Ketiganya terdiam, darah mereka membeku. Tiba-tiba, suara pelan terdengar lagi dari dalam ruangan kosong itu. Suara bisikan...seperti ada yang memanggil mereka.
"Lara...Meli...Nia...tolong..."
Suara itu menggetarkan tubuh mereka, dan tanpa sadar, Lara menarik teman-temannya menjauh dari kamar tersebut. Mereka berlari menuju ruang piket, menutup rapat pintu, dan saling memandang dengan napas terengah-engah.
"Apa itu tadi?" Meli bertanya dengan suara gemetar.
Lara mencoba menenangkan diri. "Kita... kita harus tetap tenang. Bisa jadi ini cuma halusinasi karena capek. Tapi kalau ada yang aneh lagi, kita harus lapor."
Tapi saat mereka duduk kembali, suara alaram medis kamar 17 berbunyi membuat mereka kaget Suara alarm medis yang tiba-tiba berbunyi membuat suasana semakin tegang. Lara langsung berdiri dari kursinya, disusul oleh Meli dan Nia yang tampak panik. Alarm itu berasal dari kamar 17, sebuah kamar yang jarang ada pasiennya karena penghuni sebelumnya sudah lama dirawat di rumah sakit lain.
“Kenapa bisa alarm kamar 17 berbunyi? Nenek di sana kan gak bisa jalan,” kata Meli, suara bergetar.
“Gak tahu, mungkin ada masalah dengan alat di sana. Ayo, kita cek,” jawab Lara, mencoba terdengar lebih tenang meski hati mereka berdebar kencang.
Dengan langkah cepat, mereka berlari menuju koridor yang sudah mulai terasa semakin dingin. Di tengah perjalanan, lorong yang semula sunyi itu semakin terasa menyesakkan. Lampu-lampu semakin redup, ada yang berkedip-kedip, sementara suara deru napas mereka sendiri seakan mengisi seluruh ruang.
Begitu sampai di depan kamar 17, suasana semakin aneh. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, melainkan sedikit terbuka, seperti mengundang mereka masuk. Lara menghela napas panjang sebelum menyentuh pegangan pintu.
"Siapa tahu ini cuma masalah teknis. Ayo masuk," ujarnya, meskipun suara hatinya berbisik untuk mundur.