Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sate Domba Suku Uighur

12 September 2019   09:00 Diperbarui: 12 September 2019   09:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAGI awak kabin Muslim, salah satu tantangan ketika menginap di luar negeri adalah perkara makanan. Mendapatkan makanan halal di negara-negara dengan Islam sebagai agama minoritas kadang menjadi persoalan yang cukup pelik.

Sebenarnya di setiap negara yang menjadi tujuan penerbangan Garuda Indonesia, kru Muslim sudah mempunyai langganan tempat makan yang halal, yang biasanya terletak tak jauh dari hotel tempat menginap. 

Namun begitu keluar dan memutuskan berjalan-jalan agak jauh dari hotel, mencari tempat yang menyajikan makanan halal terkadang butuh perjuangan. Apalagi jika Anda belum terlalu familiar dengan kota tersebut.

Di Shanghai misalnya, tempat makan halal yang menjadi rekomendasi kru-kru senior adalah sebuah kedai mungil milik Muslim Uighur yang terletak tak jauh dari Nanjing Road. 

Para pekerja di kedai ini semuanya laki-laki, dan mereka memiliki selera humor yang lumayan bagus, terlebih di tengah komunitas Cina yang terkesan kaku.

 Selain selalu menyapa perempuan berkerudung dengan 'Fatimah', sembari melayani pembeli, mereka juga suka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa mereka dengan nada jenaka.

Meski juga menyediakan sate ayam, namun yang menjadi primadona di kedai ini adalah  sate domba. Sate daging domba dengan potongan lumayan besar disusun di atas bara, yang sesekali diolesi dengan bumbu entah apa. Pemandangan yang sangat menggiurkan, meski saya tidak begitu menyukai daging domba. 

Pertama kali menjajal makanan di kedai ini, saya memesan tiga tusuk sate ayam dengan bumbu pedas. Seperti halnya sate domba, potongan daging ayam yang ditusuk dengan bilah bambu ini ukuranya juga cukup gigantik. Jadi, tiga tusuk sate yang dimakan bersama setangkup roti bundar hangat telah cukup membuat perut kenyang.

Suatu kali, sepulang dari The Bund -- tempat di mana Anda bisa berfoto dengan latar belakang Oriental Pearl Tower yang cantik itu -- perut memberontak minta makan. 

Di kawasan The Bund, saya memang tak sempat menemukan kedai yang menjual makanan halal, selain makanan ringan pengganjal perut. Meski rasa lapar sudah muncul sejak tadi, namun saya menguatkan diri untuk tidak jajan sembarangan di sini. 

Kalau waktu memungkinan, tempat yang menjual makanan halal di sekitar The Bund tentu bisa ditemukan dengan bantuan mesin pencari di telepon pintar. 

Tapi, saya sedang tidak ingin mengambil risiko. Cukup naik kereta, lalu pulang. Sebelum ke hotel, menyambangi kedai sate di Nanjing tentu akan menjadi rencana yang cukup menentramkan perut.

Dan ke sanalah saya bergegas begitu turun dari kereta. Senja sudah sepenuhnya disungkup malam begitu saya menyeberang dengan sedikit berlari di jalan Nanjing. Jangan sampai begitu sampai di sana, kedai sate tersebut sudah tutup.

Begitu hampir mencapai deretan pertokoan tempat kedai sate tersebut, harapan untuk menikmati beberapa tusuk sate ayam pedas hampir pupus begitu melihat tidak ada cahaya lampu dari sana. Apakah mereka sudah tutup? Wah, mau makan apa saya malam ini?

Begitu sampai di sana, ternyata kedai sate yang saja tuju masih buka. Mereka sedang melakukan renovasi di bagian bangunan utama, dan untuk sementara mereka hanya berjualan 'ala kadarnya'. 

Didorong rasa lapar yang hampir mencapai klimaks, saya memesan empat tusuk sate ayam. Mata lapar saya pun sudah memindai dua tangkup roti yang meskipun sudah dingin masih terlihat menggoda, yang digelar tak jauh dari tungku pembakaran sate.

Namun, si penjual menggeleng, mengatakan bahwa sate ayam sudah habis. Yang tinggal hanya sate domba. Onde mandeh... 

Memikirkan kemungkinan bahwa malam itu saya hanya bisa menjejali perut yang lapar dengan roti dingin berisi potongan daun bawang, saya akhirnya memesan dua tusuk sate domba. 

Berkali-kali saya mengingatkan pada si penjual agar daging dombanya dibikin matang, dan bumbunya juga ditambah. Tak lupa, sebelum memasukkan ke bungkusan, saya meminta tambahan bumbu cabai untuk sate domba yang saya pesan, dengan harapan rasa dombanya tidak lagi kentara.

Di hotel, begitu potongan daging domba yang sudah saya lumuri dengan bumbu cabai yang lumayan banyak itu berhasil masuk ke kerongkongan, saya tidak bisa membohongi diri sendiri: bahwa sate domba suku Uighur ini enak sekali. Kenapa saya tak mencobanya dari dulu ya?

Sayang sekali, itu adalah kali terakhirnya saya mendapatkan tugas terbang ke Shanghai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun