Saatnya Kembali ke Emas
Membincangkan peluang emas kembali berjaya sebagai mata uang internasional atau kembali berjaya sebagai mata uang kertas yang sepenuhnya (100 persen) didukung dengan cara emas mungkin kedengaran aneh bagi banyak audiens. Begitulah yang pernah disampaikan peraih Nobel ekonomi Robert Mundell. Dalam sebuah kuliah di St. Vincent College, Pennsylviana,1997, Mundell memprediksi peluang emas untuk kembali memperoleh perhatian dunia bila reformasi moneter terjadi amat tipis, tanpa keterlibatan Amerika.
Sebaliknya, dia meramalkan, mata uang Eropa (yang sekarang tergabung dalam Euro) akan duduk berdampingan dengan dollar. Namun demikian, Mundell melihat emas sebagai satu-satunya komoditi yang amat berperan dalam sistem moneter internasional. Hanya peran emas dimarginalkan oleh konspirasi internasional dengan berbagai cara termasuk menciptakan aset lain seperti Special Drawing Rate (SDR) yang diciptakan IMF pada tahun 1968. Seperti dollar, SDR sebelumnyadidukung dengan emas, namun lambat laun setelah harga emas melesat naik pada tahun 1970-an, garansi emasnya dicabut. Meskipun upaya banalisasi emas terus dilakukan, tegas Mundell, tetap saja emas disimpan publik sebagai aset investasi, demikian juga oleh bank-bank sentral.
Akibat dari marginalisasi emas dalam sistem moneter, dunia memasuki era baru apa yang disebut Mundell sebagai a regime of permanent inflation. IMF yang semula diplot untuk menjadi pengatur moneter internasional, dalam praktiknya tak lebih sebagai konsultan ad hoc bagi kebijakan makro ekonomi dan pengawas utang. Alih-alih memberikan resep stabilitas moneter bagi kliennya, IMF malah memperburuk situasi. Kebanyakan negara yang ditangani IMF tidak bisa kembali tegak sebagaiamana sebelum diterpa krisis, kecuali satu dua kasus.
Peluang emas untuk kembali menjadi acuan moneter internasional sangat besar dari sisi fundamental (ekonomi), tetapi agak sulit dari sudut pandang politik. Itu bisa dilihat dari kuatnya konspirasi internasional untuk menyingkirkan pengaruh emas. Banalisasi (penyingkiran) emas dari arena terhormat itu tak lepas dari kokohnya Amerika sebagai superpower dunia. Setiap negara superpower berpeluang menjadi mata uangnya juga mata uang dunia.
Sejarah mencatat Dinarius yang dicetak oleh kerajaan Romawi sampai beredar dan dipergunakan sebagai alat transaksi di Jazirah Arab, bahkan di masa Rasulullah saw karena saat itu imperium Romawi menjadi adi kuasa dunia. Poundsterling Inggris juga mendominasi di abad ke-19 di saat Inggris menduduki predikat yang sama.
Berbeda dengan negara-negara lainnya, Romawi dan Inggris Raya adalah contoh sembuah imperium. Normalnya, sebuah negara mendapat pendanaannya dengan memungut pajak dari rakyatnya. Nmaun bagi negara yang memiliki imperium, mereka memungut pajak dari negara lainnya.
Namun, untuk pertama kalinya, Amerika Serikat dalam abad ke-20 memajaki negara-negara lain dunia secara tidak langsung, melalui beban inflasi penciptaan mata uang dolar yang tidak di-backed dengan logam berharga. Mata uang dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan Amerika pada tempat istimewa. Negara-negara lain harus berkeringat menyerahkan hasil buminya dari minyak, tuna, rotan, kayu, emas, tembaga, sementara sang superpower cukup menukarkannya dengan uang kertas yang bisa dicetak kapan saja dan tidak memiliki nilai intrinsik apa-apa. Risiko terjadi inflasi dari penciptaan dolar yang berlebihan dengan cerdik dialihkan kepada 60% lebih penduduk bumi yang menggunakan uang ini.
Dalam konteks ini, kekohan Amerika berikut mata uang dolarnya, bisa dijelaskna Mundell dengan mengadopsi teori gravitasi newtonia. Ketika suatu negara menjadi superpower dunia, kedudukanny tak ubahnya matahari dalam tata surya. Dia akan menjadi pusat kekuasaan, sekaligus pusat moneter internasional. Sementara negara-negara lain tak lebih dari sekadar planet-planet yang mengorbit. Namun, apabila salah satu planet itu di kemudian hari bertambah besar dan besar karena suatu hal, bahkan melebihi matahari, maka beralihlah planet itu menjadi pusat gravitasi, menjadi pusat kekuatan baru, dan rezim moneter baru pun tercipta. Demikian pula yang terjadi kenapa era poundsterling berakhir dan bergeser ke dolar, ketika Amerika mengambil alih peran superpower dari tangan Inggris.
Setelah itu, masing-masing superpower terus berusaha keras untuk mempertahankan moneter dunia dalam pola permainannya. Setiap upaya menggoyangkan statusnya dengan mengatasnamakan reformasi moneter, pasti ditolaknya. Mundell mencontohkan penolakan Inggris pada 1870-an ketika Amerika dan Prancis mengusulkan kembali kepada bimetal (logam berharga). Kini kalau ada upaya yang sama untuk mengkampayekan penggunaan gold dinar, misalnya, siapa yang pertama bakal menolak? Sudah pasti Amerika yang berdiri di deretan terdepan.
Dengan mempertahankan dolar memimpin dalam share keuangan global, AS mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Mereka mendapatkan free lunch yang mustahil mereka lepas. Seignorage penciptaan doral menjadi keuntungan bagi AS mendulang pembiayaan bagi kepentingan ekonominya. Memberi peluang emas masuk menggeser dolar, berarti akan memangkan free lunch yang sudah begitu lama dinikmati.
Apakah dengan demikian peluang emas, seperti yang diisyaratkan Mundell itu, sama sekali tertutup mungkin tidak. Dengan logika gravitasi newtonia tadi, hanya ada satu superpower yang akan eksis menjadi pusat tata surya. Bagaimana bila kemudian ada satu atau bahkan lebih planet yang tiba-tiba menjadi besar dengan besaran yang relatif sama dengan matahari? Tentu ini akan mengacaukan sang superpower lama.
Saat ini euro telah menjadi pesaing potensial dolar. Meski komposisinya terhadap total jumlah cadangan devisa internasional masih di bawah dolar, tetapi sacara fundamental ekonomi, kata Mundell, kekuatan mereka yang bergabung dalam euro, 10-15% lebih besar dari AS. Jadi ini Cuma persoalan waktu euro akan membesar dan akhirnya menyamai atau bahkan melebihi dolar.