Lara menatap tajam ke arah sana. "Aduh, mungkin ada kabel yang korsleting, ya? Jangan pikir yang aneh-aneh."
Namun, saat suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar, tiba-tiba pintu kamar pasien yang berada tepat di depan mereka terbuka dengan sendirinya. "Creeeekk..."
Nia langsung berdiri dari kursinya, "Lara, Meli...kalian gak merasa aneh, kan? Itu pintu tadi...?"
Meli sudah menggenggam tangan Lara dengan erat. "Apa kita... kita harus periksa?"
Lara menatap mereka, kemudian berdehem pelan. "Gak ada pilihan, kita harus periksa. Kalau ada pasien yang butuh pertolongan, kita gak bisa cuek begitu aja."
Dengan langkah ragu, ketiganya berjalan perlahan menuju lorong yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu dinding yang berkedip-kedip. Mereka sampai di pintu kamar yang terbuka lebar, tapi ruangan itu kosong. Tempat tidur pasien yang seharusnya terisi malah tampak tertata rapi, seolah tak pernah ada yang berbaring di sana.
Tapi di sudut ruangan, ada sebuah kursi roda tua yang terparkir dengan posisi membelakangi mereka. Tanpa sadar, langkah mereka berhenti.
Lara menegakkan badan, mencoba menguatkan diri. "Gak ada apa-apa, cuma kursi roda, kan? Ayo kita keluar," bisiknya, meskipun rasa takut mulai merayap di dalam dirinya.
Namun, ketika mereka berbalik untuk pergi, suara langkah kaki itu terdengar lagi—kali ini lebih dekat, lebih jelas. Mereka menoleh bersamaan, dan di ujung lorong, samar-samar terlihat bayangan seorang wanita berdiri mematung.
Wanita itu mengenakan gaun putih panjang yang kusam, rambutnya terurai menutupi sebagian wajah. Ketiganya terdiam, saling pandang, tak bisa bergerak. Suara langkah kaki itu semakin mendekat.
"Meli, Nia...jangan lari!" bisik Lara, berusaha menenangkan mereka. Namun, saat dia mencoba melangkah maju, bayangan wanita itu hilang seketika, seolah menghilang ke dalam dinding.