Â
Akhirnya kurang lebih 30 menit setelah melewati tracking yang diselimuti asap, pukul 06.00 kami sampai di puncak Gunung Ijen. Perjalanan melelahkan selama 3 jam terbayar dengan pemandangan yang waw! Pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.Â
Pemandangan tanah berbatu yang tidak ada satupun tumbuhan atau hewan hidup di atasnya. Gersang dan kering. Pagi itu asap belerang dari kawah sangat agak tebal sehingga kami tidak diperbolehkan untuk mendekati kawah ijen. Selain para pengunjung juga terlihat para penambang belerang yang mengakut hasil tambangannya dari bawah kawah ijen menggunakan keranjang yang dipikul di atas bahu.
Apakah infrastruktur tersebut memang sangat perlu dibangun untuk kepuasan pengunjung? Apakah dengan adanya infrastruktur yang dibangun para pencari usaha di kawah ijen tidak terganggu usahanya? Atau dari segi lingkungan, apakah dibangunnya infrastruktur di puncak kawah ijen menurunkan nilai lingkungan kawasan ijen itu sendiri?
Entahlah jawaban untuk pertanyaan di atas bagi para pengambil keputusan tidak terlalu berdampak pada kehidupan mereka. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang mengantungkan hidupnya pada kawasan wisata alam kawah ijen.
Yang saya tahu, saya sebagai pengunjung sudah merasa terberkati dengan keadaan wisata alam kawah ijen yang sekarang, yang memberikan kesadaran kembali pada saya bahwa Tuhan memberikan alam yang sangat indah, bertemu dengan orang-orang yang bekerja keras untuk hidupnya, belajar untuk tidak menuruti keinginan saya sendiri, memberikan saya kesabaran. Jadi banyak "pesan tersirat" yang dialami penulis  dari pengalaman mendaki kawah ijen kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H