hal teragis yang terjadi pada teman nya Lara.Bayangan tersebut masih mengejar mereka Meli dan Nia meninggalkan jazad Lara yang telah berlumur darah.
Nia, meskipun tubuhnya lelah dan gemetaran, terus mengikuti Meli. Ketakutan yang mendalam menggerogoti pikirannya. "Tapi Lara... Lara..." suaranya terputus, air matanya mulai tumpah. "Dia... dia jatuh tadi, Meli! Kenapa... kenapa gak bisa kita bantu?"
Meli menggigit bibirnya, berusaha keras untuk menahan tangis. "Nia, kita gak bisa kembali lagi! Kita harus bertahan hidup!" jawabnya, dengan suara yang hampir tak terdengar karena ketakutan yang begitu mendalam.