Begitu akan memasukkan uang ke mesin tiket, saya bertanya kepada si pengemudi, sekadar memastikan bahwa saya tidak salah naik bus.
"Yes, Katong. 2 dollar 50 cents," jawabnya lantang.
Lho? Kok tarif pulangnya lebih mahal? Bukannya tadi dari hotel ke sini ongkosnya cuma 2 dolar? Saya baru sadar kalau saya mengambil rute yang berbeda dengan jalur yang tadi saya ambil saat berangkat. Dengan naik di halte tadi ternyata saya mengambil rute yang lebih panjang. Alhasil, dengan skema tarif progresif, ongkos pun otomatis bertambah.
Saya pun merogoh kocek, mencari-cari koin dolar yang mungkin masih tersisa. Nihil. Saya kemudian mengecek dompet, namun tetap tak ada koin dolar Singapura. Yang ada hanya pecahan 20 dolar. Sementara mesin tiket tidak memberikan uang kembalian.
Si pengemudi bus menatap saya cukup lama. Saya kembali membuka dompet, dan voila! sebuah ide pun terlintas di benak! Saya mendapati sebuah koin Bath dengan bentuk yang hampir menyerupai uang Singapura. Koin itulah yang kemudian saya masukkan bersama uang 2 dollar tadi.Â
Dan apa yang kemudian terjadi? Ajaib, mesin tiket ternyata tidak secanggih yang saya kira. Ia tak bisa mendeteksi koin Bath yang saya masukkan tadi dan tetap menganggap itu sebagai 50 sen Singapura. Anggap saja ini sebagai bagian kecil jatah royalti dari karya orang Minang bernama Zubir Said yang telah menciptakan lagu kebangsaan Majulah Singapura untuk negara mungil ini. J
Begitu tiket keluar, saya buru-buru menuju tempat duduk. Dalam hati saya berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada koin bath yang telah menjadi 'penyelamat' saya hari itu di Singapura. Khawp khun khap....Â
Sungguh saya yakin, uang 50 sen tak akan mempengaruhi stabilitas perekonomian di negara terkaya se-ASEAN ini. Sungguh tanpa 50 sen itu, mereka akan tetap bisa membeli jutaan kubik pasir yang menenggelamkan pulau-pulau di perairan Indonesia untuk menambah daratan baru di negeri mini ini, lalu membangun gedung-gedung pencakar langit lengkap dengan fasilitas kelas dunia di atasnya.Â
Lalu, kita, orang-orang Indonesia, akan dibuat berdecak kagum, dan rela mengeluarkan duit dengan jumlah berapa pun untuk sekadar masuk ke kawasan yang tanahnya dikeruk dari negeri kita sendiri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H