Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Bilang Pulang!

8 Maret 2022   21:56 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:12 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kejut apa lagi yang akan kau ciptakan di depan, aku pun masih keheranan. Kenapa harus kau gunakan diksi "pulang" jika aku bukan lagi rumah untukmu? Bukankah, kau dan aku telah menyepakati pisah yang damai? Lalu, kenapa kau kembali berlari di saat aku telah terikat dengan sosok yang juga kau pertanyakan?

Menurutku, ini bukan lagi soal adil dan tega. Ini hanya tentang penerimaan yang harus kau paksakan dengan sungguh, sebagaimana aku yang dulu menyanggah perih ketika guyuran cuka tak henti-hentinya kau berikan dengan polosnya senyum yang menikam.

Aku paham, betapa munafiknya diri jika berkelakar bahwa lelakiku lebih baik darimu. Sebab, yang aku tahu kini, dia memang tidak lebih baik darimu. Namun, dia lebih sempurna, sebagai orang yang tidak sempurna saat menggenapiku. Dia tahu bagaimana menghargai keberadaanku, dan dia paham aku dengan seluruh sisi gelapku. Dia menerimanya dengan baik, sebagaimana aku yang menerimanya dengan bahagia. Bagiku, laku sederhananya lebih berharga dibanding kerasnya tekadmu yang berjuang untuk "pulang".

Iya, lagi-lagi aku heran dengan kata "pulang" yang kau pergunakan. Bukan bermaksud abai atau tidak menghargai pengupayaan yang tengah kau lakukan. Namun, untuk apa kau berusaha "pulang" ke tempat yang bahkan sudah asing untuk dijamah. Tempat yang dulu tidak kau perdulikan dengan sadar, bahkan kau biarkan rusak berkali-kali. Padahal, kau pun pernah berbisik bahwa tempat itu adalah peneduh ternyaman dan tempat beristirahat yang tepat. Namun, faktanya berbalik. Kau justru memorakporandakan tempat yang katanya tepat dengan ego yang tidak terpahami olehku.

Jujur, benih benci yang kau suburkan dengan laku yang terkendalikan ego masih bertumbuh dengan baik dalam diriku. Bahkan, bara dendam yang kau pantik tiga tahun lalu masih menyala dan mungkin, nyalanya akan abadi. Bukan berarti aku tidak memaafkan apa yang sudah terjadi, hanya satu yang perlu kau pahami bahwa sebenarnya memaafkan bukan berarti melupakan. Sepertinya, sudah berkali-kali aku menegaskan hal tersebut dan kau pun menerimanya. Tapi, jika kau memang menerima, kenapa kau masih mempermasalahkan hal yang tak lagi beririsan?

Bukankah dulu, kau yang memintaku berhenti? Sekarang, kenapa kau merepetisi kata "pulang" dalam permohonan yang tidak pantas untuk diajukan lagi?

Ya Tuan, yang kultus dalam jejak perjalananku.

Maaf bila tempat yang kau anggap rumah telah roboh. Sisa puingnya telah dibangun ulang oleh orang yang kau skeptiskan perangainya dan kini, dia telah menjadi pemilik utuh tempat yang kau robohkan itu.

Ya Tuan, yang memilih kembali ke kota di mana kau dan aku pernah menjadi "kita".

Kejut demi kejut yang kau ciptakan sungguhlah mengejutkan. Persis seperti dulu, kau selalu berhasil mengejutkanku dengan laku yang tak terduga. Laku yang menyisa luka menatu.

Ya Tuan, yang memohon temu.

Lelakiku tak pernah mengharamkan temu yang kau ajukan. Tapi, aku sendiri yang memilih untuk tidak mengabulkan. Bukan bermaksud jahat, tapi, ego yang menyadarkanku agar selalu mengharagainya, sebagaimana dia yang menghargaiku sebagai pendamping. Aku tidak ingin berkhianat, karena aku paham sakitnya dikhianati.

Ya Tuan, cukupkanlah!

Seluruh manis yang kau ciptakan sekarang, tak lagi terkecap olehku. Ikhlaskanlah seluruh noktah tentang "kita". Jangan gali kenang demi kenang yang kau rangkai manisnya, sebab yang terasa olehku hanyalah pahitnya sangkal yang kau kelakarkan. Jangan lagi putar memori usang yang coba kau pertontonkan ulang di hadapanku, sebab, keterasingan kita sudah lebih dari cukup. Anggap, kau dan aku tidak memiliki cerita di kota yang kau tinggali (lagi). Anggap, aku tidak pernah ada dalam perjalananmu, sebagaimana ucapmu yang tegas tiga tahun silam perihal ketiadaan kontribusiku dalam prosesmu.

Ya Tuan, maafkanlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun