Dari stasiun, hotel tempat saya menginap masih berjarak sekitar tiga sampai empat blok. Pada situasi normal, jarak segitu tentu bisa saja ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, kini saya tengah mempertaruhkan setiap menit yang saya punya. Terlambat sedikit saja, saya akan ditinggal pergi oleh rombongan kru.Â
Untuk menyusul mereka dengan taksi, saya harus merogoh kocek sendiri. Sementara pengalaman dengan sopir taksi yang tadi mengantar kami dari dermaga di Wat Prah sudah cukup memberikan pelajaran bagi saya untuk tidak lagi berurusan dengan mereka.
Dan, beruntung sekali, Bangkok juga menyediakan layanan ojek seperti Jakarta. Inilah pertama kalinya saya naik kendaraan roda dua di negara lain. Apakah ada sensasi yang berbeda? Tentu saja tidak. Naik ojek di Bangkok maupun Jakarta ya sama saja. Ojek akan menyalip sana-sini, bermanuver, naik ke trotoar dan mencari jalan tikus. Umpatan dan makian dari pengendara lain juga sering terlontar. Bedanya, kalaupun itu harus ada, hanyalah pada masalah bahasa.Â
Ya, mau sekeras apapun pengguna jalan lain mengumpat karena kaget disalip oleh ojek yang saya tumpangi, saya tak mengerti apa yang mereka katakan. Dalam situasi tertentu, ketidaktahuan, kadang bisa menyelamatkan kita. Â
Meski melaju dengan kencang dan berhasil lolos dari beberapa titik kemacetan yang cukup parah, tetap saja saya sudah sangat terlambat sampai di hotel. Saya melirik jam tangan, ah tinggal kurang 10 menit lagi hingga leaving time.Â
Di depan lobi, shuttle bus yang akan mengantar kami ke bandara sudah terparkir, dan si pengemudi pun sudah mulai menyusun koper dan tas para kru di bagasi. Begitu sampai di hotel, saya langsung berlari masuk.Â
Di lobi, saya berpapasan dengan beberapa kru junior, yang jelas sangat kaget mengetahui kalau saya baru balik ke hotel pada saat mereka sudah siap-siap berangkat. Untung saja yang saya temui bukan purser atau kapten! Kalau ketahuan bisa panjang deh urusannya.
Mengetahui kondisi saya, Rossi bermurah hati mengurus masalah ongkos ojek, lalu menyusul saya ke kamar. Waktu yang hanya tinggal beberapa menit harus digunakan seoptimal mungkin. Mandi, mau tak mau, harus diskip kali ini. Saya hanya melakukan ritual mandi kucing: membasahi wajah dan rambut.Â
Untuk menyiasati kemungkinan bau badan yang bisa menguar ke mana-mana, saya menyemprotkan deodoran dan parfum dua kali lebih banyak dari biasanya. Pakaian yang biasanya tersusun dengan rapi di koper, sekarang berubah menjadi gulungan-gulungan kain yang dimampatkan secara serampangan.
Begitu akhirnya saya bisa bergabung bersama rekan kru yang lain di lobi hotel, ada perasaan lega yang tak bisa dijelaskan. Saya telah melalui suatu hari yang lumayan panjang di Bangkok, dan kenyataan bahwa saya tidak ketinggalan bus ke bandara setelah hampir berputus asa di tengah kemacetan kota ini adalah sesuatu yang harus saya syukuri.
Kepada Rossi yang telah ikut panik, saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih. Begitu juga pada penumpang kami dari Bangkok ke Jakarta. Maaf, salah satu awak kabin yang melayani Anda pada penerbangan hari ini tidak sempat mandi...