Di ujung kota, tersembunyi sebuah rumah sakit tua yang Bangunannya megah, namun kusam dan rapuh, dengan jendela-jendela besar yang sudah pecah dan dinding yang dilapisi lumut. Udara di rumah sakit terasa dingin dan suara yang menggema di lorong-lorong yang gelap, Lara seorang prawat sedang piket malam saat itu bersama 2 teman nya Meli dan Nia.
"Hufttt...paling males banget dapat jadwal piket malam hari begini."ucap Nia "sumpah benar banget mana tadi siang aku istirahatnya dikit jadi ngantuk,malam-malam gini bawaannya lapar Nia,Lara ke warung depan yuk beli makan."Ajak Meli "Gw nitip nasi bungkus sama es jeruk aja kalo ada,mager banget sekalian jaga-jaga bisa tau ada pasien minta bantuan juga."
Lara menghela napas sambil menatap dua temannya yang terlihat mulai gelisah. Sudah hampir tengah malam, dan suasana di rumah sakit itu semakin mencekam. Hanya ada suara detak jam yang berdentang pelan, menambah kesan sepi yang melingkupi ruangan.
"Yah, kita udah di sini kok, gak usah jauh-jauh deh. Lagian, siapa juga yang mau makan di luar jam segini, apalagi kalau misalnya ada pasien mendadak," jawab Lara, sambil membuka catatan medis di meja piket.
Nia dan Meli saling pandang, tapi akhirnya mengangguk. Mereka tahu, memang tidak ada waktu untuk keluar dari rumah sakit yang sudah sepi itu, apalagi jika terjadi sesuatu mendesak.
"Eh, kalian dengar gak sih?" Meli tiba-tiba berbisik, suaranya terputus-putus, tampak terkejut.
Nia mengernyitkan dahi, bingung. "Dengar apa? Suara apa?"
Lara, yang biasanya tenang, ikut merasakan ketegangan yang mulai merayap. "Kalian pasti capek aja," jawabnya ragu, tapi hatinya juga mulai tidak nyaman.
Kemudian, suara langkah kaki yang terhuyung-huyung terdengar dari ujung lorong yang gelap, suara itu begitu jelas, seakan seseorang sedang berjalan mendekat, namun tidak ada bayangan manusia yang terlihat.
"Lihat tuh, lampu di lorong itu berkedip-kedip," Meli menunjuk ke arah lorong yang terlihat samar dari balik pintu.