Salah satu pilihan tempat belanja dan cuci mata murah meriah di Singapura adalah kawasan Bugis. Selain lokasinya yang cukup strategis (yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari kawasan Merlion Park) dan pilihan tempat serta jenis barang belanjaan yang beragam dan murah membuat Bugis menjadi lokasi favorit untuk menghabiskan hari di belantara beton Singapura.
Pertama kali ke Bugis, saya menyambangi kawasan mirip pasar senggol yang berada persis di seberang pusat perbelanjaan modern Bugis Junction. Para pengunjung, baik turis maupun lokal, tumpah ruah di lorong utama yang mengingatkan saya pada salah sudut Pasar Raya Padang. Barang yang dijual di pasar ini sangat beragam, mulai dari baju sekelas 'I Love Singapore', aneka perhiasan, suvenir khas, CD/VCD, hingga barang-barang antik buatan Tiongkok.Â
Tak jauh dari sana, agak ke dalam, Anda bisa menjumpai pedagang es krim 'one dollar' yang legendaris. Karena konsepnya adalah pasar semi-tradisional, maka di sini Anda bisa melakukan tawar-menawar dengan penjual sampai mendapatkan harga yang pas. Soal kualitas, tentu saja Anda jangan terlalu berharap. Ada harga ada mutu, bro...
Dari kawasan ini, pada suatu kali kesempatan layover, saya dan beberapa teman pernah 'nekad' jalan kaki ke kawasan Merlion Park. Meskipun sebelumnya saya menyebutkan bahwa Merlion Park memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari sini, namun pada kenyataannya begitu akhirnya kami mencapai patung singa berbadan ikan dengan ekor yang menyalahi anatomi pisces itu, tak satupun dari kami yang tidak mandi keringat. Perjalanan yang betul-betul menguras tenaga.
Ide konyol untuk berjalan kaki dari Bugis ke Merlion Park muncul ketika kami bertanya pada salah seorang warga lokal keturunan India, yang mengatakan bahwa 'Merlion is just a few blocks away from here. You don't need to take a bus.' Ia menunjuk gedung DBS yang tinggi menjulang, yang katanya bisa dijadikan patokan untuk mencapai kawasan Merlion Park. Lalu kami pun tergoda untuk melakukan perjalanan penuh keringat itu. Keterangan dari lelaki India itu seolah irama seruling dari seorang pawang sakti, dan kami adalah ular kobra tak berbisa yang sangat patuh padanya.Â
Memetik pelajaran dari pengalaman yang kurang berkesan itu, pada kesempatan-kesempatan berikutnya saya lebih memilih naik bus jika ingin pergi ke mana-mana di Singapura. Selain tarifnya yang lumayan murah, bus di Singapura sangat ramah pendatang. Peta jalur pun tersedia di semua halte. Tinggal menentukan destinasi, lalu tunggu bus dengan nomor seperti yang tertera di peta.
Suatu kali, saya memutuskan berjalan-jalan sendirian di Singapura. Sebenarnya tak ada tujuan pasti, namun setelah beberapa kali pertimbangan saya memutuskan untuk menyambangi kawasan Orchard. Tujuan yang sangat mainstream sekali, memang. Dan saya pun sebenarnya juga sudah pernah ke sini sebelumnya.
Namun, berjalan-jalan sendirian tetaplah pengalaman yang memberikan kesan yang berbeda.
Di Orchard sendiri, saya hanya cuci mata di beberapa toko untuk kemudian mampir di salah satu gerai sepatu. Sudah lama saya ingin membeli sepatu dengan merk tersebut. Namun, saya tak menemukan model yang saya cari. Keluar dari sana, saya lalu duduk di bangku di sisi lain pusat perbelanjaan tersebut.Â
Memanfaatkan wi-fi gratis yang tersedia di sana, saya berselancar mencari destinasi menarik lainnya yang mungkin masih bisa saya sambangi selama berada di Singapura. Namun, entah kenapa, hasil yang ditampilkan mesin pencari tak satu pun membuat saya tertarik. Yang kemudian muncul di pikiran malah nasi lemak yang ada di depan hotel tempat kami menginap. Maka, saya pun memutuskan untuk kembali ke hotel.
Kebetulan sekali, ada sebuah halte yang terletak tak jauh dari tempat saya duduk. Di kantong, saya masih menyimpan koin 2 dolar Singapura untuk ongkos pulang. Hanya beberapa menit menunggu, bus dengan rute yang melewati kawasan Katong pun lewat. Saya langsung naik.
Begitu akan memasukkan uang ke mesin tiket, saya bertanya kepada si pengemudi, sekadar memastikan bahwa saya tidak salah naik bus.
"Yes, Katong. 2 dollar 50 cents," jawabnya lantang.
Lho? Kok tarif pulangnya lebih mahal? Bukannya tadi dari hotel ke sini ongkosnya cuma 2 dolar? Saya baru sadar kalau saya mengambil rute yang berbeda dengan jalur yang tadi saya ambil saat berangkat. Dengan naik di halte tadi ternyata saya mengambil rute yang lebih panjang. Alhasil, dengan skema tarif progresif, ongkos pun otomatis bertambah.
Saya pun merogoh kocek, mencari-cari koin dolar yang mungkin masih tersisa. Nihil. Saya kemudian mengecek dompet, namun tetap tak ada koin dolar Singapura. Yang ada hanya pecahan 20 dolar. Sementara mesin tiket tidak memberikan uang kembalian.
Si pengemudi bus menatap saya cukup lama. Saya kembali membuka dompet, dan voila! sebuah ide pun terlintas di benak! Saya mendapati sebuah koin Bath dengan bentuk yang hampir menyerupai uang Singapura. Koin itulah yang kemudian saya masukkan bersama uang 2 dollar tadi.Â
Dan apa yang kemudian terjadi? Ajaib, mesin tiket ternyata tidak secanggih yang saya kira. Ia tak bisa mendeteksi koin Bath yang saya masukkan tadi dan tetap menganggap itu sebagai 50 sen Singapura. Anggap saja ini sebagai bagian kecil jatah royalti dari karya orang Minang bernama Zubir Said yang telah menciptakan lagu kebangsaan Majulah Singapura untuk negara mungil ini. J
Begitu tiket keluar, saya buru-buru menuju tempat duduk. Dalam hati saya berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada koin bath yang telah menjadi 'penyelamat' saya hari itu di Singapura. Khawp khun khap....Â
Sungguh saya yakin, uang 50 sen tak akan mempengaruhi stabilitas perekonomian di negara terkaya se-ASEAN ini. Sungguh tanpa 50 sen itu, mereka akan tetap bisa membeli jutaan kubik pasir yang menenggelamkan pulau-pulau di perairan Indonesia untuk menambah daratan baru di negeri mini ini, lalu membangun gedung-gedung pencakar langit lengkap dengan fasilitas kelas dunia di atasnya.Â
Lalu, kita, orang-orang Indonesia, akan dibuat berdecak kagum, dan rela mengeluarkan duit dengan jumlah berapa pun untuk sekadar masuk ke kawasan yang tanahnya dikeruk dari negeri kita sendiri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H